Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

3 Potret Generasi Pelestari Kuliner di Festival Jajanan Bango

Ada 3 pewaris resep kuliner khas di Indonesia yang hadir di Festival Jajanan Bango bertema Kelezatan Asli, Lintas Generasi.

22 Maret 2019 | 18.25 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Apalah jadinya kekayaan kuliner Indonesia jika tak ada generasi yang merawatnya. Melestarikan resep yang kemudian menghasilkan sajian autentik bukan untuk diri sendiri atau keluarga, namun akan lebih bernilai jika bisa dinikmati masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca: Festival Jajanan Bango 2019: Trik Melestarikan Kuliner Lokal

Itulah yang dilakukan tiga pewaris resep makanan khas di Indonesia dari 83 pedagang yang hadir di Festival Jajanan Bango bertema 'Kelezatan Asli, Lintas Generasi' di Area Parkir Squash, Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, pada Sabtu dan Minggu, 16 - 17 Maret 2019. Ada Muhammad Nasrullah atau biasa disapa Heru yang meneruskan resep bubur ase, Yayat Supriyatna dengan kuliner sate kuah Pak Haji Diding, dan Muhammad Deden melalui resep cungkring.

Mereka bertiga membawa setiap penikmat kuliner bernostalgia dengan cita rasa yang populer bagi orang tua di masa lalu. Lidah pun tak pernah bohong. Cita rasanya benar-benar berbeda dari makanan kekinian ditambah filosofi dan nilai pelestarian kuliner Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pedagang Bubur Ase Mpok Neh, Muhammad Nasrullah menceritakan bagaimana dia mewarisi resep bubur yang rasanya tak bisa dibayangkan jika hanya dibicarakan. Kuliner khas Betawi ini memadukan rasa gurih, manis, asam, dan asin. Muhammad Nasrullah yang biasa disapa Heru ini mengatakan kata ase pada bubur ase adalah singkatan dari asinan semur. Nama yang mewakili rasanya.

Bubur Ase Mpok Neh, perpaduan asinan dan semur dalam satu hidangan di Festival Jajanan Bango, di Area Parkir Squash, Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, Sabtu, 16 Maret 2019. TEMPO | Bram Setiawan

Bubur Ase Mpok Neh memiliki campuran bahan asinan, yaitu tauge, timun, sawi, dan lobak. Kuah semur pun bercampur tahu dan tetelan sapi. Kemudian, bubur ditaburi kacang goreng, kerupuk dan emping. Tidak ada bumbu spesial untuk membuat semur. Yang bikin bubur ase istimewa adalah aneka rasa yang bercampur dalam satu piring. "Ada banyak rasa di sini, seperti masyarakat Jakarta yang majemuk," kata Heru. Tampilan bubur ase berbeda dari bubur pada umumnya. Warnanya gelap karena tersiram kuah semur dan banyak sayuran.

Pada tahun 1970-an, orang berbondong-bondong datang ke Jalan Kebon Kacang III Nomor 83, yang kini menjadi kediaman Heru. Di sinilah ibunda Heru, Asnah atau Mpok Neh berjualan bubur ase. "Resepnya turun-temurun di keluarga kami," kata Heru. Kini Mpok Neh telah tiada. Heru yang menjadi generasi penerus tetap melestarikan resep bubur ase. Sayangnya, Heru hanya membuat bubur ase jika ada pesanan. Modal menjadi kendala untuk meneruskan kuliner yang sudah berumur hampir setengah abad itu.

Rampung menyantap bubur ase di Festival Jajanan Bango, kini beralih ke sajian kuliner yang mewakili makanan Indonesia dalam ajang World Street Food Congress di Singapura pada 2013. Makanan itu adalah Sate Kuah Pak Haji Diding. Variasi soto tangkar dari haji Diding ini sudah ada sejak 1960-an. "Biasanya orang yang berjualan soto punya sisa, daging rebusan itu dibumbui kemudian dibuat sate," kata Yayat Supriyatna, anak Pak Haji Diding yang berjualan sate kuah.

Hidangan kuliner satu porsi Sate Kuah Pak Haji Diding di Festival Jajanan Bango, di Area Parkir Squash, Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, Sabtu, 16 Maret 2019. TEMPO | Bram Setiawan

Yayat menceritakan, dulu ayahnya tak mau jika anak-anaknya meneruskan jejak dia sebagai pedagang soto. Yayat pun sempat bekerja di salah satu bank swasta selama 12 tahun. Saat Haji Diding meninggal pada 1998, usaha kuliner tersebut dilanjutkan oleh ibunda Yayat. Lantaran ibunya sudah berusia lanjut, Yayat meneruskan usaha kuliner Sate Kuah Pak Haji Diding. Seperti ayahnya, Yayat berjualan di Pasar Pagi Jakarta.

Dia tahu betul seluk-beluk sate kuah itu karena sering membantu orang tuanya berjualan sejak kecil. "Pulang sekolah saya ikut belanja," kata Yayat. Saat itu, menurut Yayat, Haji Diding berjualan soto menggunakan pikulan. Kini, Sate Kuah Haji Diding masih tersedia di tempat yang sama dengan suasana yang lebih nyaman karena menempati sebuah kios.

Resep Sate Kuah Pak Haji Diding tidak jauh beda dengan soto tangkar. Hanya saja, daging yang digunakan untuk hidangan soto adalah sate sapi. Yayat tidak mengubah bumbunya. Dia hanya menyesuaikan pilihan daging untuk sate. "Saya pilih daging sapi bagian paha," ujarnya. Ada beragam cara menikmati sate kuah. Pembeli bisa memilih porsi terpisah antara sate dan soto atau memesan soto yang berisi irisan daging sate.

Satu lagi warisan kuliner yang bikin penasaran di Festival Jajanan Bango adalah cungkring. Adalah Muhammad Deden yang sehari-hari berjualan cungkring menggunakan pikulan. Deden berjualan di Gang Aut, Jalan Suryakencana, Bogor, Jawa Barat. Deden meneruskan usaha kuliner ayahnya, Pak Jumat. Bukan cuma resep, cara menjajakan makanan dengan pikulan yang dilakukan Deden juga sama seperti yang diterapkan ayahnya dulu.

Hidangan kuliner satu porsi Cungkring Pak Jumat di Festival Jajanan Bango, di Area Parkir Squash, Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, Sabtu, 16 Maret 2019. TEMPO | Bram Setiawan

Cungkring singkatan dari cungur, kikil, dan garingan sebutan untuk keripik tempe. Cungkring dimakan dengan lontong dengan siraman bumbu kacang yang kental dan bertabur bawang goreng. Cita rasanya manis dan gurih ditambah sensasi kenyal kikil dan cungur (moncong) sapi. "Ini resep keluarga yang dikenal menjadi kuliner khas Bogor," kata Deden yang dagangannya biasa disebut Cungkring Pak Jumat.

Warga Bogor mengenal Cungkring Pak Jumat sejak tahun 1975. Pelanggannya tersebar dari Depok, Tangerang, dan Jakarta. Ada pula pelancong dari Makassar dan Jambi yang sengaja datang untuk menyantap Cungkring Pak Jumat. "Sekarang memang sulit menemukan cungkring," katanya Deden.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus