Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Namanya Anthonia Melania Kurniati. Ia dari etnis Maluku. Tahun 1987, ketika masuk pendidikan sekolah dasar, ia menetap di Kampung Sawah, Bekasi. Empok Lani, begitu ia akrab disapa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lani lahir di Jakarta, umurnya kini 40 tahun. Sebelum menetap di Kampung Sawah, ia tinggal di kawasan Salemba Bluntas, Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak menetap di Kampung Sawah, kehidupannya pun melebur seperti warga setempat. Lani telah berkeluarga, ia menikah dengan warga Kampung Sawah. Kini kehidupannya pun kental dengan budaya Betawi, termasuk pantun.
"Tahun 2012, awalnya permintaan saudara yang mau besanan (berbesan). Sejak saat itu dibentuk komunitas, namanya Palang Pintu Sedulur Napiun Kampung Sawah," kata Lani saat percakapan daring video yang diadakan komunitas wisata budaya Koko Jali, Sabtu, 27 Juni 2020.
Sejak saat itu, ia mulai terbiasa berpantun dalam tradisi palang pintu. Adapun tradisi palang pintu adalah bagian dari acara pernikahan masyarakat Betawi, yang menggabungkan seni bela diri dan pantun.
Komunitas Palang Pintu Sedulur Napiun Kampung Sawah pernah diajak untuk mengisi acara sedekah bumi Gereja Katolik Santo Servatius. "Saya dan teman-teman komunitas mulai bikin pantun untuk acara gereja," tuturnya.
Beberapa acara tersebut antara lain pertemuan uskup seluruh region Jawa dan ulang tahun GPIB Eirene di Tanjung Priok.
Kampung Sawah Bekasi boleh dibilang menjadi tempat berkembang tradisi Betawi yang agak berbeda. Misalnya, peran perempuan, karena palang pintu cenderung identik dengan kaum laki-laki. "Ya memang betul biasanya laki-laki. Tapi di (komunitas) kami yang berbalas pantun itu perempuan," katanya.
Namun, ia menegaskan, peran laki-laki dalam palang pintu komunitasnya tetap ada. Sebab, Lani menjelaskan, palang pintu memiliki tiga unsur, yaitu silat, berbalas pantun, dan membaca doa. "Laki-laki yang jadi jawara, juru silat. Tapi perempuan yang berbalas pantun," tuturnya.
Ketika mulai aktif dalam komunitas palang pintu, Lani sempat muncul pertanyaan dalam dirinya. "Perempuan bakalan diterima enggak, ya. Boleh enggak sih?" ujarnya.
Namun selama ini ia merasa selalu diterima dengan baik. Menurut dia, tak ada pandangan yang mencolok ketika perempuan berperan langsung dalam tradisi palang pintu, "Belajar pantun juga ikut melestarikan budaya Betawi," katanya.
Lani memahami pantun sebagai seni untuk menyampaikan pesan dengan sopan dan santun. "Ada macam-macam jenis pantun. Berdasarkan dari isinya itu ada pantun jenaka, nasihat," ucapnya.
Saat sesi bincang-bincang itu, ia sempat beberapa kali berbalas pantun dengan pendiri Koko Jali, Max Andrew Ohandi. Lani juga sempat berpantun tentang pandemi virus corona (Covid-19).
Ke pasar pagi naek sepeda
Niat amat mpe beli rak
Kita mao ngebantu Pemda
Pake masker ma' jaga jarak.
Ilustrasi penampilan kesenian silat palang pintu. Foto: ANTARA
Kampung Sawah Bekasi dijuluki sebagai segitiga emas. Sebutan itu, karena ada tiga tempat ibadah yang bila diumpamakan dengan garis membentuk segitiga. Adapun tempat ibadah tersebut, yaitu Gereja Katolik Santo Servatius, Gereja Kristen Pasundan, Masjid Agung Al Jauhar Yasfi, "Kampung Sawah punya nilai toleransi," kata Max Andrew Ohandi.
Beberapa kali Koko Jali tur ke Kampung Sawah Bekasi. Kampung itu, ucap Max, menyimpan beragam cerita tentang budaya Betawi yang unik. Menurut dia, kisah Lani yang menjadi keluarga besar Betawi melengkapi nilai toleransi yang hidup di Kampung Sawah Bekasi, selain berupa tempat ibadah yang berdekatan.