Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bagi yang ingin touring atau rehat sejenak dari aktivitas, Desa Genteng di Kecamatan Sukasari, Sumedang, Jawa Barat, bisa menjadi pilihan untuk dikunjungi. Di ujung perjalanan yang menantang adrenalin itu, ada perkebunan kopi yang indah yang dikelilingi pohon-pohon pinus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Desa Genteng di kaki Gunung Manglayang ini terletak di ketinggian 1.260 meter di atas permukaan laut (mdpl). Tanah dan cuaca di sana cocok untuk berkebun kopi. Jalan menuju desa ini berliku dan terjal. Jika tak macet, perjalanan menuju ke sana menggunakan kendaraan pribadi memakan waktu 45 menit sampai satu jam dari Ibu Kota Bandung. Sawah dan deretan rumah warga menjadi pemandangan yang menyejukkan mata sepanjang perjalanan tersebut.
Donasi Bibit Kopi
Pada Kamis, 17 Oktober 2024, Tempo bersama rombongan dari Starbucks Indonesia mengunjungi wilayah perkebunan dan pengolahan biji kopi di Desa Genteng. Kunjungan ini merupakan bagian dari acara serah-terima donasi 4.400 bibit kopi kepada para petani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu petani itu adalah Dedi Mulyadi, 47. Ia menceritakan, sudah lima tahun terakhir kerja sampingan menjadi petani kopi. Dia menanam sekitar 400 ribu pohon kopi di atas lahan milik Perhutani dengan sistem bagi hasil.
“Saya cuma ngegarap aja mulai dari mencari bibit kopi, pengurusan kebun, pemupukan, sampai panen. Setiap tahun sharing (keuntungan) Rp300 ribu per tahun (dikasih) ke Perhutani. Pihak Perhutani tidak membatasi mau menanam berapa batang bibit kopi,” kata Dedi, dalam wawancara dengan Tempo, 17 Oktober 2024, di tengah kebun kopi dan hutan pinus.
Menurut Dedi, kebun kopinya saat ini belum bisa dijadikan sumber pemasukan utama. Sebab, kopi hanya panen setahun sekali, sehingga pekerjaan utamannya tetap berdagang. Adapun harga biji kopi sekarang rata-rata dibanderol Rp13 ribu per kilogram.
Suka Duka Petani Kopi
Dia mengenang, pernah mendapat hasil panen kopi 1,5 ton dari total 400 ribu bibit kopi yang ditanamnya. Sebelum pandemi Covid-19, dia bahkan pernah pula mendapat hasil panen sampai tiga ton.
Dedi menyebut bertani kopi itu gampang-gampang susah. Pasalnya, bibit kopi bisa dengan mudah diperoleh dari tunas-tunas yang suka tumbuh di sekitar pohon kopi yang sudah tua. Perawatan kebun kopi pun tak harus setiap hari dibersihkan dari semak-belukar. Ketika pertama kali mulai menanam kopi, Dedi bahkan mengaku tak pakai modal.
Namun tantangan dalam berkebun kopi adalah hama dan cuaca. Kendala lain yang disebut Dedi adalah akses jalan, di mana saat hujan turun, motor tak bisa naik karena kebun-kebun kopi itu berada di ketinggian.
“Saya juga pernah ngalamin rugi gara-gara cuaca. Kalau cuaca hujan terus bisa berpengaruh pada kualitas biji kopi karena membuat kopi hitam. Sedangkan kopi yang bagus untuk diproses lebih lanjut jenis kopi yang masih merah (seperti ceri),” kata Dedi, bercerita.
Di sekitar area kebun kopi itu, ada beberapa rumah warga dan musala. Air di sana dingin meski hari sudah siang. Untuk rekreasi ke kebun kopi dan hutan pinus ini, sebaiknya berangkat sepagi mungkin agar tak terganggu cuaca.