Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki banyak perayaan adat tradisi yang masih lestari. Tak mengherankan, wilayah yang turut diinjak kaki Gunung Merapi itu nyaris tak pernah sepi wisatawan berbagai daerah setiap tahun. Salah satu tradisi adat yang lestari sampai saat ini tak lain upacara adat Saparan Bekakak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tradisi tahunan itu kembali digelar di Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Sleman pada awal September. "Saparan Bekakan ini tradisi yang diadakan setiap tanggal 15 bulan Sapar dalam penanggalangan Jawa, tahun ini momen itu jatuh pada 1 September 2023," kata Lurah Ambarketawang, Sumaryanto, Ahad, 10 September 2023.
Awal Mula Tradisi Upacara Saparan Bekakak
Upacara Saparan Bekakak yang dipercaya mulai digelar pada 1755 itu, ditujukan untuk menghormati pengabdian tokoh masyarakat di daerah tersebut yang bernama Ki Wirasuta dan istrinya. Mereka merupakan abdi dalem yang sangat setia terhadap sang pendiri Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono I atau Pangeran Mangkubumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Upacara ini konon digelar atas perintah Pangeran Mangkubumi. Kata saparan berasal dari kata sapar dan berakhiran -an. Kata sapar identik dengan ucapan Arab Syafar yang berarti bulan Arab yang kedua. Jadi Saparan ialah upacara selamatan yang diadakan setiap bulan Sapar.
Adapun Bekakak berarti korban penyembelihan hewan atau manusia. Bekakak pada saparan ini hanya tiruan manusia saja, berwujud boneka pengantin dengan posisi duduk bersila yang terbuat dari tepung ketan.
Saparan Bekakak untuk Hormati Arwah Loyalis Pangeran Mangkubumi
Penyelenggaraan Saparan Bekakak bertujuan untuk menghormati arwah Kiai dan Nyai Wirasuta sekeluarga. Kiai Wirasuta adalah abdi dalem penangsong (abdi yang bertugas memayungi) Sri Sultan Hamengku Buwana I namun tidak ikut pindah waktu dari keraton (pesanggrahan) Ambarketawang ke keraton yang baru yang berlokasi saat ini.
Upacara tradisi Saparan Bekakak di Sleman. Dok.istimewa
Bersama keluarganya Kiai Wirasuta tetap bertempat tinggal di Gamping dan dianggap sebagai cikal bakal penduduk Gamping. Ketika pembangunan Keraton Yogyakarta sedang berlangsung kala itu, para abdi dalem tinggal di pesanggrahan Ambarketawang kecuali Ki Wirasuta yang memilih tinggal di sebuah gua di Gunung Gamping.
Pada bulan purnama, antara tanggal 10 dan 15, pada Jumat, terjadi musibah, Gunung Gamping longsor. Ki Wirasuta dan keluarganya tertimpa longsoran dan dinyatakan hilang karena jasadnya tidak
ditemukan. Hilangnya Ki Wirasuta dan keluarganya di Gunung Gamping ini menimbulkan keyakinan
pada masyarakat sekitar bahwa jiwa dan arwah Ki Wirasuta tetap ada di Gunung Gamping.
Upacara Saparan semula bertujuan untuk menghormati kesetiaan Ki Wirasuta dan Nyi Wirasuta kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I. Adapun dalam perjalanannya, tradisi ini berubah dan dimaksudkan untuk mendapatkan keselamatan bagi penduduk yang mengambil batu gamping agar terhindar dari
bencana. Sebab pengambilan batu Gamping cukup sulit dan berbahaya.
Prosesi Saparan Bekakak
Salah satu acara inti dalam Saparan Bekakak ini membawa kirab bekakak mulai dari kantor Kalurahan Ambarketawang, kemudian menyembelih secara simbolis bekakak tersebut di Gunung Gamping. Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo menuturkan Saparan Bekakak menjadi tradisi yang perlu terus dilestarikan.
"Pelestarian tradisi ini tak hanya membuat masyarakat terus bersemangat dalam melestarikan budaya yang sudah sejak ratusan tahun lalu," kata dia. "Tapi juga memupuk guyup rukun, sekaligus menjadi atraksi wisata yang menarik," ujar Kustini menambahkan.
PRIBADI WICAKSONO
Pilihan Editor: Yuk ke Gamping Sleman, Menyaksikan Ogoh-Ogoh dan Gendruwo