Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Menyusuri Istana Pentahbisan Bissu Bone di Museum La Pawawoi

Museum La Pawowoi menjadi saksi pentingnya peran bissu dalam acara sentral kerajaan, di antaranya pelantikan raja dan pernikahan.

29 Juni 2023 | 20.32 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Museum La Pawawoi di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Senin, 26 Juni 2023 (TEMPO/Shinta Maharani)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Watampone - Foto-foto bissu atau pandita sakti waria Bugis menyambut pengunjung di ruangan utama Museum La Pawawoi, Watampone, Bone, Sulawesi Selatan, Senin, 26 Juni 2023. Potret hitam putih para bissu zaman kerajaan Bone diapit dua foto sekumpulan bissu berpakaian adat Bugis atau baju kurung dalam warna merah jambu. Ada juga foto seorang bissu menghadap keris di atas kaca di samping foto-foto itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat potret itu diletakkan di atas kaca yang mengurung benda-benda pusaka zaman kerajaan. Ada keris, kipas, alat-alat musik bebunyian seperti seruling, gong, dan rebana. 

Museum La Pawowoi Ungkap Pentingnya Peran Bissu

Museum La Pawowoi menjadi saksi pentingnya peran bissu dalam acara sentral kerajaan, di antaranya pelantikan raja, pernikahan dan kelahiran keluarga bangsawan, dan penyucian benda pusaka. Bissu atau gender kelima, masyarakat Sulsel mengenalnya, punya tempat yang spesial dan terhormat. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di museum itulah, para bissu menjalani pentahbisan. Salah satunya adalah Puang Matoa Ancu, imam bissu yang dilantik pada 1998. Dalam usia 33 tahun, Puang Matoa Ancu menerima tanggung jawab untuk memimpin komunitas bissu di Bone. 

Ayah dan ibunda Puang Matoa Ancu yang semula menolak identitasnya karena menjadi waria menerima dan merasa bangga. "Mereka datang menyaksikan pentahbisan," ujar Puang Matoa Ancu ditemui di rumahnya di Watampone, Bone. 

Puang menunjukkan foto dia yang sedang berdiri mengenakan baju kurung. Dalam potret itu, Puang Matoa Ancu muda terlihat cantik dengan sanggul berhiaskan manik-manik dan anting-anting. Warga Bone berbondong-bondong mendatangi museum itu dan mengarak Puang Matoa Ancu dalam suasana yang gembira ria. 

Mengenal La Pawawoi

Museum La Pawawoi menampati bangunan bekas Istana Andi Mappunyokki, Raja Bone ke-32. Bupati Bone, Suaib mendirikan museum itu pada 5 Januari 1971. Nama museum meminjam nama Raja Bone ke-31 yang menjadi pahlawan nasional, yakni La Pawawoi Karaeng Sigeri. 

La Pawawoi lahir pada 1835, merupakan pahlawan Perang Bone I, II, III, dan IV melawan Belanda. Pada 14 Desember 1906, ia menjadi tawanan dan diasingkan ke Bandung. Setelah bertemu Gubernur Jenderal Belanda, dia mengucapkan sumpah yang  berbunyi biar tubuhku menghadap atau tertawan, hatiku pantang menyerah kepada kompeni. 

Museum La Pawawoi di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Senin, 26 Juni 2023 (TEMPO/Shinta Maharani)

Di Museum La Pawawoi Simpan Barang Berharga Ini

La Pawawoi meninggal pada 17 Januari 1911. Museum La Pawawoi menyimpan ratusan koleksi berupa peralatan dapur, pakaian adat, dan senjata. Selain itu terdapat pula koleksi keramik yang sebagian besar merupakan peralatan makan raja-raja Bone. 

Ada juga stempel kerajaan Bone dan miniatur perahu phinisi. Pengunjung juga bisa membaca silsilah Kerajaan Bone dari awal hingga akhir.

Puang Matoa Ancu kembali menceritakan pengalamannya saat pentahbisan. Dia menerima kedatangan orang tuanya di museum itu. Ia tak pernah membenci atau dendam kepada orang tua dan saudara-saudaranya. 

Dia justru mengasihi mereka dengan cara menopang kehidupan ekonomi keluarga dan membiayai sekolah adik-adiknya. Puang Matoa Ancu bekerja keras hingga berhasil membangun usaha dekorasi dan rias pengantin. 

Sebelum menjadi bissu, Puang Matoa Ancu mengalami serangkaian kekerasan dari orang tua dan saudara-saudara laki-lakinya. Ayahnya kerap mencambuk dan memukulinya karena menjadi waria. Puang Matoa Ancu sering kabur dari rumah karena tidak tahan dengan kekerasan itu. Dia terus mempertahankan jati diri sebagai waria hingga sukses menjadi imam bissu menggantikan imam bissu, Daeng Tawero yang meninggal pada 2013.

Cinta kasih itu ia pelajari saat menjalani pelatihan atau penggemblengan dari dua tokoh bissu zaman kerajaan dan keturunan raja, Puang Loloningo dan Husein. Mereka menjalani semedi, melatih kesabaran, kejernihan berpikir, dan melatih ketenangan dalam kesunyian istana.

Foto-foto para bissu di Museum La Pawawoi di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Senin, 26 Juni 2023 (TEMPO/Shinta Maharani)

Mereka juga secara khusyuk mempelajari mantra-mantra bahasa Torilangi, bahasa Galigo atau bahasa dewa. Mantra-mantra itu dipercaya  membuat tubuh mereka kebal terhadap senjata tajam saat membawakan tari maggiri atau tari tusuk diri. Bahasa Torilangi menjadi sumber bahasa etnis Bugis, Toraja, Makassar, Mandar, dan Gorontalo yang kerap dikaji peneliti asing.

Semua bissu menjalani pelatihan dan mendapatkan wejangan dari bissu-bissu kerajaan di rumah adat Bone, Bola Soba yang terletak di Jalan Latenritatta, Kelurahan Manurunge, Tanete Riattang. Rumah adat itu terbakar pada 20 Maret 2021, menjelang peringatan hari kelahiran Bone setiap 6 April. Kini yang tersisa hanya kerangka bangunan yang hangus. 

Balo Soba, Replika Kerajaan Bone

Bola Soba menjadi ikon Kabupaten Bone karena memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Bangunan ini merupakan replika dari Kerajaan Bone yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Bone ke-30, La Pawawoi Karaeng Sigeri Tahun 1890.

Bola Soba berarti rumah para sahabat, satria, dan pendekar pembela kerajaan Bone. "Para bissu dahulu tinggal di istana itu dan wajib mengikuti pelatihan para inang bissu," tutur Puang Matoa Ancu. 

Warga Bone yang juga guru Sekolah Menengah Kejuruan, Andi Irma mengatakan masyarakat menghormati bissu karena mereka punya peran penting dan kedudukan terhormat pada masa Kerajaan Bone. Bissu selama ini tak pernah absen mengisi acara peringatan Hari Jadi Bone, kecuali dalam dua tahun terakhir. "Mereka manusia sakti karena tubuhnya kebal dari benda tajam saat menarikan tari Maggiri," kata dia. 

Selain menyimbolkan kekuatan, tari itu juga memiliki makna kelembutan. Andi Irma sangat antusias menceritakan kehebatan para bissu yang memutar-mutarkan keris dan menancapkan ke bagian tubuh seperti mata, pelipis, dan perut. Mereka juga mengoles-oleskan api obor ke tubuh. Bissu lolos dari tusukan dan tak terbakar setelah merapal mantra. 

Tapi, tak semua bissu lepas dari tusukan keris. Puang Matoa Ancu pernah gagal dua kali dan tertusuk pada pelipis dan perut. "Itu artinya ada bagian yang salah, tidak fokus, dan kurang jernih dalam berpikir," ujar dia. 

Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus