Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kekerasan Dari Kebencian

Para psikolog di as mengamati berbagai tindakan kekerasan akibat kebencian rasialistis, antar golongan dan agama. kekerasan meningkat apabila dilakukan oleh kelompok besar. faktor politik bisa jadi picu.

16 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANPA seorang pun pernah mengira, kekuasaan komunis di Eropa Timur tumbang satu demi satu. Fenomena ini sampai sekarang masih saja mengundang pertanyaan. Benarkah situasi politik tak menentu dan buruknya kondisi ekonomi yang mendorong terjadinya pergolakan? Apakah sesungguhnya kekuatan prodemo- krasi di sana masih punya peluang sesudah diberangus selama setengah abad? Ervin Staub, ahli perilaku masyarakat keturunan Hungaria dari University of Massachusetts, Amerika Serikat, punya jawaban menarik. "Kekuatan yang mendorong terjadinya per- golakan itu berasal dari ketegangan etnis." Antara keturunan Hungaria dan Rumania, antara kelompok etnis Czech dan Slovak, dan antara masyarakat dan pejabat keturunan Rusia. Namun, Staub bukan sedang membahas situasi politik Eropa Timur. Dalam bukunya yang baru saja terbit, The Roots of Evil, ia mengulas berbagai tindakan kekerasan yang berpangkal pada kebencian rasialistis, permusuhan etnis, dan ketegangan agama. Eropa Timur hanya contoh bagaimana ketegangan etnis bisa menjadi sebuah revolusi. Di Amerika Serikat gejala yang dicatat Staub itu sedang mendapat perhatian istimewa. Sejumlah psikolog mencoba menjadikan seluk-beluk kekerasan jenis ini sebuah cabang studi khusus dalam ilmu perilaku sosial. Ervin Staub adalah salah seorang di antara psikolog itu. "Data yang terkumpul dari seluruh dunia menunjukkan, dalam dua tahun terakhir ini kuantitas dan kualitas kekerasan itu meningkat," kata Howard Erlich, Direktur National Institute against Prejudice and Violence (NIAPAV) di Baltimore, AS. Pranata ini disepakati menjadi tempat menghimpun data dan pusat pengkajian. Dalam konteks keamanan di negara kita, kekerasan itu dikenal sebagai akibat ketegangan SARA (Suku, Agama, Ras, Antar- golongan). Belakangan ini memang sedang kembali aktual melalui isu kesenjangan sosial dan berbagai isu politik ekonomi. Penghimpunan data menunjukkan bahwa kekerasan itu tergolong paling keji di antara semua jenis kekerasan. Tindakan kriminal yang dilakukan para remaja berusia 15-20 tahun, misalnya, tidak bisa dikategorikan sebagai kenakalan remaja lagi. Kadar kejahatannya jauh melebihi pemberontakan remaja yang umum. Jumlah terbesar dari kekerasan jenis ini (60%) adalah penyerangan. Yang menyerang bergerombol, dan yang diserang selalu kelompok yang lebih kecil. "Misalnya seorang gadis kulit putih diserang segerombolan pemuda hitam ketika sedang menunggu bis di kawasan hitam," kata Psikolog Dr. McDevitt, salah seorang peneliti. Memang bahkan di Amerika Serikat, negara yang terkenal demokratis itu, kekerasan akibat ketegangan etnis ini terjadi juga. Sebagian besar (2/3) dilakukan oleh kelompok kulit putih, dan 1/3 dilakukan pemuda kulit hitam. Kulit putih, yang merupakan kelompok mayoritas, menyerang hampir semua golongan. Golongan etnis Spanyol, Asia, dan kulit hitam, bahkan golongan agama minoritas dan kaum homo. "Kelompok kulit hitam umumnya hanya menghantam kulit putih," kata McDevitt. Tingkat kekejian kekerasan ini meningkat ketika tindakan dilakukan dalam kelompok besar. "Peningkatan ini terjadi karena hilangnya keharusan bertanggung jawab," kata peneliti lain, Dr. Brian Mullen. "Tidak seorang pun dalam gerombolan itu merasa bisa dipersalahkan." Pada kenyataannya, kekerasan yang dilakukan memang tindakan bersama. Dari data yang dikumpulkan NIAPAV, 85% kasus kekerasan ini sama sekali tidak bisa dilacak pelakunya. Keadaan itu, menurut ahli psikoanalisa Dr. Steven Salmony, adalah akibat anonimitas. Pelaku kekerasan kehilangan identi- tas dirinya, sementara korbannya pun seseorang yang tidak dikenalnya sama sekali. Dalam keadaan ini, pelaku seperti kehilangan kesadarannya. "Hasil wawancara menunjukkan sebagian dari pelaku terkejut dan tidak percaya mereka bisa bertindak semacam itu," katanya. Ada semacam kesenangan dalam melakukan kekerasan itu. Dan ini menunjukkan para pelaku kembali ke kondisi emosional kanak-kanak. Yaitu ketika di masa kanak-kanak mereka gagal memisahkan kepekaan dan pemahaman, cinta dan benci, kejahatan dan kebaikan, hak individu dan hak orang lain. Masalah yang dikotomistis (serba mendua) pada masa kanak-kanak itu, menurut Salmony, hanya bisa dibina melalui pendidikan kognitif (pengertian). Di kalangan masyarakat tidak terdidik, kepekaan ini umumnya tidak dibina. Namun, pada keluarga terdidik, pembinaan ini sering menjadi masalah juga. Kuatnya identitas ras, kelompok etnis, serta golongan membangun iklim yang chauvinistis dalam keluarga. Termasuk kebencian pada golongan lain. "Sikap itu menyulitkan anak-anak memahami dan merasakan perbedaan antara kejahatan dan kebaikan dalam bermasyarakat," kata Salmony. Dari berbagai pengumpulan data, Salmony menemukan, pada para pelaku kekerasan ini senantiasa terdapat perasaan umum, "Mereka merasa mendapat persetujuan keluarga melakukan tindakan itu." Pada mereka yang memiliki dasar perilaku itu, Salmony menemukan bahwa kecurigaan dengan cepat berubah menjadi kebencian. Karena itu, emosi mereka dengan cepat pula terpengaruh bila berada dalam kelompok. Memuncaknya kondisi emosional ini membuat mereka terjatuh pada keadaan mental primitif yang percaya bahwa kelompok mereka adalah sumber semua kebaikan. Golongan yang dibenci adalah pusat kejahatan yang harus dihancurkan. Situasi politik tak menentu dan buruknya kondisi ekonomi adalah penyebab terbanyak terjadinya kekerasan karena kebencian itu. "Keadaan-keadaan ini membangun perasaan tidak aman, dan membuat manusia kembali ke insting survival yang paling mendasar," kata Salmony. Pada kondisi ini, kebencian akan menjadi pandu bagi hampir semua perilaku. Jim Supangkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus