Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sunda Kelapa di ujung Jakarta punya sejarah yang amat panjang. Pelabuhan itu merupakan cikal bakal Kota Jakarta, pintu masuknya bangsa asing ke Nusantara. Karena sejarahnya yang begitu panjang, kawasan yang menjadi bagian dari Kota Tua Jakarta ini menarik banyak wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Unit Pengelola Kawasan Kota Tua mengajak wisatawan menyusuri kawasan Sunda Kelapa dalam tur "Pesona Kanal dan Kampung Tua Sunda Kelapa". Tur gratis ini merupakan bagian dari program walking tour Kota Tua yang diadakan setiap hari dengan rute yang berbeda-beda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo mengikuti tur ini pada Ahad sore, 4 Agustus 2024 bersama tujuh pelancong lain, termasuk seorang wisatawan asing. Sebelum tur dimulai pukul 15.00, Arif, salah satu pemandu UPK Kota Tua, menjelaskan bahwa tur ini akan berlangsung sekitar dua jam. Peserta disarankan membawa air minum, topi, serta payung atau jas hujan untuk berjaga-jaga.
Lokasi yang diyakini bekas Gerbang Amsterdam, salah satu titik yang disambangi dalam tur Pesona Kanal dan Kampung Tua Sunda Kelapa, ahad, 4 agustus 2024. TEMPO/Mila Novita
Jalur Trem dan Gerbang Amsterdam
Perjalanan dimulai dari titik kumpul Kota Tua Information Center (KOTIC) di dekat Museum Fatahillah, menembus keramaian wisatawan yang memadati Taman Fatahillah ke arah utara dengan berjalan kaki sampai di dekat Jalan Cengkeh, Pinangsia, Jakarta Barat. Arif mengajak berhenti sejenak di situ.
"Di sini dulu adalah jalur trem dari pelabuhan. Titik awalnya di Pasar Ikan yang dulu namanya Kastil Batavia, titik kedua Amsterdam Port atau Amsterdam Gate, lalu ke Kota Tua," kata Arif.
Amsterdam Gate, kata Arif, dulu berdiri di daerah itu. Seperti gerbang-gerbang lain di kota-kota di Eropa, gerbang yang dibangun pada abad ke-17 itu berfungsi sebagai penanda memasuki kawasan Batavia. Gerbang itu kemudian dirobohkan pada abad ke-19 untuk membuat jalur trem. Selain itu, Arif menjelaskan bahwa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang saat itu memerintah, menganggap bahwa kawasan itu kumuh dan jadi tempat bersarangnya virus.
Gerbang itu tidak bersisa, hanya ada sebuah terowongan dengan jalur kereta api di atasnya. Di sekitarnya hanya terdapat warung-warung kecil dan permukiman padat yaang jauh dari kesan rapi.
Pelabuhan Sunda Kelapa
Melewati bekas Gerbang Amsterdam, peserta tur diajak melanjutkan jalan kaki ke Pelabuhan Sunda Kelapa.
"Pelabuhan ini masih aktif, akan banyak kendaraan besar lewat, jadi tolong dijaga langkahnya," kata Arif.
Setelah melewati gerbang utama Pelindo, peserta diajak berbelok ke kiri sampai ke deretan kapal-kapal kayu yang bersandar.
Pelabuhan yang konon ada sejak abad ke-5 ini merupakan gerbang bangsa mana pun yang ingin datang dan berdagang ke Jawa. Pada abad ke-16, pelabuhan ini dikuasai oleh Portugis berkat perjanjian dengan Kerajaan Sunda. Tidak lama, pelabuhan itu direbut oleh Kerajaan Demak yang mengganti namanya menjadi Jayakarta, Portugis pun terusir. Namun, saat berada di bawah Demak, pelabuhan ini direbut Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perusahaan dagang Belanda, yang akhirnya membangun Kota Batavia.
Bekas Galangan Kapal VOC di kawasan Kota Tua Jakarta. TEMPO/Mila Novita
"VOC diberi mandat oleh Kerajaan Belanda untuk mengelola wilayah jajahan supaya bisa mengajalahkan perusahaan dagang Inggris, tapi VOC gagal setelah dua abad karena korupsi. Kerajaan Belanda mengambil alih Batavia, sejak itulah diubah, Kastil diubah dan (Batavia) diperluas," ujar Arif.
Pada Abad ke-19, dibangun sebuah pelabuhan lagi di Tanjung Priok yang banyak melayani pengiriman internasional. Adapun Pelabuhan Sunda Kelapa dibatasi untuk kapal ekspedisi domestik. Kebanyakan kapal yang beroperasi di sini adalah kapal pinisi khas Sulawesi Selatan.
"Produk yang dibawa adalah produk yang sulit didapatkan di Kalimantan dan Sumatra, seperti semen dan furniture. Selain itu, (barang) yang tidak ada expired-nya karena perjalanan ke Kalimantan bisa tiga sampai empat hari," kata Arif.
Di Pelabuhan Sunda Kelapa, pelancong bisa baik perahu motor untuk melihat pelabuhan dari laut. Biayanya sekitar Rp100 ribu hingga Rp150 ribu, tergantung jumlah rombongan.
Dari pelabuhan, perjalanan dilanjutkan melihat bekas Kastil Batavia di dekat Pasar Ikan, lalu ke Menara Syahbandar di Museum Bahari. Menara ini sudah tidak digunakan, tetapi bisa dinaiki.
Menyeberang jalan dari Museum Bahari, ada bekas bangunan tua dengan tulisan VOC yang mencolok. Di depan bangunan ini terdapat tugu Revitalisasi Kota Perjuangan Jayakarta atau Tugu Jangkar. Tugu yang ditandatangani mantan GUbernur DKI Jakarta Surjadi Soedirdja pada 1996 ini merupakan titik awal pembangunan Pantura Jakarta.
Perjalanan dilanjutkan menyusuri tepi kanal sampai ke Jembatan Kota Intan. Di sinilah tur "Pesona Kanal dan Kampung Tua Sunda Kelapa" berakhir. Waktu yang dihabiskan melebihi perkiraan dengan panjang rute pulang pergi sekitar lima kilometer.