KEPALA udang kini tak lagi bernasib malang, dibuang-buang sebagai limbah tak tersayang. Ternyata, dalam kepala si bongkok itu tersimpan bahan industri chitin dan chitosan dalam jumlah besar. Itu telah dibuktikan oleh Ir. Syarif Bastaman, M.Sc., dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian (BPPIHP) Bogor. Menurut penelitiannya, kadar chitin dalam kepala udang mencapai 25-30%. Selama ini kepala udang dibiarkan membusuk. Hanya sebagian kecil yang diolah menjadi terasi, sambal petis, atau kerupuk udang. Padahal, jika kepala udang seIndonesia dikumpulkan, jumlahnya bisa mencapai 9-11 ribu ton/setahun. Dari kepala udang itu juga bisa diperoleh bahan chitosan, zat kimia yang tak kalah pentingnya dengan chitin. Cara pengolahannyalah yang menentukan limbah kepala udang itu akan menghasilkan chitin atau chitosan. Chitin yang berbentuk putih seperti kristal berguna untuk pengolahan limbah industri. Ia sanggup mencegah bahan pence- mar -- baik organik maupun anorganik -- "memangsa" oksigen dalam air limbah. Alhasil, kandungan oksigen dalam air lim- bah tetap tinggi. Kemampuan serupa juga dimiliki chitosan. Bahkan dia sanggup mengendapkan partikel-partikel pencemar dalam air limbah. Pada saat yang sama, dia juga menyerang mikroba-mikroba yang ada dalam air limbah tadi. Bahan pencemar berupa logam berat semacam air raksa (Hg), timah hitam (Pb), atau cadnium (Cd), menurut Syarif Bas- taman, tak berdaya setelah digandeng oleh chitosan. Bahkan limbah atom beradio aktif semacam uranium bisa dibuatnya tak berkutik. Chitosan juga bisa dipakai dalam industri sari buah atau minuman untuk menggantikan bahan pengawet. Dalam industri kain jeans dia pun berguna untuk menambah kekuatan zat pewarna -- ini memanfaatkan sifatnya yang tak mudah larut dalam air. Industri kain wol pun memanfaatkannya agar produknya lebih tahap terhadap api. Di bidang kesehatan, chitosan diperlukan untuk membuat membram berpori guna menggantikan selaput ginjal. Yang paling mudah dirasakan, "Chitosan berguna untuk menurunkan kolesterol darah dan mempercepat penyembuhan luka," kata Bastaman. Chitin dan chitosan tak perlu dibuat dengan teknik canggih. Untuk memperoleh chitin, mula-mula dilakukan demineralisasi, proses penghilangan garam-garam mineral dari kulit atau kepala udang. Proses ini dikerjakan dengan cara merendamnya dalam asam klorida (HCI). Proses pun berlanjut dengan menghilangkan protein dari bahan baku. Caranya dengan merendamnya dalam natrium hidroksida (NaoH), lalu dicuci dan dikeringkan selama 24 jam. Hasilnya berupa kristal chitin. Sepintas, memang mudah. Tapi, proses yang serampangan takkan memberikan mutu dan jumlah yang memadai. "Kuncinya berada pada perlakuan suhu dan konsentrasi HCI," tutur Syarif Bastaman kepada Dwiyanto Rudy S. dari TEMPO). Dia tak bersedia membuka kunci itu. Untuk membuat chitosan, proses tadi masih dilanjutkan dengan perendaman dengan NaoH pekat dan pencucian ulang. Ide mengupas chitin dan chitosan dari cangkang si bongkok itu muncul ketika Bastaman, 32 tahun, belajar untuk meraih gelar master di Queen University, Belfast, Inggris, 1987-1989 lalu. Sepulang dari Inggris, dia melanjutkan penelitiannya di Bogor. Chitosan buatan Bastaman ini juga telah pula dicoba untuk menggumpalkan protein dari limbah ikan pindang dari Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Dari uji coba itu diketahui bahwa 30% protein dalam limbah itu bisa dikumpulkan. Lantas, protein eks limbah tadi disuntikkan ke badan beberapa ekor tikus putih. "Ternyata, si tikus sehat-sehat saja," tutur Bastaman. Bastaman pun memawarkan kemungkinan, protein eks limbah itu bisa dikonsumsi sebagai pakan ternak atau bahan pangan manusia. PTH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini