DIDAHULUI oleh ucapan "Nuwun paromiarso . . . ", tepat pukul
21.20 sampai dengan 21.30 WIB, setiap hari Kamis dan Sabtu, Pak
Besut merajai angkasa Yogyakarta. Dengan siaran bernama "Obrolan
Pak Besut" seorang yang bernama P. Wardoyo menjadi sangat
terkenal. Ia mengeruk simpati lapisan masyarakat tingkat bawah
sampai ke atas. Tidak hanya orang-orang Jawa --pemakai bahasa
yang dipakai dalam siaran itu --juga mereka yang sedikit-sedikit
mengerti bahasa Jawa ikut terpesona.
Bekas Menteri Frans Seda pernah menyatakan bahwa ia selalu
mengikuti acara tersebut sambil belajar bahasa Jawa. Susanto
Tirtoprodjo, ketika akan menjabat Duta Besar di Negeri Belanda
menanyakan apakah RRI Yogya bisa ditangkap di Negeri Bawah Air
itu. "Bagaimana kalau Pak Besut pindah ke RRI Jakarta, supaya
saya bisa mendengar?" tanyanya. Sementara itu Menteri PU
sekarang, Poernomosidi, ketika berkunjung ke Gunung Kidul,
langsung menyalami Pak Besut karcna ia sudah kenal betul
suaranya, meskipun dengan orangnya baru sekali itu ketemu.
Menyinggung RRI
Belum selesan Di tahun 1978, tatkala delegasi dari Suriname
mengadakan pertemuan dengan wartawan di Press Room PWI Yogya dan
Pak Besut diperkenalkan, spontan masyarakat Jawa di Suriname
mendekat. "Apa masyarakat Suriname mendengar suara saya? " tanya
Pak Besut. Ya. Bahkan masyarakat Indonesia yang ada di New
Caledonia juga pernah menyatakan bahwa mereka merupakan
pendengar setia. Di sana siaran "Obrolan Pak Besut" diterima
pukul 03.00 pagi. Bayangkan bagaimana ngebetnya.
Siapakah sebenarnya Pak Besut ini? Ia lahir bulan Januari 1910.
Punya 4 orang anak, 19 cucu dan seorang cicit. Tapi yang
terlebih penting, ia tampil di RRI dengan pembicaraan tentang
apa saja yang sedang populer di kalangan masyarakat. Sebuah
pendekatan yang memberikan informasi, menelaah dan juga
mengeritik.
Ia mengaku mengemukakan pandangan dari tokoh-tokoh yang
sebetulnya tidak ada. Seperti Man Djamino, mBakyu Santinet, Dik
Asmonah, Pak Besut dan mBok Besut. Tokoh-tokoh itu adalah tokoh
ludruk Surabaya. Man Djamino adalah orang tua yang banyak
pengalaman mBakyu Santinet bakul pasar Dik Asmonah pemudi
modern Pak Besut tokoh yang ingin mengupas sesuatu, tapi dia
sendiri tidak mengerti, lalu tanya pada tokoh-tokoh lainnya.
Mbok Besut hanya ikut-ikutan. Pada hakekatnya obrolan ini hanya
melemparkan masalah, kesimpulannya diserahkan pada pendengar.
Bahan masalah macam-macam. "Pokoknya semua masalah yang patut
ditanggapi ya ditanggapi. Misalnya masalah tanah, korupsi dan
lain-lain," kata P. Wardoyo. Bahan-bahan itu ditimba dari berita
pers, radio, laporan langsung dari rakyat baik dengan surat
maupun lisan. "Dulu hampir setiap hari terima surat dari
pendengar, hanya minta dibahas persoalan yang dihadapinya. Tapi
sekarang sudah jarang, karena semua masalah sudah tertanggapi,"
kata Pak Besut.
Ditanya berapa honorariumnya, ia hanya tersenyum. "Tak usah
disebut, nanti menyinggung RRI," ujarnya. Ada sebuah anekdot
yang terjadi di tahun 1966. Waktu itu BM Diah masih sebagai
Menteri Penerangan. Ia mcngadakan pertemuan di kantor Harian
Kedaulatan Rakyat Yogya. Abdul Hamid, Kepala Studio RRI Yogya,
bertanya kepada Pak Besut, berapa honor yang diterimanya.
Banyak. Sebelum Desember honor saya Rp 8.500 dan setelah
Desember dinaikkan Rp 12.500." Menteri memotong "Uang baru atau
uang lama?" Jawab Pak Besut: "Kalau uang baru Rp 12,50." Nyonya
Herawati Diah ikut bertanya "Lho kok begitu?" Dengan tenang Pak
Besut menjawab lagi: "Saya tidak tahu, tanya saja pada
suamimu."
Pak Besut memang tidak begitu mempedulikan berapa besarnya
honor. "Saya ini berjuang hanya bisa lewat bicara di radio,
karena saya tidak berani bertempur," katanya terus terang. Ia
sudah bicara di radio sejak 16 Desember 1945 lewat Radio
Indonesia Merdeka milik Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia
yang dipimpin oleh Bung Tomo. Atas desakan masyarakat, kemudian
RRI Yogya dan radio-radio lainnya yang di bawah kekuasaan RI
menilai siaran Pak Besut. Tatkala Siaran Indonesia Merdeka
dihapuskan tahun 1947, Pak Besut mulai dikantongi RRI Yogya.
Nama P. Wardoyo nyaris hilang setelah dipergunakannya nama Pak
Besut. Selama 34 tahun ia tak pernah absen mengisi acara. Hanya
pernah sekali, kelupaan. Tanggapan masyarakat tentu saja tidak
hanya baik-baik saja. Ada yang marah atau tersinggung. Namun
sampai saat ini Pak Besut tidak pernah mengalami kegoncangan
yang berarti akibat reaksi-reaksi pada siarannya. Bahkan ia
diperlakukan istimewa, karena naskah-naskahnya tidak pernah
disensor terlebih dahulu.
Naik Beca
Pak Besut menjadi wartawan freealance di tahun 1930. Tahun 1946
bersama-sama Sumanang SH ia membuat majalah Birawa (bahasa Jawa)
di Yogya dan pada tahun itu juga mendirikan Harian Nasional. Di
tahun 1958 ia pindah ke Harian Kedaulatan Rakyat. Pada tahun
1966 diminta oleh DPD Golkar DIY menjadi anggota DPRGR DIY.
Setelah Pemilu 1971 dan 1977 ia tetap menduduki kursi tersebut.
Orang tua sederhana yang ke manamana selalu naik beca ini
tiba-tiba dikabarkan meninggal, tepat pada hari meninggalnya
seniman lawak ketoprak RRI Yogya Basiyo, 31 Agustus yang lalu.
Telepon berdering di Harian R mau pun di rumah Pak Besut,
gencar menanyakan perihal jago ngobrol itu. "Saya tidak tahu
dari mana datangnya berita itu," kata Pak Besut yang masih segar
bugar.
Kini ia masih tetap setia mengasuh siarannya. Secara bergurau ia
pernah menyampaikan pada Pak Harto, bahwa ia sudah capek dan
minta berhenti. "Tidak boleh," kata Pak Harto. Pak Besut pun
menurut. Ia tetap berusaha tampil dalam ruang yang sudah
disediakan, sambil menjaga dengan hati-hati agar jarak antara
dia dengan penggemarnya tetap akrab. Barangkali itu salah satu
sebabnya ia tetap naik beca --tidak tergiur untuk mengambil
kredit kendaraan bermotor seperti rekan-rekannya anggota DPRD
yang lain. "Kalau hidup saya ini sekonyong-konyong berobah,
nanti masyarakat menilai, oh, Pak Besut sudah begitu," kata
orang tua itu kepada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini