BEKAS Dubes Inggeris, John Ford, ketika berkunjung ke Sulawesi
Tengah awal tahun lalu telah diajak mampir ke Kulawi, 71 km di
selatan Palu. Di sana, dia disambut jelita-jelita Kulawi dengan
rok bersusunnya. Lalu dipersilakan menyembelih kerbau secara
adat pula. (Sebenarnya hanya simbolis, sebab tangan dubes yang
tak berdarah dingin itu hanya menyentuh lengan seorang lelaki
Kulawi, yang melakukan pembantaian sebenarnya). Habis itu,
bersama para kepala adat, Ford dipersilakan mencuwil-cuwil
rebusan kepala kerbau yang disajikan secara utuh di atas tikar.
Begitulah ritus pariwisata yang selalu disajikan kepada tamu
resmi Pemda Sulteng, sejak tahun-tahun terakhir.
Jalan oto ke selatan dari Kota Palu baru diperkeras sampai
Kulawi. Kalau mau dipaksa lagi melewati tebing melalui jalan
tanah dan berulang kali menyeberang kali, colt atau jeep mllik
juragan toko di Kulawi masih bisa telus lagi sampai ke Gimpu,
kira-kira 100 km di selatan Palu. Nah, dari sana orang bisa naik
kuda antara 4-5 hari sampai ke Lembah Bada. Atau sebelum sampai
Gimpu, tepatnya dari Kampung Lawua yang juga terletak di tepi
jalan raya, orang dapat berjalan kaki potong kompas mendaki
barisan gunung sampai ketinggian 1800 meter, kemudian turun ke
lembah Besoa.
Kedua lembah itu -- Bada dan Besoa -- juga lembah Napu yang
terletak lebih ke timur, boleh disebut "Toraja-nya Sulawesi
Tengah." Penduduk di sini menyebut dirinya Tolore (= orang
dataran tinggi). Atau orang "Poso Gunung" -- mengingat Kecamatan
Lore Utara (Napu dan Besoa) dan Lore Selatan (Bada) memang
termasuk Kabupaten Poso.
Potensi Pariwisata
Walaupun kebudayaan suku Tolore itu tak (lagi) sejelimet orang
Toraja di Sul-Sel, dataran tinggi itu punya potensi untuk
menjadi daerah pariwisata. Paling tidak, ada usaha perintisan ke
arah itu. Sebab Direktorat Perlindungan & Pengawetan Alam
melalui SK Mentan tahun 1973 telah menetapkan hutan Lore Utara
menjadi "suaka margasatwa Lore Kalamanta". Pesawat terbang
carteran Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang secara
insidentil mendarat di padang-padang rumput Bada, Besoa dan
Napu, juga membantu membuka lembah-lembah itu bagi orang luar.
Terletak di jalur gempa Pipikoro yang terentang dari Palu
sampai Palopo di pantai Teluk Bone, arsitektur tradisionil
Tolore disesuaikan dengan gelagat bumi tersebut. Rumah-rumah
panggung dengan atap menjurai ke tanah (sekaligus berfungsi
sebagai dinding), tambi tosae (= rumah orang dulu) atau tambi
badat (= rumah adat) di lembah-lembah itu terbuat dari
konstruksi kayu tanpa paku. Di Besoa, ada satu rumah adat yang
konon sudah ratusan tahun umurnya. Pemiliknya, janda Lagumpe
hanya ingat bahwa rumah itu sudah dua kali dipindah di kampung
lama (wanua sae), sebelum dipindah lagi ke tempatnya sekarang di
kampung Doda. Bongkar pasangnya mudah, sebab sambungannya hanya
pasak kayu. Tapi beratnya nauzubillah.
Papan-papan kayu koronia dibuat jadi lantai dan separuh dinding,
7 cm tebalnya. Pintunya lebih tebal lagi, mirip tameng perang.
Sengaja dibuat setebal itu zaman dulu, supaya tombak (tawalla)
musuh tak sanggup menembusnya. Sementara di ruang tengah --
ruang duduk di mana orang juga tidur di pinggir-pinggirnya, api
kayu bakar tetap menyala, menyebar kehangatan dan asap pemerih
mata ke sekitarnya. Maklumlah, hawa malam hari di lembah
berketinggian 1200 meter itu cukup dingin. Di samping itu, api
kayu juga berfungsi sebagai kompor untuk memasak.
Gempa Tiap Tahun
Di kampung Doda yang berpenduduk 700 jiwa (seluruh lembah dan
perbukitan Besoa hanya 2000 jiwa), rumah asli semacam itu
semakin terdesak oleh bangunan setengah batu. Juga api di tengah
rumah sekarang tergeser ke belakang -- ke dapur. Cahaya api
digantikan oleh petromaks -- suatu 'kemewahan' di lembah itu,
mengingat minyak tanah sangat mahal di sana. Arsitektur yang
masih asli umumnya hanya tampak pada lumbung padi, atau baruga
(balai desa). Namun di kampung Hanggira yang ekonomis lebih
'terkebelakang' rumah-rumah tinggal umumnya masih terbuat dari
kayu dan bambu. Bercorak rumah panggung, dengan tiang-tiang
bertumpu batu kali. Api juga masih menyala -- atau membara -- di
tengah rumah.
Gempa bumi (linu), memang tak asing lagi bagi orang Lore. "Tiap
tahun beberapa kali kami rasakan gempa," tutur B. Topuko,
penjabat Kepala Rayon Pemangku Hutan Lore Utara kepada TEMPO.
Kebanyakan gempa ringan. Tapi ketika sang naga bawah tanah agak
keras mengibaskan ekornya, Juni 1977 salon dan radio di atas
lemari ruang tamu Petugas Camat Besoa, A. Winono, sempat
terpelanting ke lantai. Lampu-lampu petromaks milik penduduk
yang rada berada berjatuhan dari gantungannya dan dua lumbung
padi ambruk di Doda.
Seperti juga di Bada, pakaian wanita Besoa mengingatkan orang
pada perempuan Spanyol dan Portugis, atau kaum hawa di
pegunungan Andes, Amerika Selatan. Rok alias wini hitam
bersusun-susun, kalau direntangkan bisa mencapai 16 meter. Yang
kontemporer hanya bersusun dua saja dan warnanya lebih berani.
Baju (soko) perempuan Tolore juga mirip baju Ny. Imelda Marcos,
tapi dihias dengan sulaman benang, manik-manik dan benda-benda
logam berkelap-kelip.
Soko dan wini itu belum lengkap kalau rambut tak dirapikan
dengan tatali (pengikat kepala), dengan warna-warni mirip
perempuan Dayak atau Indian Amerika. Hari Minggu di kala seluruh
penduduk berhamburan ke gereja, para cucu Hawa itu mengenakan
tatali yang terbagus. Tapi yang betul-betul merupakan pakaian
kebesaran, baru dapat disaksikan pada pesta pernikahan. Atau
pesta mengucap syukur sesudah panen, tatkala belasan ekor kerbau
liar dan jinak menemui ajalnya di ujung tombak dan parang kaum
lelaki.
Muda Mudi
Tari pergaulan suku Tolore, dero, agak mirip dero Toraja
(Sul-Sel). Ditarikan dalam lingkaran oleh pasangan-pasangan pria
dan wanita, diiringi lagu berpantun-pantun yang kebanyakan
bertema cinta dan kerinduan pada kekasih di seberang gunung.
Dalam dero yang asli, lengan lelaki dan wanita saling bertumpu
di bahu dan dada pasangannya. Namun karena "etika modern"
barangkali, anak-anak muda yang sedang madero hanya boleh saling
berpegang tangan saja. Takut kortsluiting, mungkin. Kecuali
lulau ada pesta adat, muda-mudi yang haus hiburan hanya boleh
berdero atas instruksi Kepala Kampung atau Petugas Camat, kalau
ada tamu. Jadi tak spontan lagi.
Selain dero, ada seni berpantun berkelompok, dulua, yang
diperlombakan antar kampung tiap tahun. Juga tiap tahun ada
perlombaan paduan musik bambu antar SD. Seni musik ini merupakan
pengaruh Kristen-Minahasa yang dibawa para penginjil Minahasa ke
sana. Sayang bahwa alat-alat musik yang begitu dekat dengan alam
itu tak diangkat ke dalam gereja -- yang juga sepi dari orgel
(karena mungkin sulit mengimpornya dari luar negeri).
Itulah beberapa potensi pariwisata lembah-lembah di pegunungan
Takolekaju, Sulawesi Tengah. Di samping suaka margasatwa di
sekelilingnya, serta peninggalan megalitik yang juga unik
(TEMPO, 29 April). Sayangna, transportasi ke sana masih begitu
susah. Di lembah Bada dan Napu lumayan ada radio SSB untuk
memanggil pesawat Cessna carteran Gereja. Tapi orang Besoa,
kalau mau terbang ke Palu atau Poso, terpaksa jalan kaki dulu
berhari-hari ke Wuasa (Napu) atau Gintu (Bada) -- dengan risiko
ketinggalan pesawat. "Mudah-mudahan pemerintah cepat mengirim
pesawat perintis Merpati ke mari, biar lapangan terbang Padang
Mesora tidak selalu sepi," begitu harapan Petugas Camat A.
Winono. Harapan itu juga didukung oleh B. Topuko, petugas PPA
di Doda yang sudah berkali-kali harus mengantar regu peneliti
dari Bogor dan Bandung jalan kaki atau naik kuda sampai ke Jalan
oto terdekat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini