Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

7 Fakta Unik Desa Adat Umoja, Desa Tanpa Laki-laki di Kenya

Desa Umoja, sebuah desa adat di Kenya hanya dihuni oleh perempuan. Laki-laki dilarang masuk.

23 Februari 2025 | 07.00 WIB

Suku Samburu saat menghadiri acara Maralal Camel Derby, Kenya, 15 Agustus 2015. Festival ini diwarnai tarian suku, kios-kios pasar, dan beberapa wahana taman bermain tradisional. REUTERS/Goran Tomasevic
Perbesar
Suku Samburu saat menghadiri acara Maralal Camel Derby, Kenya, 15 Agustus 2015. Festival ini diwarnai tarian suku, kios-kios pasar, dan beberapa wahana taman bermain tradisional. REUTERS/Goran Tomasevic

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah budaya patriarki yang kuat di Kenya, terdapat sebuah desa adat bernama Umoja yang hanya dihuni oleh perempuan. Desa ini menjadi tempat perlindungan bagi perempuan yang mengalami kekerasan, pernikahan paksa, atau berbagai bentuk diskriminasi lainnya. Didirikan pada tahun 1990 oleh Rebecca Lolosoli, desa ini berkembang menjadi simbol perlawanan dan perjuangan perempuan dari suku Samburu. 

Menurut laman The Solo Female Traveler Network, desa ini tidak hanya menjadi tempat berlindung tetapi juga pusat pemberdayaan perempuan. Penduduk Umoja hidup mandiri dengan mengelola ekonomi mereka sendiri, mendidik anak-anak, dan menjaga komunitas tetap kuat meskipun menghadapi banyak tantangan. 

Berikut adalah 7 fakta tentang Desa Umoja yang menjadikannya salah satu desa paling menarik di dunia.

1. Hanya Dihuni oleh Perempuan

Dikutip dari laman Glamour, dijelaskan bahwa desa ini awalnya dibentuk untuk melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender dan pernikahan paksa yang umum terjadi dalam budaya Samburu. Desa ini dihuni 47 perempuan dan 200 anak. Sebagian besar penghuninya adalah korban perkosaan, pelecehan, atau pernikahan paksa. 

Rebecca Lolosoli, pemimpin komunitas ini, menyatukan perempuan Samburu yang terusir dari rumah dan kehilangan haknya. Umoja menjadi ruang aman bagi mereka yang melawan pernikahan dini, kekerasan, dan mutilasi genital perempuan.

2. Berdiri Sebagai Bentuk Perlawanan

Berdiri sejak 1990, Umoja lahir dari perlawanan para perempuan Samburu yang menjadi korban pemerkosaan oleh tentara Inggris. Rebecca Lolosoli mendirikan Umoja setelah dirinya dianiaya karena berbicara tentang hak perempuan. Ia menyadari bahwa banyak perempuan lain mengalami nasib serupa dan membutuhkan tempat aman. Lebih dari selusin perempuan yang terusir dari komunitasnya mendirikan desa ini sebagai tempat aman. Kini, hampir 50 perempuan dan ratusan anak tinggal di sana, membangun kehidupan baru jauh dari kekerasan dan ketidakadilan.

3. Mengelola Ekonomi Secara Mandiri

Perempuan di Umoja menjalankan berbagai usaha ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka membuat dan menjual kerajinan tangan khas Samburu serta mengenakan biaya masuk bagi wisatawan yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang desa mereka. Dilansir dari laman The Solo Female Traveler Network, ekonomi ini membantu mereka menjadi lebih mandiri secara finansial. Semua uang yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan dibagikan kembali secara merata sesuai dengan jumlah anggota keluarga masing-masing. Uang tambahan tersebut kemudian digunakan untuk membiayai kebutuhan masyarakat, seperti pendidikan anak-anak hingga dana darurat. 

4. Pendidikan bagi Anak-anak Perempuan

Umoja tidak hanya menjadi tempat perlindungan, tetapi juga pusat pendidikan bagi anak-anak perempuan. Desa ini memiliki sekolah kecil yang mengajarkan anak-anak tentang hak-hak perempuan melalui program advokasi di desa mereka dan desa-desa sekitar. Mereka mendatangi masyarakat sekitar dan memberi tahu para perempuan dan anak-anak perempuan tentang hak-hak mereka terkait pernikahan dini dan Female Genital Mutilation (FGM). "Jika seorang anak perempuan dinikahkan di usia dini, anak perempuan itu tidak akan menjadi orang tua yang kompeten," kata kepala sekolah Umoja kepada Guardian.

5. Perempuan Umoja Tetap Memiliki Keturunan

Rasio jumlah anak perempuan di desa ini jauh lebih banyak dibanding perempuan dewasa. Fenomena ini sempat menarik perhatian karena menimbulkan pertanyaan bagaimana desa ini tetap berkembang. 

Warga mengakui bahwa laki-laki memang tak diizinkan tinggal di sana, tetapi mereka tetap ingin memiliki anak. Bagi mereka, menjadi ibu tidak selalu harus melalui pernikahan. Apabila mereka menginginkan seorang anak, mereka akan keluar dari desa ini.

6. Masih Mendapat Ancaman dari Kaum Laki-laki

Kemandirian perempuan di Umoja tak selalu diterima dengan tangan terbuka. Banyak pria di komunitas sekitar tak setuju, bahkan mengancam Rebecca Lolosoli karena perjuangannya.

Untuk menjaga keamanan, desa ini dikelilingi pagar. Meski begitu, masih ada pria yang mencoba masuk. Apabila ada situasi tersebut, maka perempuan-perempuan di Umoja akan segera menghubungi polisi.

7. Laki-laki Boleh Berkunjung

Meskipun pria tidak diperbolehkan menetap di Umoja, mereka tetap dapat berkunjung sebagai wisatawan. Kehadiran wisatawan, termasuk pria, menjadi salah satu sumber pendapatan bagi komunitas ini. Melalui pariwisata, perempuan di Umoja dapat memperkenalkan budaya Samburu, menjual kerajinan tangan, dan mengelola tur desa untuk mendukung keberlanjutan ekonomi mereka.

Menurut Rebecca Lolosoli, pria yang berkunjung tetap harus mematuhi aturan yang ditetapkan oleh komunitas. Melalui hal ini berarti meskipun Umoja didirikan sebagai ruang aman bagi perempuan, interaksi dengan dunia luar tetap dijaga agar mendukung kemandirian dan keberlanjutan desa.

Perempuan yang mengalami kekerasan bisa datang ke Umoja untuk berlindung, meski hanya sementara. Di desa ini, mereka bisa membangun kembali hidup, memulihkan diri, dan bertahan di tengah solidaritas sesama perempuan. Bagi perempuan Samburu, menjauh dari laki-laki bukan sekadar pilihan, melainkan satu-satunya cara untuk benar-benar merdeka. Selama kekerasan berbasis gender terus terjadi, perempuan harus mencari cara untuk melindungi diri, meskipun salah satunya dengan hidup terpisah dari laki-laki. 

Pilihan Editor: Bagaimana Sampah Plastik Cisadane Sampai ke Laut Afrika

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus