Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hiburan

Menjejak Puncak Lawu di Usia Tak Muda

Perlu penyesuaian saat kembali mendaki Gunung Lawu di usia lebih setengah abad. Tapi semua terbayar lunas dengan keindahannya.

22 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN sisa tenaga yang ada, kuentakkan tubuh ke atas bertumpu pada kaki kiri, hups! Lalu, sesaat, terpampanglah di depanku sebuah konstruksi yang menjadi impian setiap pendaki gunung untuk berfoto di sampingnya: sebuah tugu setinggi 2 meter bertulisan "Puncak Lawu, Hargo Dumilah, 3.265 mdpl".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdiri tegak di tengah area melingkar seluas kira-kira separuh lapangan bulu tangkis, tugu tersebut menjadi penanda puncak gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah ini. Dan, inilah juga yang menjadi ujung penantianku selama sekitar 35 tahun terakhir, setelah menjejakkan kakiku di sini pada 1989. Saat itu aku masih kuliah di Yogyakarta dan berusia 23 tahun. Kini usiaku 58 tahun. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelan, kugumamkan kalimat hamdalah dan takbir karena ternyata masih diberi waktu dan tenaga untuk bisa datang ke sini lagi. Begitu pelan sehingga hanya telingaku yang mendengar doa syukurku itu. Kutengok penanda waktu pada telepon selulerku, tertera di sana 06 Agustus, pukul 07.10.  

Angin tak bertiup begitu kencang, langit biru belaka, dan cahaya matahari demikian terang langsung menerpa semua yang ada di sini. Suhu mungkin sekitar 17 derajat Celsius, tapi tak terasa dingin meski saat itu aku hanya mengenakan kaus lengan pendek. Kuhirup udara yang begitu bersih ini sepuas-puasnya.

Mendaki Gunung Lawu yang ada di perbatasan Kabupaten Karanganyar (Jawa Tengah) dan Kabupaten Magetan (Jawa Timur) ini cukup sering kulakukan saat masih duduk di bangku SMA dulu. Setidaknya sebulan sekali aku menyambangi puncak Hargo Dumilah—begitu sebutan untuk puncak Lawu—ini. Kebiasaan yang masih kulanjutkan saat kuliah meski tak begitu kerap lagi. 

Bersama teman-teman kuliah, pada 1989, aku mendaki Lawu dan seingatku itu kunjungan terakhirku ke Hargo Dumilah. Beberapa kali memang, setelah belasan tahun kemudian, aku hiking ke lereng Lawu, tapi tak diniatkan sampai ke atas. Saat itu aku ragu akan kemampuan fisikku, apakah masih bisa diajak berjalan lebih tinggi dari sekadar Pos 2 atau Pos 3.  

Pemandangan dari puncak Gunung Lawu. TEMPO/Tulus Wijanarko

Tapi, dalam dua tahun terakhir, puncak Hargo Dumilah seperti membayangiku. Ia menancap dalam benak dan keinginan. Ada hasrat kian besar untuk kembali menjejak kawasan atap Kabupaten Karanganyar ini. Apalagi beberapa saudara kandungku juga sudah menyambangi lagi ke sana beberapa waktu terakhir. Jadi, ketika mereka merencanakan akan mendaki Lawu pada awal Agustus, aku memutuskan ikut serta.

Nafsu besar, tenaga tak boleh kurang. Aku sadar tak bisa mengandalkan kemampuan fisik yang selama ini hanya kuat untuk hiking ke bukit-bukit berketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebuah ketinggian yang sebenarnya pun kutempuh dengan cukup berat. Jadi, aku memutuskan melakukan persiapan fisik selama sekitar dua bulan sebelum pendakian Lawu.

***

Ahad, 4 Agustus 2024, sekitar pukul 09.00, kami sudah bersiap di gerbang pendakian Cemoro Kandang. Setelah melapor dan mendaftar kepada petugas di basecamp, kami meriung sejenak untuk berdoa sebelum memulai perjalanan. Ini bisa disebut pendakian keluarga karena kami berlima terikat hubungan darah: ada kakak dan adik kandungku serta adik ipar dan anak bungsuku. Lalu ada dua porter, yakni Pendi dan Tri, yang menemani kami.

Cuaca sangat cerah saat itu dan suhu mungkin sudah di bawah 20 derajat Celsius. Cukup dingin, sih, tapi aku memutuskan tak mengenakan jaket dan cukup dengan kaus lengan pendek. Saat mendaki nanti kalori dalam tubuh pasti terbakar dan itu membuat badan akan berkeringat. “Dua hari lalu turun hujan, Pak. Jadi nanti jalurnya enak, tidak berdebu,” kata Pendi. 

Jalur Cemoro Kandang (di Kabupaten Karanganyar) adalah satu di antara beberapa lintasan menuju puncak Hargo Dumilah. Jalur lain yang biasa ditempuh pendaki adalah Candi Cetho (Karanganyar), Singolangu (Ngawi), serta Cemoro Sewu dan Jagaraga (Kabupaten Magetan). 

Jalur Cemoro Kandang dikenal cukup landai dibanding, katakanlah, Cemoro Sewu yang curam. Tapi, konsekuensinya, jarak yang ditempuh akan lebih panjang. Kami nanti menempuh jarak 9 kilometer perjalanan. Sedangkan kalau lewat Cemoro Sewu mungkin hanya sekitar 6 kilometer.

Jalur ini memiliki lima pos perhentian, berturut-turut adalah Tamansari Bawah (Pos 1), Tamansari Atas (Pos 2), Penggik (Pos 3), Cokrosuryo (Pos 4), dan Hargo Dalem (Pos 5). Pos Hargo Dalem ini sebenarnya tentatif karena di antara Pos 4 dan 5 ada percabangan, salah satu arahnya menuju puncak. Para pendaki tektok (tidak menginap) biasanya langsung mengambil jalur ini. 

Tapi kami memutuskan akan nge-camp alias menginap saja. “Rencananya, kami mendirikan tenda di Hargo Dalem dan baru menuju puncak esok pagi,” kata Mas Putut, kakakku.

Mendirikan tenda di kawasan Hargo Dalem, Gunung Lawu. TEMPO/Tulus Wijanarko

Sekitar pukul 09.00, kami mulai mendaki. Untuk menuju Pos 1 di ketinggian 2.205 mdpl itu lebih-kurang membutuhkan waktu tempuh sekitar satu jam. Cuaca cerah tak terlihat tanda-tanda akan hujan. Aku berjalan dengan kecepatan sedang. Begitu juga yang lain. Sebaiknya, di awal perjalanan memang tak usah langsung tancap gas agar badan tidak kaget. Kami juga perlu aklimatisasi dulu dengan lingkungan. 

Etape pertama ini seperti ditujukan untuk pemanasan. Diawali dengan kontur medan yang landai, lalu sudut elevasi perlahan menaik. Ini membuat otot kaki tak terkejut dan pelan-pelan menyesuaikan dengan medan. Sepanjang kiri dan kanan jalur tumbuh pohon-pohon besar yang rimbun daunnya melindungi pendaki dari terpaan langsung cahaya matahari. 

Dan benar kata Pendi, trek tanah tak mengepulkan debu saat terinjak kaki-kaki. Aku berusaha menikmati yang ada: desau angin, suara serangga, aroma hutan dataran tinggi, dan kadang mendongak ke atas menikmati nuansa biru bersih milik keluasan langit. Warna yang jarang sekali kita temukan di perkotaan.

Lalu mulailah muncul tanjakan-tanjakan cukup panjang tapi tidak curam. Kecepatan berjalanku masih konstan, tapi yang lain mulai meningkat. Jika menuruti hasrat, mungkin aku juga ingin lebih cepat. Tapi aku tahu kondisi kakiku, terutama lutut kanan yang dalam keseharian pun kadang terasa nyeri. Aku tak ingin nyeri itu muncul saat ini karena pendakian masih panjang. Aku tak hendak memberi tekanan berlebihan dengan berjalan cepat. 

Nantinya, strategiku ini terbukti membuahkan hasil. Dengkulku aman sampai puncak, dan juga di sebagian besar perjalanan turun esoknya. Dia baru terasa nyeri di etape terakhir saat turun, yakni antara Pos 1 hingga basecamp di bawah. 

Menyaksikan matahari terbit di Gunung Lawu. TEMPO/Tulus Wijanarko

Meski di posisi belakang, aku tak sendirian karena selalu ada yang (sabar) menemani. Sabar? Ya, sifat itulah yang mutlak dipunyai para pendaki gunung. Kerap muncul cerita bukan bahwa ada pendaki yang ditinggal rombongannya karena berjalan paling lambat dan lalu terjadi peristiwa nahas? 

Satu jam kemudian kami mendarat di Pos 1 Taman Sari Bawah. Di area ini terdapat bangunan dari kayu dan atap seng seluas kira-kira 12 meter persegi. Ada warung di bagian depan yang menjual makan-minum seperlunya. Kulihat beberapa pendaki duduk-duduk di sana mengudap gorengan atau sekadar minum teh hangat. 

Aku senang karena sejauh ini masih terasa fit. Dalam beberapa kesempatan hiking dulu, untuk sampai di Pos 1 ini napas sudah ngos-ngosan. Dengkul kanan tak jarang juga mulai nyeri. Aku yakin, ini berkat latihan squat yang diselang-seling joging selama dua bulan masa persiapanku. Alhamdulillah.

Hanya kurang dari setengah jam istirahat, kami segera melanjutkan perjalanan. Trek berikutnya akan lebih banyak tanjakan. Lalu, hutan mulai lebat meskipun jenis vegetasinya berbeda dibanding etape sebelumnya. Di beberapa bagian, kami juga harus melintasi “lorong” yang merupakan jalur air jika hujan deras tiba. 

Banyak trek berupa cekungan dengan pijakan yang tak rata. Baik saat naik maupun turun nanti, perlu kecermatan memilih tumpuan kaki agar tak terpeleset. Saat seperti inilah, antara lain, terasakan faedah mengenakan sepatu gunung yang memadai. Daya cengkeram (traksi) sepatu itu pada tanah mampu mengurangi risiko kaki selip. Juga jangan lupakan kontribusi trackpole (tongkat gunung) yang membantu memberikan tumpuan saat melangkah.

Aku berjalan dengan kecepatan yang sama seperti pada etape sebelumnya. Matahari sudah sepenggalah dan kulihat anggota rombongan lain mulai melepas jaket masing-masing. 

Trek yang terjal di antara Pos 3 dan 4 di Gunung Lawu. TEMPO/Tulus Wijanarko

Kecepatan langkahku mulai sedikit berkurang dalam perjalanan antara Pos 3 (Penggik) ke Pos 4 (Cokrosuryo). Boleh disebut di ruas trek inilah pendakian gunung yang sesungguhnya terasakan. Ini merupakan etape terpanjang dalam jalur Cemoro Kandang dengan elevasi yang makin curam. “Kita akan menjalani rute yang terpanjang,” ujar Pendi sesaat sebelum kami beranjak dari Pos 3 tadi.

Dan seperti rute antara Pos 2 ke Pos 3 tadi, ada banyak jalan pintas yang akan meringkas waktu pendakian. Bayangkanlah sebuah kerucut lalu Anda menggambar lintasan berkelok-kelok dari dasar ke arah puncak. Nah, jalur lurus yang memotong kelokan itu adalah jalan pintas. Di era pendakian 1980-an, jalur semacam ini disebut kros-krosan, mungkin diambil dari kata cross dalam bahasa Inggris. 

Ondorante adalah kros-krosan paling legendaris di rute ini, saking panjang dan tingginya. Di luar itu, banyak kros-krosan pendek dan medium. Aku memilih melintasi jalur reguler saja, meski harus banyak memutar dan melambung. Tak apalah butuh waktu lebih lama, yang penting kondisi kakiku aman.

Meski jalur terpanjang, di bagian inilah tersuguhkan panorama yang kian menakjubkan. Pohon besar sudah hampir tidak ada sehingga alam mendadak seperti terbuka luas. Di depan mata, tersaji kanvas raksasa dengan lukisan alam mempesona. Hal itu kian terasa saat melintas di gigir jurang. Sejauh mata memandang terlihat lembah, punukan bukit, dan rumah-rumah jauh di bawah sana bagai perkampungan liliput. Di horizon, langit biru menjadi pembatas tak tepermanai.

Edelweiss mulai mekar menjelang Hargo Dalem di Gunung Lawu. TEMPO/Tulus Wijanarko

Rumpun bunga edelweiss juga mulai terlihat di trek ini. Saat memandangnya, seperti ada rasa kangen yang tertunaikan. Lama sekali tak melihat langsung bunga abadi ini di habitatnya. Perdu edelweiss makin terlihat banyak di jalur antara Pos 4 ke Pos 5 (Hargo Dalem). Mereka ada di sisi kiri dan kanan trek yang kami lintasi. Kadang aku berhenti sejenak untuk menghirup aromanya yang khas itu. 

Angin sore dan matahari yang kian condong ke barat membawa pendakian ini berubah syahdu. Bayangkan, di bawah cahaya tembaga sang surya, di sebuah lembah dengan lautan edelweiss, di ketinggian 3.200-an mdpl, dan engkau sendirian di sana menikmati kesunyian itu. Kesenyapan yang benar-benar menjadi milikmu. Tadi, aku memang sempat berhenti sejenak, membiarkan rombongan berjalan dulu. Aku hanya ingin menemukan diri berasyik masyuk dengan alam nan hening ini.

Kami sampai di Hargo Dalem menjelang magrib. Kawasan ini seperti kampung kecil yang terdiri atas belasan bangunan terbuat dari kayu dan seng. Ada beberapa warung makan sekaligus tersedia ruang untuk menginap para pendaki, salah satunya Warung Mbok Yem yang terkenal itu. Tapi kami memilih mendirikan tenda untuk istirahat malam ini, sebelum summit esok hari.

Sisanya adalah sebuah epilog yang butuh ruang tersendiri untuk dikisahkan. Inilah saat kami melawan hawa dingin yang terasa tembus ke tulang, saat di dalam tenda di area puncak gunung. Itu adalah seni bertahan yang sulit tapi asyik. Dan kami segera menemukan bahwa malam berat semacam itu akan langsung terbayar lunas saat menikmati keindahan detik-detik matahari terbit untuk menyapa bumi dan kehidupan ketika fajar tiba. 

Saat bangun tidur, aku cukup merasa segar untuk menuntaskan pendakian pagi ini. Dari Hargo Dalem ini pendakian ke puncak hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam. Medan cukup curam dengan trek berupa tanah yang sedikit berdebu. Karena itu, aku tetap mengatur napas dan tenaga agar tubuh tetap rileks. Agar kaki tidak mendadak kram, misalnya, karena terlalu excited dan ingin cepat sampai. 

Setelah beberapa waktu, kulihat bayangan tugu itu di area puncak. Lalu dengan sisa tenaga yang ada, kuentakkan tubuh ke atas bertumpu pada kaki kiri, hups! Dan, inilah puncak Lawu di ketinggian 3.265 mdpl itu. Inilah aku yang kembali lagi, wahai Hargo Dumilah, desau angin, cahaya matahari, kuncup edelweiss, dan semua kenangan pendakian masa silam...  

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus