Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Di Samosir, Presiden Jokowi Kunjungi Kampung Halaman "Pengacara"

Kampung Huta Siallagan yang dikunjungi Presiden Jokowi memiliki pengadilan untuk adili penjahat. Di zaman itu, profesi pengacara ternyata sudah ada.

31 Juli 2019 | 15.27 WIB

Huta Siallagan memiliki sistem peradilan yang mengadili penjahat dengan didampingi penasihat atau pengacara. Pengadilan diadakan di kursi dan meja batu. Foto: dy_ellie
Perbesar
Huta Siallagan memiliki sistem peradilan yang mengadili penjahat dengan didampingi penasihat atau pengacara. Pengadilan diadakan di kursi dan meja batu. Foto: dy_ellie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Suku Batak Samosir ternyata telah memiliki sistem peradilan kuno. Mereka mengadili lalu menghukum penjahat, bila dinyatakan bersalah. Nah, uniknya, sudah ada penasihat bagi penjahat, yang sekarang disebut sebagai pengacara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sistem perasilan ini ada di Huta Siallagan. Kampung Huta Siallagan berlokaso di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Kampung budaya itu menjadi tempat persinggahan pertama Presiden Joko Widodo di hari ketiga kunjungan kerjanya, pada Rabu, (31/7).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Kampung adat ini berada tak jauh dari area Danau Toba. Huta Siallagan berarti Kampung Siallagan dalam bahasa Batak. Siallagan sendiri diambil dari nama Raja Laga Siallagan yang dahulu membangun perkampungan tersebut dan merupakan garis keturunan suku Batak asli.

Ketika berkunjung ke sana, Jokowi dan rombongan disambut Bupati Samosir beserta istri dan sejumlah tokoh adat termasuk di antaranya adalah keturunan raja ke-17 Siallagan, Gading Jansen Siallagan, yang menjadi semacam pemandu sekaligus tetua di kampung tersebut.

Kepada Presiden, Gading menjelaskan bahwa di kampung tersebut terdapat area yang disebut dengan “batu persidangan”, tempat di mana sang raja mengadili para pelanggar hukum adat. Bila dilihat secara saksama, batu persidangan ini berbentuk sebuah meja dengan kursi yang tersusun melingkar.

“Jadi kalau Raja Siallagan bersidang memberikan hukuman kepada setiap penjahat, di sinilah dia disidang,” kata Gading dalam siaran tertulis Biro Pers dan Media Sekretariat Presiden.

Gading juga menjelaskan prosesi persidangan yang dahulu biasa berlangsung di batu persidangan. Bertempat di sebelah kanan raja ialah adik-adik raja, sementara di sebelah kirinya ialah para penasihat yang terdiri atas dua penasihat terdakwa, dua penasihat korban, dan satu penasihat kerajaan.

“Kenapa mereka perlu penasihat kerajaan? Apabila tidak ada komitmen (kesepakatan) antara empat penasihat, maka keputusan ada di tangan penasihat kerajaan. Kalau bahasa sekarang itulah yang disebut pengacara,” ucapnya.

Maka tidak aneh jika orang Batak banyak yang menjadi pengacara. Bahkan, kata Gading, pengacara tersebut kebanyakan lulusan Siallagan.

Dalam hukum Raja Siallagan saat itu setidaknya terdapat tiga jenis persidangan. Ketiganya ialah persidangan untuk tindak pidana ringan, tindak pidana umum, dan tindak pidana serius (berat).

Kampung budaya Huta Siallagan dikelilingi batu. Di dalamnya merupakan rumah para raja dan pejabatnya. Foto: @therika21

“Kami sebut tindak pidana ringan, yaitu mencuri. Raja masih memaafkannya, raja membebaskannya, asal dia bisa bayar empat kali apa yang dia curi. Kalau dia curi satu kerbau, dia harus bayar empat kerbau, maka boleh bebas,” tuturnya.

Dalam persidangan, raja dan para penasihat akan mencari hari baik untuk mengeksekusi pelaku tindak pidana berdasarkan kalender Batak. Jika waktu eksekusi telah diputuskan, maka hukuman akan diberikan.

“Seorang dukun akan diperintahkan oleh raja kapan orang ini akan dipancung. Orang Batak punya (semacam) feng shui. Kalau orang Jawa bilang itu primbon, orang Batak bilang maniti ari,” kata Gading.

Huta Siallagan sendiri seperti sebuah benteng dengan tembok batu yang mengelilingi area seluas kurang lebih 2.400 meter persegi dan berfungsi untuk melindungi kampung tersebut.

 

Friski Riana

Friski Riana

Lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana pada 2013. Bergabung dengan Tempo pada 2015 di desk hukum. Kini menulis untuk desk jeda yang mencakup isu gaya hidup, hobi, dan tren. Pernah terlibat dalam proyek liputan Round Earth Media dari International Women’s Media Foundation dan menulis tentang tantangan berkarier para difabel.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus