Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Kisah Masjid Lama Gang Bengkok Medan yang Dibangun Pengusaha Tionghoa

Masjid ini cukup populer karena menjadi saksi bisu masa kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang, hingga Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.

3 April 2024 | 18.29 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Orang Medan menyebut tempat ibadah umat Islam ini sebagai Masjid Lama Gang Bengkok atau Masjid Bengkok saja. Disebut demikian karena letaknya di Gang Bengkok, Jalan Masjid, Kota Medan. Masjid ini mudah ditemukan karena berada di salah satu pusat perdagangan onderdil sepeda motor, alat tulis kantor dan percetakan di Medan yang dikendalikan oleh pedagang Tionghoa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berada di kawasan kota lama Medan, Masjid Lama Gang Bengkok cukup populer karena menjadi saksi bisu masa kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang, hingga Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Masjid Bengkok dibangun pada masa Kesultanan Deli, Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah, Sultan Deli IX yang memimpin Tanah Deli pada 1873 hingga 1924.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Awal mulanya dibangun masjid ini pada 1874 oleh Tjong A Fie," kata Imam Rawatib Masjid Lama, Nasrun Tanjung (61), seperti dikutip dari Antara, Selasa, 2 April 2024.

Umat Islam melaksanakan shalat Ashar di Masjid Lama Gang Bengkok, Medan, Sumatera Utara, Senin (18/3/2024). Masjid yang memadukan gaya arsitektur Melayu, Persia dan Cina tersebut dibangun pada tahun 1874 oleh saudagar kaya keturunan Tionghoa bernama Kapten Tjong A Fie yang kemudian diserahkan kepada Kesultanan Deli pada masa pemerintahan Sultan Deli Ma'moen Al Rasyid. ANTARA FOTO/Fransisco Carolio/aww.

Mengenal Tjong A Fie

Tjong A Fie merupakan warga Tiongkok yang merantau ke Tanah Deli dalam gelombang besar masa kolonial Belanda abad ke-19 bersama buruh perkebunan tembakau Deli. Dia sangat cerdas dan menguasai ilmu dagang di Tiongkok. Saat itu masih muda berusia 18 tahun. Dia ingin menemui kakaknya Tjong Yong Hian karena lebih dahulu mengadu nasib di Tanah Deli.

Walau sang kakak telah menjadi pemimpin Tionghoa di Tanah Deli, Tjong A Fie kala itu lebih memilih bekerja di toko milik teman kakaknya Tjong Sui Fo.

Di toko ini dia memegang pembukuan, melayani pelanggan, menagih utang maupun tugas-tugas lain yang membuat dirinya menjadi pandai bergaul. Pergaulannya luas. Dia tidak hanya berinteraksi dengan sesama orang Tionghoa, tetapi penduduk lokal warga Melayu, Arab, India, dan Belanda. Dia juga belajar bahasa Melayu yang merupakan bahasa perantara warga di Tanah Deli.

Dalam waktu singkat Tjong A Fie mampu mewujudkan cita-citanya menjadi orang Tionghoa pertama memiliki perkebunan tembakau luas di Tanah Deli, dan terus melakukan ekspansi.

"Setelah usaha niaganya berhasil, beberapa tahun kemudian beliau minta izin kepada sultan untuk membangun masjid," ungkap Nasrun.

Belum ada masjid

Saat itu, warga Tanah Deli yang mayoritas muslim belum memiliki masjid. Tempat beribadah terdekat adalah Masjid Al-Osmani yang berada di Medan Labuhan, sekitar 20 kilometer sebelah utara Kota Medan. Masjid ini merupakan bagian kompleks Istana Kesultanan Deli Osman Perkasa Alamsyah, yang merupakan Sultan Deli ke-7 pada 1850 hingga 1858.

Masjid Al Mashun di depan Istana Kesultanan Deli, Jalan Sisingamangaraja, Medan, juga belum ada ketika. Masjid itu baru dibangun pada 1906.

Arsitektur bergaya Tionghoa, Perisa, Eropa, dan Melayu

Karena Tjong A Fie berniat membangun masjid, Sultan Ma'mun memberikan musala sederhana di depan gang kecil, Kesawan, yang merupakan tanah wakaf Datuk Kesawan Muhammad Ali. Pembangunan Masjid Lama pun dimulai dengan memadukan arsitektur bergaya Tiongkok, Melayu, Persia dan Eropa.

Corak dan ornamen masjid menggambarkan keterwakilan budaya di Kota Medan, seperti cat bangunan masjid didominasi dua warna khas Melayu, yakni hijau lumut dan kuning. Bagi orang Melayu hijau lumut memiliki arti kesuburan hingga patuh terhadap ajaran agama, dan juga dilambangkan klan bangsawan. Sedangkan kuning melambangkan kebesaran hingga kemegahan yang sejak dahulu sudah digunakan oleh Kesultanan Siak Sri Inderapura di Provinsi Riau.

Di bagian depan masjid disuguhkan pemandang atap bukan seperti kubah, melainkan membentuk kelenteng. Arsitektur Melayu yang kental perpaduan warna kuning keemasan membalut empat tiang penyangga di dalam masjid seluas 400 meter persegi itu.

"Ada Persia, dan Eropa bisa kita lihat di tempat mihrab imam. Tjong A Fie membangun mimbar khatib lima meter dan tempat muadzin dua meter untuk sholat Jumat," tutur dia.

Terdapat juga pembangunan menara setinggi 30 meter sebagai tempat mengumandangkan azan. "Dulu kan belum ada pengeras suara, jadi khatib harus naik ke atas mimbar. Begitu juga dengan menara di situ orang azan mengandalkan angin," katanya mengisahkan. 

Setelah pembangunan selesai, Tjong A Fie menyerahkan Masjid Lama ini kepada Sultan Ma'mun Al Rasyid yang merupakan putra sulung Sultan Osman.
"Pertama kali itu ditunjuk oleh sultan untuk memakmurkan masjid adalah Syekh Haji Muhammad Yakub. Beliau salah seorang penasehat di Kesultanan Deli waktu itu," ungkap Nasrun.

Sejak Syekh Haji Muhammad Yakub memiliki tugas baru menjadi nazir Masjid Lama, Yakub berkolaborasi dengan Datuk Kesawan Muhammad Ali melakukan berbagai inovasi. Salah satu inovasi yang bisa dijumpai para jemaah Masjid Bengkok hingga kini adalah bubur anyang khas Melayu ketika Ramadan tiba. 

"Sejak pertama dulu, kalau bulan puasa disediakan bubur anyang. Dulunya bubur ini dibagikan ke warga kampung dan jemaah untuk berbuka puasa di masjid ini," kata Nasrun.

ANTARA 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus