Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Hembusan Bambu Di Lembah Gempa

Rumah suku tolore di kabupaten Poso, Sul-Teng, dapat dipindahkan dan berdinding atap yang menjurai ke bawah. Tari pergaulannya di sebut dero & dulua. Terdapat suaka margasatwa & peninggalan megalitik.(pws)

6 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEKAS Dubes Inggeris, John Ford, ketika berkunjung ke Sulawesi Tengah awal tahun lalu telah diajak mampir ke Kulawi, 71 km di selatan Palu. Di sana, dia disambut jelita-jelita Kulawi dengan rok bersusunnya. Lalu dipersilakan menyembelih kerbau secara adat pula. (Sebenarnya hanya simbolis, sebab tangan dubes yang tak berdarah dingin itu hanya menyentuh lengan seorang lelaki Kulawi, yang melakukan pembantaian sebenarnya). Habis itu, bersama para kepala adat, Ford dipersilakan mencuwil-cuwil rebusan kepala kerbau yang disajikan secara utuh di atas tikar. Begitulah ritus pariwisata yang selalu disajikan kepada tamu resmi Pemda Sulteng, sejak tahun-tahun terakhir. Jalan oto ke selatan dari Kota Palu baru diperkeras sampai Kulawi. Kalau mau dipaksa lagi melewati tebing melalui jalan tanah dan berulang kali menyeberang kali, colt atau jeep mllik juragan toko di Kulawi masih bisa telus lagi sampai ke Gimpu, kira-kira 100 km di selatan Palu. Nah, dari sana orang bisa naik kuda antara 4-5 hari sampai ke Lembah Bada. Atau sebelum sampai Gimpu, tepatnya dari Kampung Lawua yang juga terletak di tepi jalan raya, orang dapat berjalan kaki potong kompas mendaki barisan gunung sampai ketinggian 1800 meter, kemudian turun ke lembah Besoa. Kedua lembah itu -- Bada dan Besoa -- juga lembah Napu yang terletak lebih ke timur, boleh disebut "Toraja-nya Sulawesi Tengah." Penduduk di sini menyebut dirinya Tolore (= orang dataran tinggi). Atau orang "Poso Gunung" -- mengingat Kecamatan Lore Utara (Napu dan Besoa) dan Lore Selatan (Bada) memang termasuk Kabupaten Poso. Potensi Pariwisata Walaupun kebudayaan suku Tolore itu tak (lagi) sejelimet orang Toraja di Sul-Sel, dataran tinggi itu punya potensi untuk menjadi daerah pariwisata. Paling tidak, ada usaha perintisan ke arah itu. Sebab Direktorat Perlindungan & Pengawetan Alam melalui SK Mentan tahun 1973 telah menetapkan hutan Lore Utara menjadi "suaka margasatwa Lore Kalamanta". Pesawat terbang carteran Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang secara insidentil mendarat di padang-padang rumput Bada, Besoa dan Napu, juga membantu membuka lembah-lembah itu bagi orang luar. Terletak di jalur gempa Pipikoro yang terentang dari Palu sampai Palopo di pantai Teluk Bone, arsitektur tradisionil Tolore disesuaikan dengan gelagat bumi tersebut. Rumah-rumah panggung dengan atap menjurai ke tanah (sekaligus berfungsi sebagai dinding), tambi tosae (= rumah orang dulu) atau tambi badat (= rumah adat) di lembah-lembah itu terbuat dari konstruksi kayu tanpa paku. Di Besoa, ada satu rumah adat yang konon sudah ratusan tahun umurnya. Pemiliknya, janda Lagumpe hanya ingat bahwa rumah itu sudah dua kali dipindah di kampung lama (wanua sae), sebelum dipindah lagi ke tempatnya sekarang di kampung Doda. Bongkar pasangnya mudah, sebab sambungannya hanya pasak kayu. Tapi beratnya nauzubillah. Papan-papan kayu koronia dibuat jadi lantai dan separuh dinding, 7 cm tebalnya. Pintunya lebih tebal lagi, mirip tameng perang. Sengaja dibuat setebal itu zaman dulu, supaya tombak (tawalla) musuh tak sanggup menembusnya. Sementara di ruang tengah -- ruang duduk di mana orang juga tidur di pinggir-pinggirnya, api kayu bakar tetap menyala, menyebar kehangatan dan asap pemerih mata ke sekitarnya. Maklumlah, hawa malam hari di lembah berketinggian 1200 meter itu cukup dingin. Di samping itu, api kayu juga berfungsi sebagai kompor untuk memasak. Gempa Tiap Tahun Di kampung Doda yang berpenduduk 700 jiwa (seluruh lembah dan perbukitan Besoa hanya 2000 jiwa), rumah asli semacam itu semakin terdesak oleh bangunan setengah batu. Juga api di tengah rumah sekarang tergeser ke belakang -- ke dapur. Cahaya api digantikan oleh petromaks -- suatu 'kemewahan' di lembah itu, mengingat minyak tanah sangat mahal di sana. Arsitektur yang masih asli umumnya hanya tampak pada lumbung padi, atau baruga (balai desa). Namun di kampung Hanggira yang ekonomis lebih 'terkebelakang' rumah-rumah tinggal umumnya masih terbuat dari kayu dan bambu. Bercorak rumah panggung, dengan tiang-tiang bertumpu batu kali. Api juga masih menyala -- atau membara -- di tengah rumah. Gempa bumi (linu), memang tak asing lagi bagi orang Lore. "Tiap tahun beberapa kali kami rasakan gempa," tutur B. Topuko, penjabat Kepala Rayon Pemangku Hutan Lore Utara kepada TEMPO. Kebanyakan gempa ringan. Tapi ketika sang naga bawah tanah agak keras mengibaskan ekornya, Juni 1977 salon dan radio di atas lemari ruang tamu Petugas Camat Besoa, A. Winono, sempat terpelanting ke lantai. Lampu-lampu petromaks milik penduduk yang rada berada berjatuhan dari gantungannya dan dua lumbung padi ambruk di Doda. Seperti juga di Bada, pakaian wanita Besoa mengingatkan orang pada perempuan Spanyol dan Portugis, atau kaum hawa di pegunungan Andes, Amerika Selatan. Rok alias wini hitam bersusun-susun, kalau direntangkan bisa mencapai 16 meter. Yang kontemporer hanya bersusun dua saja dan warnanya lebih berani. Baju (soko) perempuan Tolore juga mirip baju Ny. Imelda Marcos, tapi dihias dengan sulaman benang, manik-manik dan benda-benda logam berkelap-kelip. Soko dan wini itu belum lengkap kalau rambut tak dirapikan dengan tatali (pengikat kepala), dengan warna-warni mirip perempuan Dayak atau Indian Amerika. Hari Minggu di kala seluruh penduduk berhamburan ke gereja, para cucu Hawa itu mengenakan tatali yang terbagus. Tapi yang betul-betul merupakan pakaian kebesaran, baru dapat disaksikan pada pesta pernikahan. Atau pesta mengucap syukur sesudah panen, tatkala belasan ekor kerbau liar dan jinak menemui ajalnya di ujung tombak dan parang kaum lelaki. Muda Mudi Tari pergaulan suku Tolore, dero, agak mirip dero Toraja (Sul-Sel). Ditarikan dalam lingkaran oleh pasangan-pasangan pria dan wanita, diiringi lagu berpantun-pantun yang kebanyakan bertema cinta dan kerinduan pada kekasih di seberang gunung. Dalam dero yang asli, lengan lelaki dan wanita saling bertumpu di bahu dan dada pasangannya. Namun karena "etika modern" barangkali, anak-anak muda yang sedang madero hanya boleh saling berpegang tangan saja. Takut kortsluiting, mungkin. Kecuali lulau ada pesta adat, muda-mudi yang haus hiburan hanya boleh berdero atas instruksi Kepala Kampung atau Petugas Camat, kalau ada tamu. Jadi tak spontan lagi. Selain dero, ada seni berpantun berkelompok, dulua, yang diperlombakan antar kampung tiap tahun. Juga tiap tahun ada perlombaan paduan musik bambu antar SD. Seni musik ini merupakan pengaruh Kristen-Minahasa yang dibawa para penginjil Minahasa ke sana. Sayang bahwa alat-alat musik yang begitu dekat dengan alam itu tak diangkat ke dalam gereja -- yang juga sepi dari orgel (karena mungkin sulit mengimpornya dari luar negeri). Itulah beberapa potensi pariwisata lembah-lembah di pegunungan Takolekaju, Sulawesi Tengah. Di samping suaka margasatwa di sekelilingnya, serta peninggalan megalitik yang juga unik (TEMPO, 29 April). Sayangna, transportasi ke sana masih begitu susah. Di lembah Bada dan Napu lumayan ada radio SSB untuk memanggil pesawat Cessna carteran Gereja. Tapi orang Besoa, kalau mau terbang ke Palu atau Poso, terpaksa jalan kaki dulu berhari-hari ke Wuasa (Napu) atau Gintu (Bada) -- dengan risiko ketinggalan pesawat. "Mudah-mudahan pemerintah cepat mengirim pesawat perintis Merpati ke mari, biar lapangan terbang Padang Mesora tidak selalu sepi," begitu harapan Petugas Camat A. Winono. Harapan itu juga didukung oleh B. Topuko, petugas PPA di Doda yang sudah berkali-kali harus mengantar regu peneliti dari Bogor dan Bandung jalan kaki atau naik kuda sampai ke Jalan oto terdekat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus