Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Cerita Asal-Usul Bregada, Unit Keprajuritan Keraton Yogyakarta

Unit bregada Keraton Yogyakarta makin berkembang pesat bersamaan langkah Keraton membangun tata kota.

4 Maret 2023 | 23.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Hampir semua peristiwa seni adat dan tradisi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selalu melibatkan aksi baris berbaris prajurit atau bregada Keraton Yogyakarta. Namun mungkin masih belum banyak yang mengetahui, bagaimana sejarah asal usul terbentuknya prajurit keraton itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prajurit Keraton Yogyakarta lahir bersamaan peristiwa Perang Mangkubumen yaitu perang Pangeran Mangkubumi melawan VOC kurun 1746-1755. Di tahun 1755 itu bertepatan ketika Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono I yang kemudian memerintah hingga 1792.

Cikal Bakal Bregada Keraton Yogyakarta

"Kesatuan prajurit yang berperang dalam Perang Mangkubumen itulah yang kemudian menjadi cikal bakal prajurit Keraton Yogyakarta yang kini dikenal sebagai bregada," kata kerabat Keraton Yogyakarta Gusti Bendara Pangeran Hario (GBPH) Yudhaningrat dalam diskusi budaya Menggaungkan Kembali yang Punah di Ndalem Yudhanegaran, Yogyakarta, Sabtu, 4 Maret 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yudhaningrat yang lama menjabat sebagai Manggala Yudha atau kepala prajurit Keraton Yogyakarta itu menuturkan unit bregada makin berkembang pesat bersamaan langkah Keraton membangun tata kota. Saat itulah ikut bermunculan kampung-kampung untuk para prajurit bermukim. 

"Keraton Yogyakarta tak kurang memiliki 10 kesatuan bregada. Dari 10 itu, 8 di antaranya berada di bawah naungan Keraton langsung dan dua kesatuan sisanya memiliki tugas khusus," kata Yudha, yang merupakan salah satu putra Sultan HB IX itu.

Ada Bregada yang Punya Tugas Khusus, dari Sulawesi

Satu contoh bregada atau kesatuan prajurit dengan tugas khusus yakni Prajurit Bugis dan Daeng. Mereka merupakan prajurit yang terbentuk  dari kalangan para pedagang dari bumi Sulawesi yang memutuskan menetap di Tanah Jawa di bawah Kerajaan Mataram. 

"Prajurit Bugis ini dulunya diberi tugas salah satunya mengawal putra mahkota di Ndalem Mangkubumen dan jalannya pemerintahan di Kepatihan," kata dia.

Unit Bregada Prawirotomo juga memiliki tugas khusus melindungi keberadaan Pangeran Mangkubumi terutama saat kerajaan sedang bersitegang dengan Belanda sebelum lahirnya Perjanjian Giyanti. Yudha menuturkan, ada satu kisah saat Pangeran Mangkubumi sedang dicari tentara Belanda. Tentara Belanda kewalahan mencari Mangkubumi karena sengaja menyamar dalam unit Bregada Prawirotomo. 

Untuk membedakan Mangkubumi dengan prajurit lain dalam unit Bregada Prawirotomo itu, kata Yudha, sebenarnya cukup mudah. "Ciri khasnya, kalau prajurit lain membawa tombaknya dipikul dipundak, tapi Pangeran Mangkubumi membawa tombaknya yaitu Kyai Pleret yang lebih panjang itu dengan cara diseret," kata Yudha.

Selanjutnya, Benteng Pertahanan Keraton Yogyakarta

Benteng Pertahanan Keraton Yogyakarta

Warga berkostum Bregada mengikuti kirab di kawasan Malioboro, Yogyakarta, Senin, 3 Januari 2021. Kirab yang diikuti paguyuban Bregada Rakyat DIY, Polri dan TNI tersebut memperingati peristiwa pemindahan Ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta pada Januari 1946 silam. ANTARA/Hendra Nurdiyansyah

Yudha menjelaskan, selain dibentengi kampung-kampung yang dihuni prajurit dari berbagai kesatuan, Keraton Yogyakarta juga memiliki benteng pertahanan terluar yakni pondok di desa-desa untuk menghadapi musuh pertama kali jika terjadi perang sebelum perjanjian Giyanti lahir. Pertahanan terluar Keraton Yogyakarta itu, kata Yudha, terkonsolidasi melalui Masjid Pathok Negara.

"Pondok di desa-desa itu diisi santri sebanyak mungkin yang dipimpin oleh penghulu Pathok Negara dan kyai," kata dia. "Santri santri itu tak hanya diajari bertani, namun juga menjaga keamanan, jadi kalau ada tentara Belanda masuk wilayah Yogya harus terfilter dulu lewat pondok pondok yang dipimpin ulama setempat," kata Yudha.

Yudha menambahkan, memasuki era kepemimpinan Sri Sultan HB IX, prajurit Keraton mengalami pergeseran fungsi karena desakan dari Belanda. Sejak saat itu, tugas prajurit keraton adalah melanjutkan dan melestarikan Keraton Yogyakarta lantaran mreka tak lagi berperang. Prajurit bertugas mengisi agenda budaya, keagamaan seperti Grebeg dan perkawinan agung. 

"Meskipun di satu sisi bregada itu tetap melaksanakan tugas, menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan Keraton juga membantu abdi dalem," kata dia. 

Kerabat keraton lainnya yang merupakan cucu Sultan HB VIII, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Jatiningrat menuturkan pada periode 1945 hingga 1970 atau di bawah Sultan HB IX, prajurit Keraton Yogyakarta sempat dibekukan sementara. Tindakan itu untuk merumuskan fungsi keprajuritan di era modern.

Sultan HB IX melihat Belanda menginginkan pimpinan prajurit Keraton diambil dari unsur kolonel Belanda. Permintaan itu ditolak Sultan HB IX. Agar unit keprajuritan tetap bisa dipertahankan dan di bawah instruksi Sultan, akhirnya tampilan prajurit perang Keraton diubah. Pakaian tempurnya diganti dengan pakaian untuk upacara adat yang lebih berwarna dan meriah penuh atribut seperti saat ini. 

"Dulu Belanda sangat khawatir dengan unit keprajuritan Keraton  terutama setelah Keraton Yogya menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia," kata dia.

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus