Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pak Besut juga 34 tahun

Pak besut alias pancratius wardoyo, 69, selalu mengisi acara "obrolan pak besut" secara tetap di rri yogyakarta dalam bahasa jawa. memberikan informasi menelaah dan mengkritik macam-macam masalah. (sd)

15 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIDAHULUI oleh ucapan "Nuwun paromiarso . . . ", tepat pukul 21.20 sampai dengan 21.30 WIB, setiap hari Kamis dan Sabtu, Pak Besut merajai angkasa Yogyakarta. Dengan siaran bernama "Obrolan Pak Besut" seorang yang bernama P. Wardoyo menjadi sangat terkenal. Ia mengeruk simpati lapisan masyarakat tingkat bawah sampai ke atas. Tidak hanya orang-orang Jawa --pemakai bahasa yang dipakai dalam siaran itu --juga mereka yang sedikit-sedikit mengerti bahasa Jawa ikut terpesona. Bekas Menteri Frans Seda pernah menyatakan bahwa ia selalu mengikuti acara tersebut sambil belajar bahasa Jawa. Susanto Tirtoprodjo, ketika akan menjabat Duta Besar di Negeri Belanda menanyakan apakah RRI Yogya bisa ditangkap di Negeri Bawah Air itu. "Bagaimana kalau Pak Besut pindah ke RRI Jakarta, supaya saya bisa mendengar?" tanyanya. Sementara itu Menteri PU sekarang, Poernomosidi, ketika berkunjung ke Gunung Kidul, langsung menyalami Pak Besut karcna ia sudah kenal betul suaranya, meskipun dengan orangnya baru sekali itu ketemu. Menyinggung RRI Belum selesan Di tahun 1978, tatkala delegasi dari Suriname mengadakan pertemuan dengan wartawan di Press Room PWI Yogya dan Pak Besut diperkenalkan, spontan masyarakat Jawa di Suriname mendekat. "Apa masyarakat Suriname mendengar suara saya? " tanya Pak Besut. Ya. Bahkan masyarakat Indonesia yang ada di New Caledonia juga pernah menyatakan bahwa mereka merupakan pendengar setia. Di sana siaran "Obrolan Pak Besut" diterima pukul 03.00 pagi. Bayangkan bagaimana ngebetnya. Siapakah sebenarnya Pak Besut ini? Ia lahir bulan Januari 1910. Punya 4 orang anak, 19 cucu dan seorang cicit. Tapi yang terlebih penting, ia tampil di RRI dengan pembicaraan tentang apa saja yang sedang populer di kalangan masyarakat. Sebuah pendekatan yang memberikan informasi, menelaah dan juga mengeritik. Ia mengaku mengemukakan pandangan dari tokoh-tokoh yang sebetulnya tidak ada. Seperti Man Djamino, mBakyu Santinet, Dik Asmonah, Pak Besut dan mBok Besut. Tokoh-tokoh itu adalah tokoh ludruk Surabaya. Man Djamino adalah orang tua yang banyak pengalaman mBakyu Santinet bakul pasar Dik Asmonah pemudi modern Pak Besut tokoh yang ingin mengupas sesuatu, tapi dia sendiri tidak mengerti, lalu tanya pada tokoh-tokoh lainnya. Mbok Besut hanya ikut-ikutan. Pada hakekatnya obrolan ini hanya melemparkan masalah, kesimpulannya diserahkan pada pendengar. Bahan masalah macam-macam. "Pokoknya semua masalah yang patut ditanggapi ya ditanggapi. Misalnya masalah tanah, korupsi dan lain-lain," kata P. Wardoyo. Bahan-bahan itu ditimba dari berita pers, radio, laporan langsung dari rakyat baik dengan surat maupun lisan. "Dulu hampir setiap hari terima surat dari pendengar, hanya minta dibahas persoalan yang dihadapinya. Tapi sekarang sudah jarang, karena semua masalah sudah tertanggapi," kata Pak Besut. Ditanya berapa honorariumnya, ia hanya tersenyum. "Tak usah disebut, nanti menyinggung RRI," ujarnya. Ada sebuah anekdot yang terjadi di tahun 1966. Waktu itu BM Diah masih sebagai Menteri Penerangan. Ia mcngadakan pertemuan di kantor Harian Kedaulatan Rakyat Yogya. Abdul Hamid, Kepala Studio RRI Yogya, bertanya kepada Pak Besut, berapa honor yang diterimanya. Banyak. Sebelum Desember honor saya Rp 8.500 dan setelah Desember dinaikkan Rp 12.500." Menteri memotong "Uang baru atau uang lama?" Jawab Pak Besut: "Kalau uang baru Rp 12,50." Nyonya Herawati Diah ikut bertanya "Lho kok begitu?" Dengan tenang Pak Besut menjawab lagi: "Saya tidak tahu, tanya saja pada suamimu." Pak Besut memang tidak begitu mempedulikan berapa besarnya honor. "Saya ini berjuang hanya bisa lewat bicara di radio, karena saya tidak berani bertempur," katanya terus terang. Ia sudah bicara di radio sejak 16 Desember 1945 lewat Radio Indonesia Merdeka milik Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia yang dipimpin oleh Bung Tomo. Atas desakan masyarakat, kemudian RRI Yogya dan radio-radio lainnya yang di bawah kekuasaan RI menilai siaran Pak Besut. Tatkala Siaran Indonesia Merdeka dihapuskan tahun 1947, Pak Besut mulai dikantongi RRI Yogya. Nama P. Wardoyo nyaris hilang setelah dipergunakannya nama Pak Besut. Selama 34 tahun ia tak pernah absen mengisi acara. Hanya pernah sekali, kelupaan. Tanggapan masyarakat tentu saja tidak hanya baik-baik saja. Ada yang marah atau tersinggung. Namun sampai saat ini Pak Besut tidak pernah mengalami kegoncangan yang berarti akibat reaksi-reaksi pada siarannya. Bahkan ia diperlakukan istimewa, karena naskah-naskahnya tidak pernah disensor terlebih dahulu. Naik Beca Pak Besut menjadi wartawan freealance di tahun 1930. Tahun 1946 bersama-sama Sumanang SH ia membuat majalah Birawa (bahasa Jawa) di Yogya dan pada tahun itu juga mendirikan Harian Nasional. Di tahun 1958 ia pindah ke Harian Kedaulatan Rakyat. Pada tahun 1966 diminta oleh DPD Golkar DIY menjadi anggota DPRGR DIY. Setelah Pemilu 1971 dan 1977 ia tetap menduduki kursi tersebut. Orang tua sederhana yang ke manamana selalu naik beca ini tiba-tiba dikabarkan meninggal, tepat pada hari meninggalnya seniman lawak ketoprak RRI Yogya Basiyo, 31 Agustus yang lalu. Telepon berdering di Harian R mau pun di rumah Pak Besut, gencar menanyakan perihal jago ngobrol itu. "Saya tidak tahu dari mana datangnya berita itu," kata Pak Besut yang masih segar bugar. Kini ia masih tetap setia mengasuh siarannya. Secara bergurau ia pernah menyampaikan pada Pak Harto, bahwa ia sudah capek dan minta berhenti. "Tidak boleh," kata Pak Harto. Pak Besut pun menurut. Ia tetap berusaha tampil dalam ruang yang sudah disediakan, sambil menjaga dengan hati-hati agar jarak antara dia dengan penggemarnya tetap akrab. Barangkali itu salah satu sebabnya ia tetap naik beca --tidak tergiur untuk mengambil kredit kendaraan bermotor seperti rekan-rekannya anggota DPRD yang lain. "Kalau hidup saya ini sekonyong-konyong berobah, nanti masyarakat menilai, oh, Pak Besut sudah begitu," kata orang tua itu kepada TEMPO.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus