Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Sate maranggi yang populer sebagai kuliner khas daerah Purwakarta kini telah menyebar ke berbagai daerah seperti Cianjur dan Bandung. Berdasarkan hasil penelitian Irvan Setiawan, peneliti utama Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX Jawa Barat, sate maranggi telah dikenal sejak 1960.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Orang yang pertama kali membuat itu namanya Mak Anggi di Plered tapi kita nggak tahu inisiatifnya dulu itu apa,” kata dia, Senin 27 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai orang asal Purwakarta, Irvan tergerak mengangkat kuliner khas daerahnya itu sebagai kajian riset. Setelah topiknya disetujui atasan, dia melakukan riset mandiri selama 3,5 tahun hingga makalahnya terbit di jurnal Patanjala pada 2017. Bahan kajiannya itu juga digunakan untuk pengusulan sate maranggi sebagai warisan budaya takbenda nasional yang kemudian ditetapkan pemerintah pada 2023.
Asal-usul Sate Maranggi
Sebutan sate maranggi berasal dari nama Mak Anggi, penjual sate asal Jawa Tengah yang menggunakan tenda sebagai tempatnya berjualan di daerah Cianting. Kemudian di Plered pada 1962 sate maranggi, dijual Bustomi Sukmawirdja alias Mang Udeng, selanjutnya pada 1970 diolah Mak Unah di daerah Wanayasa. Saat itu sebutannya sate panggang, menggunakan daging sapi atau kerbau. Setelah itu sate maranggi ada yang menggunakan daging kambing.
Dijajakan Keliling
Menurut Irvan, sate maranggi dulu juga dijajakan berkeliling oleh lelaki dewasa hingga tua. Waktunya dari pagi sampai sore setelah disiapkan segala bahan jualannya pada malam hari. Sambil berjalan kaki, mereka memikul kotak yang berisi bahan makanan dan peralatan. Bahannya antara lain sate yang telah siap dipanggang di atas wadah berisi arang, kecap, dan nasi yang dibungkus daun pisang.
Sate maranggi yang telah dipanggang atau dibakar kemudian ditempatkan dalam wadah tampah beralas daun pisang. Pembeli tinggal mengambil sesuka hati berapa tusuk. "Tapi tusuknya tidak boleh dibuang untuk menghitung harga sate yang dimakan," kata Irvan.
Penjual biasanya menyajikan minuman air teh tawar dari teko aluminium. Peralatan lain seperti kipas tangan, piring, gelas, dan ember berisi air untuk mencuci peralatan makan. Kotak dagangan sate yang terbuat dari kayu, papan, dan rotan, masih kerap dipakai oleh penjual di kiosnya. Kemudian sejak 6 April 2016 dibentuk komunitas penjual sate maranggi yang berjualan di Kampung Maranggi. Jumlahnya waktu itu menurut Irvan sebanyak 120 pedagang yang berlokasi di dekat Stasiun Plered.
ANWAR SISWADI