Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Pantai Kadidiri Mutiara di Teluk Tomini

Pantai Kadidiri pantai sunyi di Teluk Tomini. Kesunyiannya menyimpan keindahan pasir pantai dan pemandangan bawah laut yang luar biasa.

31 Juli 2019 | 17.11 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Cagar Biosfer Togean, Sulawesi Tengah. (Unesco)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pulau Kadidiri dengan pantai pasir putihnya masih samar-samar di telinga dunia. Para petualang wisata minat khusus hanya tahu dari mulut ke mulut. Pulau terpencil di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean ini, hanya salah satu mutiara di Teluk Tomini yang mengkilap. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Karang dan ikannya menakjubkan," kata Sidsel Filipsen dan Adam Feng, kekasihnya, wisatawan asal Denmark yang pernah bertandang ke Pantai Kadidiri pada 2013.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti umumnya turis Eropa yang datang ke Kadidiri, Sidsel dan Adam tahu tentang Kepulauan Togean hanya dari informasi satu halaman yang dimuat buku saku Lonely Planet—panduan jalan-jalan ke tempat-tempat terpencil di penjuru dunia.

Meskipun kini ada Instagram, Pantai kadidiri belum terumbar popularitasnya. Beruntung keindahannya yang sunyi tetap perawan dari kedatangan wisatawan yang massal belum mengubah Kadidiri. Artinya, biota laut di dalamnya juga terjaga.

Pulau Kadidiri adalah bagian dari 66 pulau kecil di perairan Taman Nasional Togean. Dari beberapa yang menyediakan penginapan, Kadidiri paling terkenal. Di sini ada tiga cottage: Black Marlin, Pondok Lestari, dan Kadidiri Paradise. Jarak paling dekat dari Wakai, pelabuhan di tengah teluk tempat singgah kapal rute Gorontalo-Ampana.

Pulau ini juga paling mudah untuk mencapai titik-titik menyelam atau sekadar snorkeling. Pulau kecil yang tersebar di sekitarnya menahan laju angin dari laut lepas sehingga pantainya aman direnangi.

Meski Kadidiri sudah dikembangkan sebagai daerah wisata sejak 1995, tak banyak orang Indonesia yang tahu tentang pulau ini. "Tamu saya kebanyakan dari Eropa," ujar Yani Tahir, pemilik Black Marlin. Resor Black Marlin dipenuhi pelancong dari Belanda, Prancis, Jerman, Hungaria, Denmark, dan Inggris.

Perempuan 60 tahun asal Gorontalo itu membangun penginapan dengan belasan kamar itu, setelah para turis selalu bertanya kepada menantunya yang mengelola resor Blue Marlin di Lombok, Nusa Tenggara Barat, tentang laut lain yang bagus untuk diselami tapi masih sepi.

Pertanyaan serupa didengar Yani di hotelnya di Wakai. Jadilah ia dan suaminya melirik Kadidiri yang masih hutan lebat itu. Sejak itu, Togean—atau Togian dalam lafal orang lokal—mulai terkenal. Crispin Gibbs, menantu Yani asal Inggris, menyebarkan informasi tentang Togean yang masih perawan ke para turis yang berkunjung ke Lombok atau Bali.

Tapi cara mencapainya yang ribet membuat pelancong jiper berpelesir ke Togean. Dari Jakarta setidaknya butuh dua hari untuk sampai di Kadidiri. Bandar udara terdekat hanya di Poso. Itu pun tak ada penerbangan langsung dari Ibu Kota, tapi transit melalui Makassar.

Dari Poso, satu-satunya cara menempuhnya adalah jalan darat yang meliuk-liuk dan rusak selama lima jam ke Ampana, ibu kota Kabupaten Tojo Una-Una. Baru pada 2015 kabupaten ini bakal punya bandar udara sendiri.

Dari Ampana, kita masih harus naik feri selama lima jam ke Pelabuhan Wakai, dengan kapal yang tak selalu ada setiap hari. Para pemilik cottage menyediakan kapal motor di Wakai untuk mengangkut turis ke penginapan dengan waktu tempuh 15 menit.

Karena itu, bila berkunjung ke Kadidiri atau penginapan di pulau lain di Togean, pelancong mesti memesan kamar agar dijemput. Jika datang ujug-ujug, selain berisiko tak kebagian tempat tidur, turis bisa bengong di Wakai.

Tak ada sinyal telepon di pulau seluas Singapura yang tak berpenghuni ini, kecuali di satu tiang yang diberi penguat frekuensi. Itu pun kembang-kempis. Listrik di penginapan bersumber pada mesin diesel yang bahan bakarnya diangkut dari Wakai. Begitu pula air bersih.

Yani menghabiskan Rp 20 juta sebulan untuk ongkos mengangkut air dan solar. Ini cara paling masuk akal karena menyedot air dengan mengebor bukit karang di belakang penginapan perlu teknologi mahal.

Maka lengkaplah Kadidiri: pantainya sunyi; lautnya jernih dan kaya biota; tak ada sinyal, juga setrum, dan anasir modern lain. Para turis asing menyebut pulau-pulau di lidah Sulawesi itu sebagai destinasi yang cocok untuk berbulan madu.

Keindahan perairan Pulau Kadidiri bisa dinikmati hanya dengan snorkeling. Laut sebening kaca dan perairan tak berombak membuat snorkeling sangat nyaman. TEMPO/Ratih Purnama

Terumbu Karang Endemik

Selain pantai, banyak tempat untuk dikunjungi di sekitarnya. Kepulauan Togean berada di zona garis Wallace dan Weber—batas wilayah hewan Asia dan Australasia—yang membuat isi laut dan hutannya paling beragam di dunia. Lautnya adalah wilayah segitiga terumbu karang yang memanjang dari Australia, Laut Jawa, hingga perairan Filipina di Pasifik.

Pertemuan gunung-gunung bawah laut itu membuat Togean menyimpan empat jenis karang yang tak terdapat di laut mana pun di dunia: atol, karang benteng, karang tepi, dan karang tompok. Karang-karang beraneka bentuk dan warna itu menjadi rumah berbagai jenis ikan yang hidup di laut tropis dan subtropis. Di Batu Lemboto, ada gugusan karang yang terlihat seperti penyu raksasa sedang berenang di dasar laut.

Dua jam naik perahu motor dari Kadidiri, di Malenge ada atol warna-warni di kedalaman sepuluh meter yang masih bisa terlihat dari atas perahu. Karang-karang itu terlingkung oleh karang cincin yang pucuk-pucuknya menyembul di permukaan laut jika air surut. Nelayan Suku Bajo yang hidup di pulau-pulau sekitarnya mendirikan saung-saung untuk singgah berteduh dari hujan dan badai.

Tak jauh dari Malenge, ada atol lain yang hanya terpisahkan oleh dinding karang setebal satu meter dari laut induknya. Di Danau Mariona yang asin ini, hidup ubur-ubur cokelat, putih, merah, dan biru. Kita bisa berenang bersama mereka tanpa takut tersengat.

Seperti di Pulau Derawan, Kalimantan Timur, ubur-ubur di Malenge tak punya racun yang mematikan. Bedanya, di laut Derawan hanya hidup ubur-ubur merah. "Di dalam danau jumlahnya banyak sekali," kata Max Berger, turis Jerman.

Dinding karang bawah laut Malenge memisahkan perairan dangkal dan dalam sehingga biru-hijau air lautnya terlihat kentara dari udara. Ombak di sini lumayan besar ketika hari beranjak malam. 

"Arus bawahnya deras sekali," ujar Zulkifli Labano, nelayan Wakai yang mengantar kami ke sana. Hanya nelayan Bajo yang terlatih melaut sejak lahir yang bisa mengarungi gelombangnya. Maka Max Berger beruntung karena ia bisa melihat hiu kepala martil sebesar paha di perbatasan atol itu.

Permukiman Suku Bajo

Orang-orang Suku Bajo tinggal di pulau-pulau kecil di laut Togean. Mereka membangun rumah kayu bertiang tinggi di atas air. Anak-anak menjadikan laut sebagai halaman rumah untuk bermain. Bocah dua tahun dengan ringan melompat dari teras rumah mereka ke laut sedalam tiga meter yang di dasarnya hidup pelbagai jenis anemon, ular, dan bulu babi.

Di beberapa pulau, orang-orang Bajo tinggal bercampur dengan suku lain: Bugis, Makassar, dan Wakai. Hanya di Pulau Kabalutan mereka tinggal sendiri. Orang Bajo berasal dari Kepulauan Sulu di Filipina Selatan yang hidup nomaden di laut. Pelayaran sejak ratusan tahun silam itu membawa mereka ke perairan Sulawesi hingga Lombok dengan mendirikan kampung besar bernama Labuan Bajo.

Hanya sedikit orang Bajo yang paham asal-usul mereka, bahkan penduduk paling tua sekalipun. Biasanya generasi sekarang hanya tahu ayah-ibu mereka berasal dari kampung Bajo lain di pulau lain sekitar Sulawesi dan Maluku. Tak satu pun menyebut Sulu. "Yang saya tahu, nenek moyang kami dari Pulau Banggai di dekat Luwuk," kata Tinur Munggong, laki-laki 60 tahun yang tinggal di Pulau Salaka.

Atraksi orang Bajo menjala ikan dengan menebarkan jaring lalu menepuk laut secara beramai-ramai adalah tontonan yang mengasyikkan. Juga pemancing gurita yang hanya bertelekan sampan, sementara separuh badan dan kepalanya menyelam di air. Pemanah ikan adalah cerita paling eksotis dari orang Bajo. Mereka bisa menyelam lima-sepuluh menit, bahkan berjalan di dasar laut hanya memakai kacamata, lalu membokong barakuda, ikan ganas dan trengginas, di kedalaman 30 meter.

Di Pulau Papan, yang dihuni 162 keluarga suku Bajo, ada jembatan kayu yang meliuk sepanjang satu kilometer menjadi penghubung ke Pulau Malenge, yang menjadi pusat kelurahan. Suku Bajo yang sudah kawin-mawin dengan orang lokal mulai hidup di darat dengan bersekolah dan berbelanja di pasar. Bahkan mereka sudah mengenal politik. Semua kampung Bajo kotor oleh poster calon anggota legislatif yang memajang foto narsisistik dan bujukan untuk dipilih di hari pemilihan pada 2014. 

Setelah mengelilingi kampung Bajo, para turis berburu kemegahan laut dengan menyelam. Banyak spot yang keindahan lautnya masih perawan dibanding Bunaken atau Wakatobi. Salah satunya Pulau Una-Una. Juga bangkai kapal pengebom Amerika Serikat yang ditembak pasukan Jepang pada 1945 dan karam di kedalaman 40 meter. Bangkai pesawat itu masih utuh dan menjadi tempat bermukim aneka karang dan jutaan ikan.

Menurut Nick Cormack, instruktur menyelam Black Marlin asal Irlandia Utara, topografi Togean berbeda dengan Bunaken, Wakatobi, atau Lembeh. Sementara dasar laut Bunaken curam karena banyak lembah dan dinding gunung karang, Togean lebih landai sehingga para penyelam bisa menikmati tekstur laut dari dangkal ke dalam secara bertahap.

Keindahan bawah laut Togean yang menyimpan hewan langka kuda laut terancam oleh bom. Para nelayan sering curi-curi kesempatan meledakkan dinamit untuk menjaring ikan. Pemilik penginapan, seperti Yani Tahir, mesti membuat perjanjian dengan nelayan di kampung sekitar agar mereka tak mengebom laut. "Kalau dibom, karang jadi rusak. Penyelam mau mencari apa lagi?" ujar Yani.

Laut Togean terlalu indah untuk dirusak—bila tak dijaga secara serius atas nama mata pencarian rakyat. Selain berenang dan menyelam, menikmati laut Togean bahkan bisa hanya dengan mengayuh kayak ke tengahnya untuk merengkuh keheningan, di bawah senja merah yang menembus karang dan memantulkan warna-warni ikan.

Perairan Togean memiliki spesies karang endemik, yang tak ada di belahan dunia lain. TEMPO/Ratih Purnama

Bagja Hidayat

Bagja Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Alumni IPB University dan Binus Business School. Mendapat penghargaan Jakarta Jurnalis Award dan Mochtar Loebis Award untuk beberapa liputan investigasi. Bukunya yang terbit pada 2014: #kelaSelasa: Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita. Sejak 2023 menjabat wakil pemimpin redaksi

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus