Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kisah kemiskinan termasuk salah satu tema yang mampu menarik banyak penonton, baik itu di acara televisi dan kemudian kini banyak diekspor ke konten YouTube.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Konten yang menampilkan tema kemiskinan, semisal membantu orang miskin, sukses meraih views yang tinggi dan simpati publik. Ini dibuktikan konten dengan tema kemiskinan sering menjadi trending di Youtube, dan memancing konten kreator lain untuk membuat konten yang serupa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Guru Besar Kajian Media Universitas Airlangga, Profesor Rachmah Ida konten yang mengeksploitasi kemiskinan merupakan bentuk dari poverty porn.
Pembuat konten atau acara televisi ingin menunjukkan penderitaan kemiskinan. Fenomena seperti ini sudah muncul sejak tahun 80-an, utamanya digunakan oleh lembaga penggalangan donasi dengan tujuan menggugah masyarakat untuk menyumbangkan uangnya.
Namun menurut Ida, konten kemiskinan bila diproduksi secara terus menerus, justru malah membuat jurang antara si miskin dan si kaya semakin lebar
“Orang miskin dikomodifikasi sudah tidak kreatif menurut saya,” kata Prof. Dra. Rachmah Ida, M.Comms., Ph.D, seperti dikutip Tempo dari laman news.unair.ac.id, Senin 25 Oktober 2021.
Ida menjelaskan, meskipun tujuannya untuk menggalang dana, konten bertema kemiskinan tapi tidak harus dengan menunjukan penderitaan yang mengeksploitasi orang miskin.
"Poverty porn bisa disebut melanggar etika, dan dalam kajian media dikategorikan dalam konteks eksploitasi,” jelas guru besar media pertama di Indonesia tersebut.
Kemiskinan bisa dengan mudah menimbulkan rasa iba, dan mampu menyentuh nurani kebanyakan masyarakat Indonesia. Banyak yang menyukai konten poverty porn. “Rasa iba jadi trigger dalam konten poverty porn, sehingga audiens memiliki kedekatan dan merasakan posisi orang tersebut,” katanya.
Dosen Ilmu Komunikasi UNAIR tersebut menjelaskan, masyarakat kemungkinan lebih memilih menonton tayangan yang dekat dengan mereka, daripada tayangan berupa pertengkaran dan tayangan politik yang tak kunjung usai.
Ida menerangkan masyarakat Indonesia gemar membahas konten yang ditonton, sehingga sebuah konten atau tayangan bisa dengan cepat menyebar atau viral.
“Di Indonesia, kita suka setelah nonton cerita ke tetangga, sehingga tayangan yang kita tonton kemudian menjadi source of talk atau sumber pembicaraan,” ujarnya. Ida menyampaikan bahwa konten yang kreatif seharusnya menciptakan empowerment, dan dapat menunjukan dampaknya dalam keberlangsungan hidup.
TIKA AYU
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu