Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan bahwa dirinya merasakan nuansa kolonial yang kuat saat tinggal di tiga istana peninggalan pemerintah Hindia Belanda, yaitu Istana Merdeka, Istana Negara, dan Istana Bogor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi mengungkit Istana Negara dan Istana Merdeka pernah dihuni oleh dua kolonialis berbeda, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pieter Gerardus van Overstraten dan Johan Wilhelm van Lansberge. Sementara Istana Bogor sempat ditempati oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem van Imhoff.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sudah kita tempati 79 tahun. Ini bau-bau kolonial selalu saya rasakan setiap hari, dibayang-bayangi. Dan sekali lagi, kita ingin menunjukan bahwa kita punya kemampuan untuk juga membangun ibu kota sesuai dengan keinginan kita,” kata Jokowi saat memberi arahan kepada kepala daerah di Istana Garuda, IKN, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pada Selasa, 13 Agustus 2024, dikutip dari keterangan video.
Sejarah Istana Bogor
Istana Kepresidenan Bogor berawal dari pencarian orang-orang Belanda yang bekerja di Batavia (sekarang Jakarta) untuk menemukan tempat peristirahatan yang lebih nyaman. Mereka merasa Batavia terlalu panas dan ramai, sehingga memilih mencari tempat dengan iklim yang lebih sejuk di luar kota. Selain mereka, Gubernur Jenderal Belanda, G.W. Baron van Imhoff, juga melakukan pencarian serupa dan pada 10 Agustus 1744, ia menemukan sebuah lokasi strategis di Kampong Baroe.
Pada tahun 1745, Van Imhoff memerintahkan pembangunan sebuah pesanggrahan di tempat tersebut, yang dinamakan Buitenzorg (berarti 'bebas masalah/kesulitan'). Ia merancang sendiri bangunan tersebut dengan meniru arsitektur Blenheim Palace, kediaman Duke of Malborough di Inggris. Nama Buitenzorg juga digunakan untuk menyebut wilayah sekitarnya, yang kini dikenal sebagai kota Bogor. Namun, hingga masa dinas Van Imhoff berakhir, bangunan tersebut belum selesai dan dilanjutkan oleh penggantinya, Gubernur Jenderal Jacob Mossel.
Bangunan Istana Bogor. Dok. Biro Sekretariat Presiden
Istana Kepresidenan Bogor mengalami kerusakan parah saat terjadi pemberontakan perang Banten pada tahun 1750-1754, dipimpin oleh Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang. Pasukan Banten menyerang dan membakar Kampong Baroe, namun setelah pemberontakan berakhir, bangunan tersebut diperbaiki dengan tetap mempertahankan arsitektur awalnya.
Selama masa pemerintahan Hindia-Belanda, terjadi beberapa perubahan pada pesanggrahan ini seiring dengan pergantian gubernur jenderal. Salah satu perubahan signifikan terjadi pada masa Gubernur Jenderal Willem Daendels (1808-1811), di mana gedung diperluas ke kiri dan kanan, serta gedung induk dijadikan dua tingkat.
Pada masa Gubernur Jenderal Baron van der Capellen (1817-1826), terjadi perubahan besar lainnya dengan didirikannya menara di tengah gedung induk dan lahan di sekitar istana dijadikan Kebun Raya, yang diresmikan pada 18 Mei 1817. Kebun ini didirikan oleh C.G.C. Reinwardt, seorang guru besar dan Direktur Urusan Pertanian, Kerajinan, dan Ilmu Pengetahuan di Hindia Belanda. Namun, gempa bumi pada 10 Oktober 1834 menyebabkan kerusakan berat pada istana.
Perbaikan dan penyempurnaan Istana terus dilakukan, dan pada masa Gubernur Jenderal Albertus Yacob Duijmayer van Twist (1851-1856), bangunan yang terkena gempa dirubuhkan dan dibangun kembali dengan arsitektur Eropa Abad IX. Istana Bogor akhirnya selesai dibangun pada masa Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud de Montager (1856-1861), dan pada tahun 1870, Istana Buitenzorg ditetapkan sebagai kediaman resmi Gubernur Jenderal Belanda. Gubernur Jenderal terakhir yang menghuni istana ini adalah Tjarda van Starckenborg Stachouwer, sebelum menyerahkannya kepada pemerintah pendudukan Jepang pada masa Perang Dunia II.
Setelah Indonesia merdeka, Istana Kepresidenan Bogor mulai digunakan oleh pemerintah pada Januari 1950. Seiring waktu, beberapa perubahan dilakukan pada istana ini, termasuk penambahan pilar bergaya Ionia pada bagian depan gedung dan penggantian jembatan kayu dengan koridor.
Pada masa penjajahan Belanda, istana ini berfungsi sebagai tempat peristirahatan, namun setelah kemerdekaan, fungsinya berubah menjadi kantor urusan kepresidenan dan kediaman resmi Presiden Indonesia. Beberapa peristiwa penting yang terjadi di istana ini termasuk Konferensi Lima Negara pada Desember 1954, pertemuan JIM untuk membahas konflik Kamboja pada Juli 1988, dan Pertemuan Para Pemimpin APEC pada November 1994. Selain itu, penandatanganan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar juga terjadi di istana ini.
Istana Kepresidenan Bogor memiliki 37 bangunan, termasuk Gedung Induk yang terdiri dari delapan ruang utama seperti Ruang Garuda dan Ruang Teratai. Gedung Utama Sayap Kiri dan Sayap Kanan juga memiliki fungsi penting, termasuk ruang konferensi dan tempat menginap tamu negara. Di kompleks istana, terdapat enam pavilion yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan pejabat dan keluarga Presiden. Pavilion Dyah Bayurini menjadi kediaman Presiden Joko Widodo sejak Mei 2015.
Selain bangunan utama, istana ini juga memiliki halaman yang dihiasi oleh patung-patung bernilai seni tinggi dan dipelihara populasi rusa yang terus berkembang. Di area Istana Bogor juga terdapat Museum Kepresidenan Balai Kirti, yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 18 Oktober 2014. Museum ini dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada para Presiden Indonesia dan menjadi tempat wisata edukasi bagi masyarakat.
Istana Kepresidenan Bogor memiliki koleksi buku sebanyak 3.205 buah serta berbagai benda seni, termasuk 448 lukisan, 216 patung, dan 196 keramik. Semua benda seni ini tersimpan di museum istana dan digunakan untuk memperindah setiap ruang di istana.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Willem Daendels (1808-1811), di halaman istana didatangkan enam pasang rusa dari India dan Nepal. Hingga kini, populasi rusa di Istana Bogor terus berkembang, dan beberapa rusa diberikan kepada pihak-pihak yang memintanya sesuai persyaratan.
SETNEG | EXPLORESUNDA
Pilihan editor: Sejarah Istana Bogor yang Disebut Jokowi Bau Kolonial Pernah Terbakar Saat Perang Banten