Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Jejak Mulawarman di Muara Kaman

Raja Kutai Kartanegara Mulawarman meninggalkan jejak nyata di Muara Kaman. Wisata sejarah di tepi anak Sungai Mahakam.

28 Desember 2024 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gerbang Situs Kerajaan Kutai Mulawarman Ing Martadipura di Muara Kaman, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Raudal Tanjung Banua

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kerajaan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur dikenal sebagai kerajaan tertua di Indonesia.

  • Situs Kerajaan Kutai Mulawarman Ing Martadipura terletak di Desa Muara Kaman Ulu.

  • Situs ini unik karena di belakangnya terdapat situs Kerajaan Kutai Martadipura, yang ditaklukkan oleh Kutai Kartanegara.

JALUR alternatif Batu Cermin sepanjang hampir 20 kilometer itu teramat sepi dan membelah hamparan ladang dengan satu-dua rumah penduduk. Amien Wangsitalaja, pegawai Balai Bahasa Kalimantan Timur, menunjukkan jalan tersebut supaya saya tak terkena macet. Ia pun berbaik hati meminjamkan sepeda motor barunya dan mengajari saya cara menggunakan pengendali jarak jauh sepeda motor matik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada awal Agustus 2024, saya menjelajah situs bersejarah Muara Kaman, pusat Kerajaan Kutai Mulawarman Ing Martadipura, kerajaan tertua di Indonesia. Dulu, Kutai dan Raja Mulawarman bersama Tarumanagara dan Raja Purnawarman sangat akrab di telinga kita. Itulah dua nama kerajaan tertua dan rajanya di Indonesia yang sejarahnya diajarkan di bangku sekolah. Kutai muncul pada abad ke-4 di Kalimantan Timur dan Tarumanagara pada abad ke-5 di Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semula saya akan berangkat bersama Dahri Dahlan, dosen Universitas Mulawarman. Rencana itu batal karena ada orang di kampungnya yang meninggal dan dia sebagai pengurus organisasi perantau asal Mandar mesti ikut mengurusnya. Amien tak mungkin menemani karena harus masuk kantor. Maka berangkatlah saya sendirian ketika hari mulai tinggi dan, karena itu, Amien menyuruh saya menempuh jalur alternatif supaya cepat sampai.

Benar saja, tak sampai satu jam dari Samarinda, saya sudah tiba di Tenggarong Seberang. Jalanan ramai sebentar, seperti di Bukit Pariaman, yang mengingatkan saya pada nama daerah di pantai barat Sumatera. Namun, tak lama kemudian, keadaan kembali sepi, walaupun saya sudah berada di Jalan Trans Kalimantan poros tengah, yang membentang dari Tenggarong ke Muara Kaman sepanjang 125 kilometer. Jalannya mulus dan dari semen beton yang tampak baru diperbaiki. Konturnya naik-turun, tak ubahnya selendang perak sedang tersampir di punggung bukit.

Melewati kampung-kampung transmigrasi yang “ijo royo-royo”, saya seolah-olah berada di Bali atau di Jawa. Ada gerbang desa berupa candi bentar dan sanggah pemujaan di depan rumah-rumah yang berselingan dengan langgar dan balai desa. Sesekali saya berhenti menikmati panorama dari ketinggian tempat telaga biru tergenang di lembah. Ada juga berpetak sawah dan kebun palawija yang memberi gradasi pada dominannya sawit. Tak jarang saya bertemu dengan bangkai ular atau biawak tergeletak di jalan karena tergilas kendaraan.

Di sejumlah titik saya melihat pabrik pengolah sawit dan karyawan yang sedang antre masuk gerbang. Di sisi lain, jembatan yang saya lewati ternyata melintas di atas jalan tol batu bara. Truk-truk menderu di bawah sana. Sawit dan batu bara, dua komoditas utama Kalimantan Timur yang terus berproduksi, menyebabkan biawak dan ular keluar dari habitatnya. Mereka terlindas mesin-mesin. Sebagian terjerat dan kelaparan seperti satwa malang lain.

Setelah berkendara sekitar 2 jam 30 menit, sampailah saya di gerbang Kecamatan Muara Kaman di Desa Menamang Kiri. Sejenak saya menepi ke toko swalayan untuk membeli minuman botol dan kudapan. Mencari toko swalayan di sini sangat mudah, semudah di Pulau Jawa.

Warung makan juga cukup banyak bertebaran di sepanjang jalan, dari warung Jawa, rumah makan Padang, soto Banjar, sampai sate Madura. Saya memutuskan makan siang nanti saja jika sudah sampai di tujuan atau di pusat Kecamatan Muara Kaman. Tapi, ketika melanjutkan perjalanan, sadarlah saya bahwa sebuah kecamatan di Kalimantan tidak seperti di Jawa, yang luasnya mungkin tak seberapa. Di sini, alih-alih cepat bertemu dengan pusat kecamatan, saya malah kembali menyusuri jalan yang lebih lengang. Di sisa perjalanan, saya melewati Kampung Menamang Kanan, Sedulang, Liang Buaya, Oridan, Nangka Bona, dan Tunjungan.

Duplikat yupa di Museum Purbakala Muara Kaman. Raudal Tanjung Banua

SATU jam kemudian, barulah saya tiba di kompleks situs Kerajaan Kutai Mulawarman Ing Martadipura, sebagaimana terbaca dari plang besinya yang mulai berkarat. Tempat ini juga dikenal sebagai situs Muara Kaman karena berada di Desa Muara Kaman Ulu, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara. Di plang lain, yang karatnya jauh lebih parah sehingga nyaris tak terbaca, terdapat pengumuman bahwa situs ini dilindungi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Kompleks situs ini luas, berpagar papan ulin, dengan gerbang khas arsitektur Dayak. Di tengahnya tegak rumah panjang yang berfungsi sebagai Museum Purbakala Muara Kaman dan balai pertemuan. Di sudut depan ada taman, patung putri Cina, arca gajah tiruan, air mancur yang mengering, dan bangku-bangku tak terawat. Ada pula sebuah wisma yang masih bagus kondisinya, tapi mulai bersemak.

Di bagian belakang terdapat situs dan makam-makam kuno peninggalan Kerajaan Kutai Martadipura. Apa bedanya dengan Kutai Kartanegara? Kerajaan Kutai Martadipura merupakan kerajaan Hindu yang beribu kota di Muara Kaman atau Kutai Lama. Kerajaan ini didirikan oleh Kudungga pada abad ke-4 dengan Mulawarman, anak Aswawarman, sebagai rajanya yang terkenal. Menurut Constantinus Alting Mees dalam Kronik Kutai, disertasinya yang diterbitkan sebagai buku oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur pada 2021, nama Kutai bukan kepunyaan Dinasti Mulawarman, melainkan Dinasti Aji Batara Agung Dewa Sakti pada abad ke-13. Pada abad yang sama, nama Kutai sebagai “Kute” tercatat dalam kitab Kakawin Nagarakretagama.

Prasasti peninggalan Kerajaan Kutai Kartanegara yang berbentuk yupa, pahatan prasasti pada tugu atau tiang batu, menyebutkan Raja Mulawarman sangat dermawan. Ia menyumbangkan 20 ribu ekor lembu kepada kaum Brahmana sebagai persembahan kepada dewa. Sampai kini Mulawarman diabadikan setidaknya sebagai nama universitas negeri di Samarinda, Komando Daerah Militer VI di Balikpapan, dan museum daerah di Tenggarong.

Pada abad ke-16, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa dari Kutai Kartanegara menguasai Kutai Lama. Ia menggenapkan nama kerajaannya menjadi Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Pada 1732, ibu kota kerajaan dipindahkan, dari Muara Kaman ke Pemarangan, dan pada 1782 dipindahkan lagi ke Tenggarong. Ini seiring dengan masuknya agama Islam, yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan, dan berubahnya gelar raja menjadi sultan.

Menurut Budi Istiawan, pamong Badan Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV Samarinda, lokasi situs Muara Kaman luas dan menyebar. Selain di tepi Sungai Kedang Rantau, ada di Pulau Martapura di tengah Sungai Mahakam. Di sana ditemukan keramik, manik-manik, dan batu babi yang di dalamnya terdapat prasasti. Untuk ke sana harus didampingi dukun setempat.

Dalam pertemuan kami sehari sebelumnya di kantornya, Budi juga menyebutkan kawasan Danau Lipan. Tempat itu ada hubungannya dengan legenda putri Cina dan sebagian masyarakat meyakini di sana dulu banyak lipan. Yang unik dari Danau Lipan, jika dilihat di foto satelit atau Google Earth, akan tampak jelas garis-garis putih berupa tanggul besar melingkari kawasan itu. Namun, ketika dilihat langsung, tanggul itu tak ditemukan sama sekali. Budi sudah bolak-balik meneliti dan mencarinya, tapi nihil. “Datanglah ke sana, mana tahu Anda beruntung menemukannya,” katanya.

Budi pernah mempelopori pemugaran Candi Roco 1 dan Roco 2 di Dharmasraya, Sumatera Barat. Dia berpendapat Kerajaan Kutai Ing Martadipura berjaya pada abad ke-8 karena tertera di prasasti yupa yang beraksara Palawa dan berbahasa Sanskerta. Apalagi Mulawarman sempat menyebutkan nama Yudhistira. Maka nama kerajaannya bukan Martadipura, melainkan Amartadipura, sebagaimana nama Amarta yang populer dalam Hindu. Perubahan sebutan itu mungkin terjadi sejak zaman Kutai Kartanegara pada abad ke-18.

Duplikat yupa bersama pecahan keramik tersimpan di dalam bangunan Museum Purbakala Muara Kaman. Saya harus cukup puas menyaksikannya dari balik kaca nako jendela karena tak ada penjaganya di sana. Ada tujuh duplikat prasasti yupa tersimpan di museum, sedangkan prasasti aslinya berada di Museum Nasional, Jakarta.

Saya memutuskan berkeliling lokasi yang memang berupa kawasan terbuka itu. Saya mendatangi situs Lesong Batu di bagian paling belakang kompleks museum. Batu menyerupai lesung sepanjang 5 meter itu terbaring di tanah yang dikelilingi oleh lantai ubin serta diberi atap dan pagar. Ada bagian yang sudah diratakan dengan sedikit torehan aksara. “Sebenarnya itu bukan lesong (lesung), melainkan prasasti yang belum selesai ditulis,” ujar Budi.

Di situs Lesong Batu ada serombongan orang. Mereka agaknya dari Jakarta, menimbang logat dan gaya bicara mereka. Mereka diantar sebuah mobil dinas. Meskipun kami tak saling sapa, lumayan membuat saya tidak merasa sendirian di tempat itu. Hanya, mereka cuma mengunjungi Lesong Batu, kemudian pergi. Tinggallah saya kembali dalam sepi.

Saya berziarah ke deretan makam satu demi satu, yang dimulai dari makam paling terpencil di bawah sebatang pohon kuning gading dan bernisan kayu dengan ukiran yang indah. Kendati dari kayu, kuatnya menyamai besi. Pastilah itu kayu ulin pilihan dari zaman ketika pohon-pohon Kalimantan belum dihabisi. Tak ada nama pemilik nisan. Ketika saya tanyakan kepada dua petani yang lewat, tak seorang pun yang tahu itu makam siapa.

Saya beranjak ke deretan makam lain di dekat museum yang diberi cungkup, diikat kain kuning, dan sebagian sedang dipugar. Banyak makam yang tampaknya berasal dari masa berbeda jika menilik material dan bentuk nisannya, dari nisan sederhana berupa sebatang kayu dan sebuah batu hingga nisan semen bertulisan huruf Arab.


Tip Wisata ke Situs Muara Kaman

Jalur darat

  • Jarak tempuh sekitar 125 km dari Samarinda dan 110 km dari Tenggarong.
  • Tersedia juga mobil travel bertarif Rp 85 ribu per orang.

Jalur sungai

  • Dari Samarinda atau Tenggarong menggunakan kapal motor kayu sambil melihat ibu-ibu mengayun anaknya dengan kain di para-para.
  • Tarif Samarinda-Muara Kaman Rp 57 ribu per orang dengan waktu tempuh dua kali lebih lama daripada jalur darat.
  • Anda bisa menyewa perahu bermotor seharga sekitar Rp 2 juta.

Kendaraan pribadi

  • Perjalanan bisa mengkombinasikan jalur darat dan sungai. Jalur darat Samarinda-Tenggarong dapat ditempuh sampai Kotabangun dan dari sana ada dermaga kapal penyeberangan sungai ke Muara Kaman.
  • Tarif satu mobil Rp 50 ribu dan tiket masuk seharga Rp 75 ribu jika menyeberang pada malam hari.

Akomodasi

  • Sangat disarankan menginap di Muara Kaman. Selain kunjungan ke sejumlah situs purbakala cukup menyita waktu, sayang melewatkan suasana sore, malam, dan pagi hari di delta Kedang Rantau-Mahakam.
  • Bagi pemancing-mania, banyak spot menarik di sepanjang Sungai Kedang Rantau.
    Penginapan di Kecamatan Muara Kaman tersedia dengan harga berkisar Rp 100-250 ribu per malam.
  • Kuliner rakyat juga mudah didapatkan.

Saya menduga makam kuno dengan gundukan tanah dan nisan berupa menhir ada kemungkinan dari masa Kerajaan Kutai Mulawarman Ing Martadipura yang Hindu, sedangkan makam bersemen dengan nisan serupa gada dan berhuruf Arab sangat mungkin dari era Kutai Kartanegara yang sudah Islam. Ada pula makam dengan hiasan silsilah yang berhubungan dengan kelompok salawatan.

Jika begitu, situs Muara Kaman ini tidak hanya menyimpan peninggalan Hindu dan jejak Dinasti Mulawarman, tapi juga peninggalan Islam. Setelah Kerajaan Kutai Mulawarman Ing Martadipura direbut Kesultanan Kutai Kartanegara, ibu kotanya tak sekonyong-konyong pindah dari Muara Kaman ke Pemarangan atau Tenggarong, melainkan bertahap.

Ketika rasa lapar mulai mendera, beranjaklah saya mencari warung makan. Saya mengarahkan sepeda motor ke tepian Sungai Kedang Rantau, bertemu dengan Sungai Mahakam di sebuah delta kecil yang ramai. Rumah-rumah bertiang kayu berderet di situ, yang dihubungkan jalan dan lorong-lorong kayu yang berderak-derak saat dilewati.

Bukan hanya rumah, fasilitas umum yang lebih besar di sini, seperti kantor desa, musala, dan sekolah, juga didirikan di atas tiang-tiang kayu. Kita merasa seolah-olah berada di tengah studio. Ibu-ibu terlihat meriung di beranda sambil mengipas-ngipas badan. Banyak di antara mereka yang memakai caping warna-warni. Langit mendung, tapi hujan belum lagi turun sehingga sungai mengirim uap panas ke perkampungan padat itu.

Suasana perkampungan khas Kalimantan itu membuat saya merasa segar. Apalagi jika sesekali angin bertiup dari sungai, meriapkan gelagah dan bunga teratai. Di antara rerumputan liar yang membentuk jalur rawa-rawa, nelayan bercaping lebar mendayung sampannya. Namun sungai itu kini menyempit, padahal dulu itulah jalur utama menuju istana Mulawarman. Meski sesekali ada perahu bermotor lewat, jelas transportasi air mulai ditinggalkan. Dermaganya tampak terbengkalai dan hanya sesekali dipakai.

Setelah menelusuri jalanan kayu sembari mengintip sungai, saya tiba di perkampungan Danau Lipan. Apa yang disebut danau itu kini tinggal rawa-rawa dangkal, yang sebagian mengering dengan tanah yang retak-retak. Di atasnya rumah-rumah berdiri dan jalan kayu melingkar.

Tanpa terasa, saya pun sampai di Pasar Muara Kaman Ilir. Di sana terdapat Monumen Perjuangan Rakyat Muara Kaman melawan penjajah Belanda. Tak jauh dari situ terdapat makam Muso bin Salim, pahlawan nasional asal Kalimantan Timur. Karena bertepatan dengan bulan Agustus, sepanjang tepian sungai dan kompleks makam dipasangi bendera dan umbul-umbul merah-putih berhias foto Muso Salim.

Sungai Kedang Rantau di Muara Kaman. Raudal Tanjung Banua

PUAS mengelilingi bagian terunik Muara Kaman Ulu dan Muara Kaman Ilir, akhirnya saya bertemu dengan dua warung makan cukup besar persis di tepi Sungai Mahakam. Satu terbilang ramai, satu lagi biasa saja. Di depan warung yang ramai itu saya melihat mobil dinas pembawa “rombongan Jakarta” tadi terparkir dan penumpangnya sedang lahap bersantap.

Saya pilih warung yang tak terlalu ramai serta memesan nila goreng serta semangkuk sayur labu panas, sambal belacan, dan teh hangat. Saya makan sambil menyaksikan kapal tongkang batu bara yang bergerak lambat membawa hasil galian perut bumi Borneo.

Tak lama kemudian, telepon saya berdering. Ternyata dari si penjaga situs Muara Kaman, Thairan Ababil, yang sebelumnya saya hubungi, tapi belum merespons. Ia mengatakan akan menunggu saya di lokasi situs.

Segera saya ke sana menemui dia. Lelaki kurus 30 tahun itu meminta maaf karena tidak berada di sana ketika saya tiba. Rupanya saat itu ia pergi ke rumah mertuanya di kampung seberang. Ia lalu mengajak saya menyusuri situs itu kembali. Saya sebenarnya ingin masuk ke dalam museum. Namun, kata Ababil, bukan dia yang memegang kuncinya, melainkan kepala kampung.

Kami akhirnya ke bagian belakang untuk melihat lagi situs dan makam yang tadi saya susuri. Saya pikir kali ini saya akan mendapat lebih banyak keterangan dari dia. Namun Ababil malah mengajak saya pergi lebih jauh ke tepian Sungai Kedung Rantau dan memasuki kerimbunan pohon bambu yang lembap dan penuh nyamuk.

Di balik rimbunan bambu itu ternyata terdapat banyak situs batu dan gundukan tanah yang diduga makam kuno. Bahkan ada sebuah dermaga yang sudah lapuk menjulur ke sungai. Sebuah kapal kayu cukup besar terdampar remuk di situ. “Ini dermaga buatan pemerintah daerah dan ini kapal operasional yang sudah rusak. Dari sini dulu orang bisa berkunjung langsung dari Tenggarong, lebih dekat daripada lewat darat,” tutur Ababil. “Tapi kini dermaga hanya digunakan anak-anak muda buat bermalam Minggu.”

“Bermalam Minggu di hutan bambu penuh nyamuk?”

“Iya. Tinggal bakar sabut kelapa sawit, nyamuknya pergi, kecuali yang bandel,” ucap Ababil kalem. Saya manggut-manggut karena sejak tadi merasa nyamuk di sini bandel semua.

Tiba-tiba Ababil menunjuk sebuah batu hitam besar. “Inilah batu asal-usul Lembu Swana yang jadi lambang Kabupaten Kutai Kartanegara,” katanya.

Saya memperhatikan batu itu sambil membayangkan protetipenya, lembu bersayap kuning emas, di Pulau Kumala Tenggarong. Sebenarnya tak terlalu mirip, kecuali memang ada bagian yang seperti ditatah.

“Dan di mana makam Mulawarman?” tanya saya.

Thairan Ababil terdiam sebentar. Kemudian ia menunjuk satu gundukan tanah paling besar. “Kemungkinan ini, tapi peneliti masih terus memastikannya,” ujarnya.

Lalu ia menunjuk pula batu Lembu Swana. “Tapi, sebagai raja Hindu, bisa jadi Mulawarman tak dikubur, Pak. Abunya mungkin ditaruh di atas batu ini.”

Saya memang tak menemukan referensi tentang tempat Sang Raja dikubur. Tapi saya cukup puas menjumpai jejak Mulawarman dalam wujud situs dan artefak di sini. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raudal Tanjung Banua

Raudal Tanjung Banua

Sastrawan dan penikmat perjalanan. Tinggal di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus