Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Praktik Agroforestri Petani Kopi di Maluku

Ketahui bagaimana masyarakat Maluku mempertahankan budidaya tanaman kopi sejak zaman VOC sampai sekarang.

10 Maret 2022 | 05.51 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi buah kopi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Maluku - Wa Suria berjalan menuju hutan yang berjarak sekitar satu kilometer dari tempat tinggalnya di Desa Saju, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Di belakang dia, ada La Hadia, 54 tahun, suaminya yang mengikuti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Langkah mereka terhenti di bawah pohon ketapang. La Hadia mengeluarkan parang. Tangannya cekatan membabat rumput liar yang menutupi jalan masuk ke hutan itu. Lalu terbentanglah jalan setapak yang hanya bisa dilalui satu orang. Wa Suria tetap memimpin jalan, sementara La Hadia membereskan rumput yang dia potong. Rerumputan itu diletakkannya di bawah pohon ketapang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka menyebut hutan itu sebagai "dusun". Istilah populernya adalah agroforestri. Di sana tumbuh tanaman hutan, tanaman perkebunan, dan tanaman pertanian. Ada cengkih, kelapa, kenari, kopi, dan aneka buah.

Masuk sekitar 10 meter, pohon cengkih tumbuh melingkari "dusun". Pohon kelapa, pohon cokelat, dan pohon kopi juga besar di sana. "Sudah berbunga, bulan depan pasti matang dan bisa dipetik," kata Wa Suria sambil memegang ranting pohon kopi di hadapannya, beberapa waktu lalu.

Tanaman kopi siap panen di Desa Saju, Kabupaten Maluku Tengah, Sabtu, 8 Januari 2022. TEMPO | Khairiyah Fitri

Ada alasan mereka tetap mempertahankan pohon kopi di "dusun" itu. Pohon kopi berperan sebagai tanaman penaung yang turut memberikan kehidupan pada tumbuhan lain di sekelilingnya, seperti cengkih, sehingga mereka bisa tumbuh bersamaan.

Dosen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Thomas M. Silaya mengatakan, agroforestri telah lama dipraktikan oleh petani Maluku, jauh sebelum agroforestri mulai masuk pada awal 1970-an di Indonesia. Para petani di Maluku tidak akrab dengan istilah agroforestri, melainkan dengan sebutan "dusun" atau "dusung".

Hampir sebagian besar petani di Maluku mempraktikkan agroforestri atau dusun tanpa mengubah kondisi hutan yang sudah ada sebelumnya. Mereka mempertahankan cara nenek moyang. "Para petani mempertahankan "dusun" karena bermanfaat secara ekonomi dan mampu menyerap karbon lebih banyak," kata Thomas.

Para petani yang menerapkan metode "dusun" ini, menurut dia, berperan penting dalam menjaga hutan sekaligus menjadi mitigasi perubahan iklim dalam menambah cadangan karbon. Dengan begitu, emisi dapat ditekan, terutama pada tanaman kopi.

Direktur International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) Indonesia, Sonya Dewi menilai, agroforestri mampu mencapai penyerapan bersih emisi gas rumah kaca (net sink) pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan lain pada 2030. "Jika pepohonan itu dikelola dalam waktu lama akan berpengaruh dalam mengikat karbon sehingga berkontribusi terhadap perubahan iklim," kata Sonya Dewi dalam Webinar Achieving Indonesia Net Sink FoLU 2030 and Recovery National Economic Through Mangrove pada 3 November 2021.

#Terdesak Kopi Instan

Ironisnya, saat ini hanya La Hadia dan satu keluarga lainnya di Desa Saju yang memiliki pohon kopi. Mereka masih setia menanam kopi di tengah gempuran kopi kemasan. Mereka bersaing dengan kopi instan merek lokal maupun produksi perusahaan besar.

Masuknya produk kopi kemasan ini turut menggeser tradisi minum kopi kampung, istilah masyarakat Maluku yang merujuk pada minum kopi dari hasil kebun sendiri dan proses pengolahan mandiri. Pergeseran budaya konsumsi masyarakat dari kopi kampung ke kopi instan menjadi sebab masyarakat membabat pohon kopi mereka yang telah tumbuh puluhan tahun. "Tak perlu repot menanam hingga memproses kopi sendiri," kata La Hadia.

Sementara keluarga Wa Suria dan La Hadia masih menanam kopi sejak sekitar 25 tahun lalu. Wa Suria merasakan banyak manfaat dengan memiliki pohon kopi. Selain menjadi sumber penopang ekonomi keluarga, Wa Suriah tidak perlu membeli kopi dari pasar atau warung. Juga tidak ikut-ikutan mengkonsumsi kopi instan.

Kini keluarga La Hadia tak perlu lagi berjalan jauh untuk mengurus tanaman kopi mereka. Cukup berjalan sekitar 10 meter ke depan rumah, berdiri sekitar 500 pohon kopi yang tumbuh di antara pohon kelapa. Tak heran aroma kopi dari kebun Las Hadia dominan rasa kelapa.

Biji kopi yang dikeringkan secara tradisonal oleh petani kopi di Desa Saju, Maluku Tengah, Maluku, pada Sabtu, 8 Januari 2022. TEMPO | Khairiyah Fitri

#Kopi di Maluku

La Hadia, pria keturunan Buton, Sulawesi Tenggara, itu mengatakan, pada awal 1980-an, pohon kopi sudah ada dan tumbuh di sana. Kala itu, La Hadia masih berusia 25 tahun. Dia tidak menanam benih kopi dan tak tahu apa-spa soal mengelola tanaman ini. Suami istri itu belajar mengurus tanaman kopi secara otodidak, dari perawatan, panen, mengolah biji kopi, sampai menjadi bubuk kopi siap seduh.

Pada Januari 2021 mereka serius berkebun kopi karena nilainya sudah berubah. Dulu, biji kopi kering dengan takaran satu kaleng susu kental manis dijual Rp 9.000. Itupun pasarnya kecil karena yang berminat hanya para lansia yang tak doyan minum kopi kemasan. Sekarang, La Hadia menjual biji kopi mentah seharga Rp 30 ribu per kilogram ke Koperasi Talanusa, badan usaha yang bernaung di Yayasan Kopi Maluku.

La Hadia dan Wa Suria kian serius mengolah tanaman kopi setelah mendapatkan pengetahuan dari Julius Wibowo, seorang pegiat kopi yang datang pada 2018. Julius mengajarkan cara menanam, memetik, hingga menjemur biji kopi. La Hadia bercerita, Julius Wibowo terkejut saat melihat buah kopi berserak di atas plafon rumah La Hadia. Jika dikumpulkan, buah kopi itu mencapai 20 kilogram.

Buah kopi itu tersebar tanpa proses pengelupasan. La Hadia dan Wa Suria menjemurnya begitu saja, beserta kulit dan daging buahnya. Proses pengeringan alami terjadi melalui suhu panas yang berasal dari atap seng. "Karena tidak ada yang beli, kami simpan saja di atas plafon. Setelah kering, baru dibawa turun dan ditumbuk," kata dia.

Menurut Julius Wibowo, kopi Maluku punya karakter yang khas. Ukurannya lebih kecil dari jenis arabika ataupun robusta dan cita rasanya unik. "Awalnya kami prihatin karena sebenarnya kopi Maluku ini enak. Istimewa rasanya asalkan benar mengelolanya," kata Julius kepada Tempo melalui sambungan telepon pada 25 November 2021.

Sekarang, Yayasan Kopi Maluku mulai mengembangkan berbagai jenis varian kopi. Desa Haya dan Desa Saju punya jenis kopi arabika, sementara Desa Buano dan Desa Ariate memiliki jenis kopi robusta. Sebanyak 45 petani dari Kabupaten Maluku Tengah, Seram Bangian Barat, Kepulauan Aru, dan Maluku Tenggara bergabung dengan Koperasi Talanusa.

Melalui para petani itulah Yayasan Kopi Maluku mengembangkan 17 jenis kopi dari masing-masing desa. Nama setiap desa disematkan pada kemasan kopi agar para penikmat mengenali cita rasa dan ciri khas biji kopinya. Salah satu biji kopi yang mereka kembangkan adalah biji kopi tuni.

Jenis kopi tuni berbeda dengan kopi arabika ataupun robusta yang mahsyur di kalangan para pencinta kopi Indonesia. Disebut kopi tuni karena berasal dari desa-desa di Maluku. "Dalam bahasa Maluku, tuni berarti asli," kata Ketua Yayasan Kopi Maluku, Dev Kusaly, Senin, 11 Januari 2022.

Ketua Yayasan Kopi Maluku Dev Kusaly memperlihatkan perbedaan jenis kopi arabika dan jenis kopi tuni yang bijinya lebih kecil di Dusun Tuni, Kecamatan Leitimur Selatan, Maluku, pada Ahad, 20 Februari 2022. TEMPO | Khairiyah Fitri

Menurut dia, Koperasi Talanusa bertujuan menghimpun para petani yang jerih payahnya tak dihargai. Harga kopi yang awalnya hanya Rp 2.000 per kilogram, kini dibeli dengan harga 15 kali lipat lebih tinggi. "Kami ingin para petani mendapatkan hasil yang setimpal dan adil," kata Dev Kusaly. Tak hanya menopang kehidupan para petani, tanaman kopi juga berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.

(dari kiri) kopi rabusta, kopi arabika, kopi Maluku. TEMPO | Khairiyah Fitri

#Sejarah Kopi di Maluku

Penyebaran tanaman kopi di Maluku berlangsung sejak zaman VOC. Namun pembukaan lahan kopi di Maluku tidak semulus di daerah lain. Masyarakat dengan keras menentangnya. Catatan lain menunjukkan, setelah Belanda masuk ke Maluku, masyarakat tak boleh menanam kopi. Mereka hanya boleh menanam cengkih dan pala.

Pada 1717 sampai 1718, kopi pertama kali masuk ke Pulau Ambon menyusul kesuksesan tanaman itu di Pulau Jawa dan dikenal sebagai Java Coffee. Mulanya, pohon kopi ditanam di halaman rumah kepala desa, terutama desa-desa yang berdekatan dengan area dagang VOC.

Jurnal "Sejarah Modern VOC di Ambon 1732: Analisiss Sosial Ekonomi" karya Marten Vanhaverbeke menyebutkan, penduduk desa harus menghasilkan enam pohon kopi per tahun. Begitulah budidaya kopi mulai tumbuh. Pada 1724, terdapat 8.000 pohon kopi siap panen dan 130 ribu pohon kopi muda dengan rata-rata produksi sekitar 2.800 pound per tahun. Sayangnnya, produksi kopi yang banyak ini tak sebanding dengan harga kopi yang dibeli dari petani.

Heren XVII atau Dewan 17 VOC memutuskan memiliki kopi dari petani Maluku setengah harga kopi di Jawa atau setara lima stuiver per pound. Lantaran harga kopi terjun bebas pada 1726, masyarakat Ambon kembali ke budidaya cengkih karena harga jualnya jauh lebih tinggi dibanding kopi.

Baca juga:
4 Merek Kopi Legendaris Asal Bogor, Bukan Hanya Kopi Liong Bulan

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus