Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah peristiwa penting terjadi 58 tahun yang lalu, tepatnya pada Sabtu, 11 Maret 1966, ketika Presiden Sukarno menyerahkan Surat Perintah Sebelas Maret atau yang lebih dikenal dengan Supersemar kepada Jenderal Soeharto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Supersemar tersebut, Sukarno memberikan instruksi kepada Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Soeharto untuk mengatasi situasi yang tidak stabil dengan mengambil tindakan yang dianggap perlu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Supersemar menjadi awal dari peralihan kekuasaan dari pemerintahan Sukarno ke Soeharto, yang kemudian menyatakan rezimnya sebagai Orde Baru. Meskipun kemudian muncul kontroversi, pada awalnya Supersemar dianggap sebagai surat serah mandat kekuasaan dari Presiden Sukarno kepada Soeharto.
Penyerahan surat tersebut terjadi karena situasi keamanan negara menjadi tidak stabil akibat peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September atau G30S pada dini hari 1 Oktober 1965.
Tiga jenderal yang meyakinkan Sukarno
Pada 11 Maret 1966, saat sedang berlangsung sidang pelantikan Kabinet Dwikora atau Kabinet 100 Menteri, Brigadir Jenderal Sabur dari Pasukan Pengawal Presiden (Tjakrabirawa) melaporkan adanya kehadiran pasukan yang tidak dikenal, yang kemudian diketahui sebagai anggota Pasukan Kostrad di bawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris. Pasukan Kostrad tersebut bertugas untuk menahan sejumlah orang di Kabinet yang diduga terlibat dalam peristiwa G30S, termasuk Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Sidang pelantikan kabinet terpaksa ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena karena situasi tersebut. Sementara itu, Presiden Sukarno bersama Wakil Perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh pergi menuju Bogor dengan helikopter.
Situasi ini dilaporkan kepada Panglima Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto, yang absen dari sidang pelantikan kabinet karena mengaku sakit. Lantas, Soeharto mengutus tiga perwira tinggi Angkatan Darat, yaitu Brigjen M. Jusuf, Brigjen Amir Machmud, dan Brigjen Basuki Rahmat, untuk menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor.
Setelah melakukan pembicaraan dengan Presiden Sukarno, ketiga perwira tersebut menyampaikan bahwa Mayjen Soeharto bisa menangani situasi tersebut dengan baik jika diberi wewenang.
Sukarno menyetujui usulan tersebut dan menulis surat perintah yang memberikan wewenang kepada Soeharto. Surat tersebut kemudian dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar, yang memberikan wewenang kepada Soeharto untuk mengambil tindakan yang diperlukan demi meredam gejolak dan mengembalikan kestabilan keamanan negara.
Pasukan Kostrad tersebut bertugas menahan sejumlah orang di Kabinet yang diduga terlibat dalam G30S, termasuk Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Menerima laporan tersebut, sidang pelantikan kabinet terpaksa ditutup dan Presiden Sukarno pergi ke Bogor dengan helikopter bersama beberapa pejabat pemerintahan.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayjen Soeharto yang mengutus tiga perwira tinggi Angkatan Darat untuk menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor. Ketiga perwira tersebut melakukan pembicaraan dengan Presiden Sukarno dan menyarankan agar Soeharto diberi wewenang untuk mengatasi situasi tersebut.
Presiden Sukarno menyetujui usulan tersebut dan menandatangani Supersemar, yang memberikan wewenang kepada Soeharto untuk mengambil tindakan yang diperlukan demi meredam gejolak dan memulihkan keamanan negara.
Seusai penandatanganan Supersemar, Soeharto membubarkan PKI yang dianggap sebagai dalang G30S dan menangkap 15 orang menteri yang diduga terlibat dalam peristiwa tersebut. Meskipun keamanan sudah stabil dan PKI sudah dibubarkan, Supersemar tetap diakui oleh MPRS melalui sebuah tap yang mengukuhkannya sehingga Presiden Soekarno tidak bisa mencabutnya.
Supersemar menjadi simbol dari runtuhnya kekuasaan Soekarno dan dimulainya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.