Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Sleman - Sudah dua kali pendaki asal Yogyakarta, Clara Sumarwati mendaki Gunung Himalaya di Nepal. Pertama 1994 melalui jalur selatan (South Col) dan kedua 1996 lewat jalur utara (North Col). Namun baru 26 September 1996, dia berhasil merengkuh puncak Everest setelah dua tahun sebelumnya gagal karena badai. Keberangkatannya ke sana atas sponsor Panitia 50 Tahun Indonesia Merdeka, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Minta uang berapa? Saya minta Rp 70 juta buat survei,” kenang Clara saat menghadap Moerdiono. Dia menceritakan kisahnya dalam acara Ulang Tahun Pendakian Everest dan Peluncuran Buku di Diraja Café, Sleman, Kamis, 26 September 2019 malam lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Survei lokasi harus dilakukan setahun sebelum pendakian. Uang itu juga digunakan untuk mempersiapkan sherpa atau pemandu dan membentuk tim. Ada lima Sherpa yang memandu Clara, yaitu Kaji sebagai kepala sherpa, Gyalzen, Ang Gyalzen, Dawa Tshering, dan Chuwang Nima. Sementara satu pendaki dari prajurit Kopassus yang turut serta adalah Gibang Basuki yang tidak sampai puncak karena ini merupakan pendakian solo Clara.
Sementara persiapan fisik Clara yang pernah aktif di Resimen Mahasiswa Universitas Atmajaya Jakarta dan pemegang sabuk Dan II Taekwondo dilakukan dua tahun sebelumnya. Lari mengelilingi Senayan sebanyak 15 putaran.
“Tetap saja gemuk. Tapi masih semangat waktu itu. Sekarang dengkul suka sakit. Gimana mau naik gunung lagi nih,” kata Clara, 52 tahun.
Ia juga mendapat sponsor dan pendampingan Kopassus untuk latihan fisik yang telah dilakoninya sejak 1993-1995. Masa Komandan Jenderal Kopassus Brigjen TNI Agum Gumelar juga memberikan pesan kepada Clara.
“Gagal enggak apa-apa. Yang penting selamat, safety,” kata Agum sebagaimana dikutip Clara.
Selain menyiapkan sejumlah alat pendakian, Clara juga membeli dua kamera di Jerman. Dan baru diketahuinya, kamera itu bertuliskan made in Indonesia. Satunya kamera analog merek Olympus dan kamera video merek Sony yang keduanya bisa dimasukkan ke kantong jaketnya.
Pendakian September 1996 sempat menjadi perbincangan sejumlah pendaki luar negeri. Mengingat September adalah musim badai. Biasanya pendaki naik pada April-Mei. Tetapi Clara yang masih 29 tahun saat itu mengaku belum memikirkan risiko terbesar.
“Jalani saja, nanti ada apa di sana,” kata Clara yang malam itu mengenakan kaos lengan panjang gelap dengan celana gunung berwarna gelap juga.
Sebelum para pendaki naik, jalur diperiksa juru kunci Everest. Apabila jalur akan runtuh akan diruntuhkan sekalian agar tak membahayakan pendaki. Clara tinggal menunggu informasi kondisi jalur pendakian. Dan jalur yang dipilihnya banyak tantangannya. Selain badai, juga rawan longsor. Jalanan menanjak dengan naik tangga 90 derajat sehingga membuatnya pusing dan nafas sesak. Tongkat gunungnya (trekking pole) pun sempat jatuh ke jurang. Pagi hari, juru kunci datang membawakan tongkat gunungnya yang jatuh.
“Clara, ini tongkatmu. Saya sudah enggak mikir lagi. Jalannya kayak sirkus, naik tangga. Melelahkan,” kata Clara.
Dari camp 1 ke camp 2, Clara banyak bertemu mayat. Semula mayatnya tertutup es dan baru kelihatan ketika esnya meleleh. Dan ketika melalui jalur tali, angin kencang mendera.
“Bang Gibang teriak. Clara, talinya jangan digoyang-goyang. Padahal digoyang angin,” kata Clara.
Selama perjalanan, Clara sering mendongak ke atas. Dia takut awan hitam tiba-tiba datang karena membawa udara dingin. Awan hitam itu membuat sarung tangannya basah sehingga rawan terkena frostbite atau pembekuan pada tangan yang menghambat aliran darah.
“Saya teriak. Sherpa Kaji terus memasukkan telapak tangan saya ke bawah ketiaknya biar hangat,” kenang Clara.
Ada banyak kenangan tak terlupakan tentang Sherpa Kaji bagi Clara. Kaji adalah pemandu sekaligus pendaki yang pernah memecahkan rekor 20 jam naik ke puncak Everest dari jalur selatan. Itu pun sepatu yang digunakan tanpa alas kaki yang tajam atau crampon untuk mencengkeram pijakan yang licin.
“Cuma pakai sepatu kets saja. Kakinya seperti bisa menancap sendiri,” kata Clara takjub.
Saat menjadi pemandunya, Kaji ingin memecahkan rekornya sendiri menjadi 18 jam. Namun gagal karena badai. Ketika tiba di camp IV, Clara meminta tolong Kaji untuk mengibarkan bendera Merah Putih di sana.
“Tapi terbalik. Putihnya di atas, merahnya di bawah. Polandia ya,” kata Clara sembari terkekeh.
Dan yang tak terlupakan adalah ketika Clara dan kelima sherpa tiba di puncak. Selama 10 menit di sana, Clara kebingungan karena kedua kameranya tak bisa dioperasikan. Membeku karena suhu mencapai minus 40-60 derajat Celcius. Jarak pandang pun terhalang karena badai sehingga tak bisa melihat dengan jelas. Clara pun sudah berfirasat akan menjadi masalah nantinya ketika dia tak punya foto saat di puncak Everest.
“Ya enggak apa-apa. Kami bisa jadi saksi,” kata sherpa-sherpa menenangkannya.
Kedua kameranya pun diapit Kaji di ketiaknya. Begitu turun dan cuaca agak cerah, sherpa pun membantunya mengambil gambar dirinya. Foto-foto itu yang kemudian beredar di media massa. Termasuk fotonya ketika memegang bendera Merah Putih dan majalah Time bersampul gambar Presiden Soeharto.
“Foto itu buat bukti (kalau mendaki Everest). Tapi tidak (foto) di puncak,” kata Clara jujur.
PITO AGUSTIN RUDIANA