Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Gending tlutur ke terban taman

Basiyo, 65, pelawak & pimpinan grup dagelan mataram di yogya meninggal dunia. pernah mengikuti kegiatan langen mandrawanara, mengisi acara hiburan tetap dan penembang pangkur jenggleng di rri yogya.(hb)

15 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YOGYA di sekitar tahun 1963. Di tembok-tembok toko, di bak-bak sampah atau di seputar Jalan Mataram, tersebar coretan-coretan yang berbunyi: "Beattles no! Basiyo yes!". Waktu itu --saat jayanya PKI--banyak orang latah menentang masuknya segala macam kebudayaan asing. Terutama yang dari negara "nekolim", seperti negaranya grup Beattles. Yogya di tahun 1971 dan 1977, dalam kampanye dua Pemilu. Basiyo adalah salah seorang tokoh yang berhasil menyukseskan Golongan Karya untuk wilayah D.I. Yogya. Di samping tokoh-tokoh seperti Sri Sultan Hamengkubuwono atau Pak Besut. Basiyo--pelawak dan juga memimpin grup Dagelan Mataram--milik wong Yogya. Digemari oleh mereka yang mengerti bahasa Jawa, tokoh yang mempunyai perut sedikit buncit, suara yang khas dan rambut potongan tentara, telah meninggal hari Jum'at dinihari, 31 Agusus. Cukup mengejutkan, karena 4 jam sebelumnya almarhum baru saja menyelesaikan pertunjukan lawakannya di Gedongkuning, Yogya. Untuk menyelusuri riwayat hidup almarhum tidaklah mudah. "Sebab dia anak rakyat jelata yang tidak biasa mencatat kelahiran anaknya," demikian Pak Besut membacakan riwayat hidup almarhum. Tokoh RRI Yogya yang terkenal dengan programa "brolan Pak Besut" ini kemudian melanjutkan: "Juga karena Pak Basiyo belum pernah menjadi pegawai negeri." Riwayat hidupnya hanya didapat dari keterangan beberapa temannya yang sebaya, seprofesi dalam bidang kesenian ketoprak atau dagelan (melawak). Diperkirakan Basiyo lahir di tahun 1914. Ayahnya seorang tukang sepatu biasa yang harus menghidupi keluarganya penuh dengan kepasrahan dan keprihatinan, seperti lazimnya seorang jelata dalam kehidupan masyarakat Jawa. Demikian pula Basiyo. Ketika usiaya menginjak belasan tahun, sering menepi di lereng Gunung Merapi atau di Parangtritis, di pantai Lautan Hindia. Barangkali dengan harapan mendapat wangsit atau petunjuk untuk menyusuri masa depannya. Latihan melucu atau mendagel dimulainya ketika pemuda Basiyo menjadi tukang celup di salah satu perusahaan kain di Yogya. Waktu itu, sekitar 1930, di Yogya sedang berkembang kesenian rakyat yang bernama ketoprak. Salah satu grup terkenal ialah Krido Raharjo yang main di Kertonaden. Ia berhenti jadi tukang celup dan lalu magang untuk jadi anak wayang di Krido Raharjo. Basiyo memegang peranan sebagai prajurit (bala tentara biasa) selama bertahun-tahun. Suaranya cukup baik, lawakannya kaya akan pengalaman hidupnya yang pahit. Basiyo kemudian di tahun 1953 -- bersama almarhum Tjokrodjijo mempunyai acara tetap pada siaran RRI Nusantara 11 (Yogya) sampai akhir hayatnya. Di samping menjadi pemain ketoprak, melawak dan mengisi acara terap di radio ("Uyon-uyon Manasuka" setiap hari Senin malam), Basiyo pernah Nrut dalam kegiatan Langen Mandrawanara di Kepatihan Yogya. Yang terakhir ini adalah bentuk kesenian baru di zaman Jawa Madya, ialah campuran seni tari dan tembang. Untuk hal ini, Basiyo telah diangkat menjadi "abdi dalem" Kraton Yogya dan mendapat anugerah nama baru Lontangpangarso. Pangkur Jenggleng Tetapi nama Lontangpangarso tidak pernah dipakainya. Karena itu tidak tcrkenal. Para penggemar hanya mengenal nama yang aslinya: Basiyo. Atau Pak Bas. Wong Yogya biasa memanggilnya Pak Basiyo nJenggleng. Imbuhan yang terakhir ini diberikan oleh penggemarnya, karena sejak 1963, selain pelawak Basiyo adalah juga penembang Pangkur Jenggleng dari RRI Yo'gya. Jenggleng adalah gending pangkur yang dibawakan Basiyo secara berkelakar dan di saat-saat tertentu disentak oleh pukulan saron yang oleh kuping pendengar berbunyi "jenggleng". Seperti juga Charlie Chaplin yang hidup melarat di waktu kecil, Basiyo pandai sekali membawakan suara hati rakyat kecil lewat dagelan-dagelannya. Misalnya dagelannya yang juga telah dikasetkan tentang kehidupan tukang becak, tidak menjemukan untuk didengarkan berkali-kali. Kendaraan Basiyo sehari-hari memang becak, sementara pelawak S. Bagyo atau Eddy Sud--"murid-murid" Basiyo -- telah menyetir mobil. Kemelaratan hidupnya di masa kecil hidup sederhana dan merakyat, juga telah memperkaya isi lawakannya. Menurut Kepala Seksi Kesenian RRI Nusantara 11 Yogya, Soeroyo, telah lebih dari 10 buah kaset dagelan Basiyo yang diprodusir oleh Lokananta. "Saya ndak takut penggemar akan bosan," Basiyo pernah berkata, "karena mereka toh akan tetap datang untuk melihat tampang saya yang jelek." Selain suaranya yang khas dan lawakannya yang penuh permainan kata-kata, gerak-geriknya dl atas panggung cukup mengasyikkan. "Pelawak itu disebut sebagai orang waras, ya ndak bisa. Disebut wong edan, juga tidak bisa," Basiyo berkata ketika ada Sarasehan Dagelan di Yogya, April 1978. Rakyat kecil yang sengsara tetap disuarakannya. Misalnya dalam Pokrol Kucing (judul kasetnya). Basiyo berperan sebagai tukang soto yang tidak laku dagangannya. Dalam lawakan itu, dimasukkan sekalian nasehat bagaimana sebaiknya menjaga kebersihan kota, propaganda yang biasanya menjemukan kalau dibawakan dengan kasar. Juga dalam Mendut, cuplikan sedikit dari cerita Rara Mendut, Basiyo memerankan penjual sapi yang kaya tetapi angkara murka. Tak Pernah Surut Almarhum juga orang yang setia kepada akarnya. "Basiyo setia sekali kep.da RRI Yogya," kata Teguh, pimpinan Srimulat yang pernah mengajak Basiyo masuk dalam grupnya. Berkali-kali Basiyo diajak Teguh, tetapi sekian kali pula dia menolak untuk kompanyon. Tidak juga diusahakannya "menasionalkan" diri dengan melawak berbahasa Indonesia--malahan bahasa Indonesia yang dibuatnya menjadi kacau jadi bahan lawakannya. "Dagelan sudah jadi penghidupan saya," ia pernah berkata, "dan saya ini bisa jadi orang karena dagelan." Almarhum cukup puas karena sebagai pelawak, penggemarnya tidak pernah surut. Jenderal Widodo ketika menjabat Pangkowilhan 11 juga pcrnah memberinya tanda penghargaan. Ayah dari 12 orang anak dan mempunyai isteri 3 orang ini telah mempunyai cucu 48 orang dan cicit 5 orang. Isterinya yang kedua, Suhartini, bekerja di RRI Yogya di Seksi Ketoprak dan Dagelan. Yang ketiga, Pujiyem, tidak punya anak dan bekas anak wayang Srimulat. Pujiyem, sesekali turutuga melawak. "Kami berharap," kata Suhartini, "selama 40 hari ini suara Basiyo yang dikasetkan jangan disiarkan dulu oleh RRI maupun radio non RRI, khususnya di Yogya. Agar kami tenang dulu." Sabtu lalu, 1 September siang, jenazah Basiyo diberangkatkan dari kampung Sutodirjan, disemayamkan sebentar di studio RRI Nusantara 11 Yogya dan dimakamkan di pemakaman Terban Taman Yogya. Ribuan penggemarnya mengiringi perjalanan Basiyo terakhir, sepanjang 2 Km dengan berjalan kaki. Gending Tlutur mengiringi upacara pemakaman ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus