YOGYA di sekitar tahun 1963. Di tembok-tembok toko, di bak-bak
sampah atau di seputar Jalan Mataram, tersebar coretan-coretan
yang berbunyi: "Beattles no! Basiyo yes!". Waktu itu --saat
jayanya PKI--banyak orang latah menentang masuknya segala macam
kebudayaan asing. Terutama yang dari negara "nekolim", seperti
negaranya grup Beattles.
Yogya di tahun 1971 dan 1977, dalam kampanye dua Pemilu. Basiyo
adalah salah seorang tokoh yang berhasil menyukseskan Golongan
Karya untuk wilayah D.I. Yogya. Di samping tokoh-tokoh seperti
Sri Sultan Hamengkubuwono atau Pak Besut.
Basiyo--pelawak dan juga memimpin grup Dagelan Mataram--milik
wong Yogya. Digemari oleh mereka yang mengerti bahasa Jawa,
tokoh yang mempunyai perut sedikit buncit, suara yang khas dan
rambut potongan tentara, telah meninggal hari Jum'at dinihari,
31 Agusus. Cukup mengejutkan, karena 4 jam sebelumnya almarhum
baru saja menyelesaikan pertunjukan lawakannya di Gedongkuning,
Yogya.
Untuk menyelusuri riwayat hidup almarhum tidaklah mudah. "Sebab
dia anak rakyat jelata yang tidak biasa mencatat kelahiran
anaknya," demikian Pak Besut membacakan riwayat hidup almarhum.
Tokoh RRI Yogya yang terkenal dengan programa "brolan Pak
Besut" ini kemudian melanjutkan: "Juga karena Pak Basiyo belum
pernah menjadi pegawai negeri." Riwayat hidupnya hanya didapat
dari keterangan beberapa temannya yang sebaya, seprofesi dalam
bidang kesenian ketoprak atau dagelan (melawak).
Diperkirakan Basiyo lahir di tahun 1914. Ayahnya seorang tukang
sepatu biasa yang harus menghidupi keluarganya penuh dengan
kepasrahan dan keprihatinan, seperti lazimnya seorang jelata
dalam kehidupan masyarakat Jawa. Demikian pula Basiyo. Ketika
usiaya menginjak belasan tahun, sering menepi di lereng Gunung
Merapi atau di Parangtritis, di pantai Lautan Hindia.
Barangkali dengan harapan mendapat wangsit atau petunjuk untuk
menyusuri masa depannya.
Latihan melucu atau mendagel dimulainya ketika pemuda Basiyo
menjadi tukang celup di salah satu perusahaan kain di Yogya.
Waktu itu, sekitar 1930, di Yogya sedang berkembang kesenian
rakyat yang bernama ketoprak. Salah satu grup terkenal ialah
Krido Raharjo yang main di Kertonaden. Ia berhenti jadi tukang
celup dan lalu magang untuk jadi anak wayang di Krido Raharjo.
Basiyo memegang peranan sebagai prajurit (bala tentara biasa)
selama bertahun-tahun.
Suaranya cukup baik, lawakannya kaya akan pengalaman hidupnya
yang pahit. Basiyo kemudian di tahun 1953 -- bersama almarhum
Tjokrodjijo mempunyai acara tetap pada siaran RRI Nusantara 11
(Yogya) sampai akhir hayatnya. Di samping menjadi pemain
ketoprak, melawak dan mengisi acara terap di radio ("Uyon-uyon
Manasuka" setiap hari Senin malam), Basiyo pernah Nrut dalam
kegiatan Langen Mandrawanara di Kepatihan Yogya. Yang terakhir
ini adalah bentuk kesenian baru di zaman Jawa Madya, ialah
campuran seni tari dan tembang. Untuk hal ini, Basiyo telah
diangkat menjadi "abdi dalem" Kraton Yogya dan mendapat anugerah
nama baru Lontangpangarso.
Pangkur Jenggleng
Tetapi nama Lontangpangarso tidak pernah dipakainya. Karena itu
tidak tcrkenal. Para penggemar hanya mengenal nama yang aslinya:
Basiyo. Atau Pak Bas. Wong Yogya biasa memanggilnya Pak Basiyo
nJenggleng. Imbuhan yang terakhir ini diberikan oleh
penggemarnya, karena sejak 1963, selain pelawak Basiyo adalah
juga penembang Pangkur Jenggleng dari RRI Yo'gya. Jenggleng
adalah gending pangkur yang dibawakan Basiyo secara berkelakar
dan di saat-saat tertentu disentak oleh pukulan saron yang oleh
kuping pendengar berbunyi "jenggleng".
Seperti juga Charlie Chaplin yang hidup melarat di waktu kecil,
Basiyo pandai sekali membawakan suara hati rakyat kecil lewat
dagelan-dagelannya. Misalnya dagelannya yang juga telah
dikasetkan tentang kehidupan tukang becak, tidak menjemukan
untuk didengarkan berkali-kali. Kendaraan Basiyo sehari-hari
memang becak, sementara pelawak S. Bagyo atau Eddy
Sud--"murid-murid" Basiyo -- telah menyetir mobil. Kemelaratan
hidupnya di masa kecil hidup sederhana dan merakyat, juga telah
memperkaya isi lawakannya.
Menurut Kepala Seksi Kesenian RRI Nusantara 11 Yogya, Soeroyo,
telah lebih dari 10 buah kaset dagelan Basiyo yang diprodusir
oleh Lokananta. "Saya ndak takut penggemar akan bosan," Basiyo
pernah berkata, "karena mereka toh akan tetap datang untuk
melihat tampang saya yang jelek." Selain suaranya yang khas dan
lawakannya yang penuh permainan kata-kata, gerak-geriknya dl
atas panggung cukup mengasyikkan. "Pelawak itu disebut sebagai
orang waras, ya ndak bisa. Disebut wong edan, juga tidak bisa,"
Basiyo berkata ketika ada Sarasehan Dagelan di Yogya, April
1978.
Rakyat kecil yang sengsara tetap disuarakannya. Misalnya dalam
Pokrol Kucing (judul kasetnya). Basiyo berperan sebagai tukang
soto yang tidak laku dagangannya. Dalam lawakan itu, dimasukkan
sekalian nasehat bagaimana sebaiknya menjaga kebersihan kota,
propaganda yang biasanya menjemukan kalau dibawakan dengan
kasar. Juga dalam Mendut, cuplikan sedikit dari cerita Rara
Mendut, Basiyo memerankan penjual sapi yang kaya tetapi angkara
murka.
Tak Pernah Surut
Almarhum juga orang yang setia kepada akarnya. "Basiyo setia
sekali kep.da RRI Yogya," kata Teguh, pimpinan Srimulat yang
pernah mengajak Basiyo masuk dalam grupnya. Berkali-kali Basiyo
diajak Teguh, tetapi sekian kali pula dia menolak untuk
kompanyon. Tidak juga diusahakannya "menasionalkan" diri dengan
melawak berbahasa Indonesia--malahan bahasa Indonesia yang
dibuatnya menjadi kacau jadi bahan lawakannya. "Dagelan sudah
jadi penghidupan saya," ia pernah berkata, "dan saya ini bisa
jadi orang karena dagelan."
Almarhum cukup puas karena sebagai pelawak, penggemarnya tidak
pernah surut. Jenderal Widodo ketika menjabat Pangkowilhan 11
juga pcrnah memberinya tanda penghargaan. Ayah dari 12 orang
anak dan mempunyai isteri 3 orang ini telah mempunyai cucu 48
orang dan cicit 5 orang. Isterinya yang kedua, Suhartini,
bekerja di RRI Yogya di Seksi Ketoprak dan Dagelan. Yang ketiga,
Pujiyem, tidak punya anak dan bekas anak wayang Srimulat.
Pujiyem, sesekali turutuga melawak.
"Kami berharap," kata Suhartini, "selama 40 hari ini suara
Basiyo yang dikasetkan jangan disiarkan dulu oleh RRI maupun
radio non RRI, khususnya di Yogya. Agar kami tenang dulu."
Sabtu lalu, 1 September siang, jenazah Basiyo diberangkatkan
dari kampung Sutodirjan, disemayamkan sebentar di studio RRI
Nusantara 11 Yogya dan dimakamkan di pemakaman Terban Taman
Yogya. Ribuan penggemarnya mengiringi perjalanan Basiyo
terakhir, sepanjang 2 Km dengan berjalan kaki. Gending Tlutur
mengiringi upacara pemakaman ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini