Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Surabaya - Duta Besar Belanda, Lambert Grijns, memanjat pondasi makam tua yang dikelilingi pagar besi bercat hitam setinggi orang dewasa itu, Selasa siang, 30 Juli 2024. Dengan telepon selulernya, ia mengabadikan pusara berlapis lempengan daun besi prasasti di bagian depan kompleks Makam Eropa, Kelurahan Peneleh, Surabaya, Jawa Timur itu.
Berbahasa Belanda, bila diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, prasasti beraksara timbul itu artinya: “Paduka Yang Mulia Pieter Merkus, komandan pasukan tempur Hindia, veteran perang Prancis, memimpin tanah dan laut harapan Tuhan dan lain-lain. Beliau wafat di Simpang Huis (sekarang Gedung Negara Grahadi) 2 Agustus 1844.”
Di masa hidupnya, Merkus bukan orang sembarangan. Ia pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-47. Setelah meninggal, jenazahnya sempat dikubur di pemakaman Belanda Krembangan. Tapi ketika Karesidenan Surabaya membuka lahan pemakaman baru yang lebih luas di Peneleh pada 1847, jasad Merkus dipindahkan ke sana.
Pemakaman Merkus di Surabaya masih menimbulkan tanda tanya. Sebab ia satu-satunya gubernur jenderal yang dikebumikan di luar Jakarta atau Bogor, tidak seperti lazimnya pejabat tertinggi Hindia Belanda saat itu.
Pusara Merkus di kerkhof Peneleh itu salah satu yang diziarahi Grijns. Ia didampingi oleh sejumlah anggota komunitas Begandring Surabaya. Selain Merkus, Grijns juga mengunjungi makam Residen Surabaya, Daniel Francois Willem Pietermaat.
Dalam prasastinya dijelaskan bahwa Pietermaat kelahiran Schiedam, Belanda Selatan, 2 Oktober 1790. Ia mulai menjabat Residen Surabaya pada 1839 hingga akhir hayatnya, 30 November 1848 karena sakit.
Pietermaat dikenal sebagai residen yang berani menghapus sitem kerja paksa untuk proyek-proyek pertahanan Hindia Belanda. Ia juga tegas meniadakan sistem borong pasar atau monopoli perdagangan berdasarkan ras. Nama Pietermaat juga tercatat dalam prasasti peresmian Masjid Kemayoran, Surabaya pada 1848.
Satu lagi makam yang didatangi Grijns ialah kuburan Wakil Ketua Parlemen Hindia Belanda, Pierre Jean Baptiste de Perez. Semasa hidupnya, lelaki kelahiran Hertogenbosch 1 Desember 1805 itu tercatat sebagai Komisaris Ekspedisi Bone dan Ksatria Ketertiban Singa Belanda. De Perez juga tercatat pernah menerima anugerah bintang kehormatan Mahkota Oak atas jasa-jasanya sebagai Komandan Royal Leopold Orde Belgia.
Anggota komunitas Begandring yang juga seorang peneliti sejarah, Kuncarsono Prasetyo, mengatakan mendapat tambahan data soal De Perez ini dari sejarawan Inggris Peter Carey. Sekitar 5 tahun lalu, kata Kuncarsono, Carey sengaja melacak makam De Perez di Peneleh karena nama dia ditemukan di beberapa catatan mengenai Pangeran Diponegoro.
Menurut Carey, De Perezlah yang menerima penyerahan Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan, setelah anak Hamengku Buwono III yang berstatus tawanan itu dipindahkan dari Manado, Sulawesi Utara. Ketika itu De Perez menjabat sebagai Gubernur Sulawesi. De Perez iba melihat Diponegoro yang dijauhkan Belanda dari pengikut kulturalnya di Jawa Tengah.
“Carey berujar, De Perez sempat menawari Diponegoro kembali ke tanah Jawa karena merasa tempat dia bukan di Sulawesi. Namun tawaran itu ditolak Diponegoro,” kata Kuncarsono.
Di serat yang ditulis Diponegoro, dikemukakan alasan mengapa ia menolak kembali ke Jawa. Dalam filosofi Jawa, kata Carey, Diponegoro percaya pekerjaan yang dia emban dalam Perang Jawa telah selesai. “Diponegoro ingin madeg pandhita,” ujar Carey seperti ditirukan Kuncarsono.
Purnatugas sebagai Gubernur Sulawesi, De Perez selanjutnya dimutasi sebagai Residen Surabaya. Dari Surabaya, ia dipromosikan sebagai Wakil Ketua Parlemen Hindia Belanda di Batavia. Pada periode itu pecah perang Bone. De Perez ditunjuk sebagai penasihat politik dalam misi memadamkan pemberontakan di Bone tersebut.
Namun dalam perjalanan ke Bone, tepatnya di Laut Bajoa, De Perez terserang stroke hingga meninggal dunia pada 16 Maret 1859. Sesuai permintaanya, jenazahnya dibawa ke Surabaya dan dimakamkan di Peneleh, 29 Maret 1859. “Menurut cerita, ia dikubur bersama peti-peti berisi wine,” kata Kuncarsono.
Ketua Begandring, Zaki Yamani, menuturkan sejatinya masih ada beberapa makam tokoh penting di kerkhof tersebut. Antara lain Herman van Der Tuuk, ahli bahasa Melayu yang akhirnya berhasil menjadikan bahasa tersebut sebagai bahasa nasional Indonesia. Juga Suster Ursulin, perintis lembaga pendidikan Katolik pertama di Surabaya. Saat ini lembaga pendidikan tersebut, Santa Maria, telah berkembang pesat.
“Ada informasi bahwa Soekeni, ayah Bung Karno, pernah menjadi pembantu Tuuk saat ia di Bali. Kami masih mendalami informasi itu dari riset-riset data,” kata Zaki.
Grijns mengatakan sangat senang punya kesempatan mengunjungi makam para leluhurnya tersebut. Ia mengakui banyak makam yang dalam keadaan rusak karena termakan umur. “Tapi saya gembira karena sudah ada kerja sama antara Belanda dengan Pemkot Surabaya dibantu Begandring untuk merenovasi makam-makam yang rusak itu,” kata Grijns.
Ia berujar berkat bantuan pelacakan data yang dilakukan Begandring, riwayat hidup pejabat-pejabat Hinda Belanda yang dimakamkan di Peneleh akhirnya diketahui oleh masyarakat. Dari penelusuran itu diketahui bahwa mereka meninggal karena apa. “Misalnya karena terserang wabah malaria dan kolera,” katanya.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Pemerintah Kota Surabaya Retno Hastianti menuturkan, kedatangan Duta Besar Lambert Grijns ke makam Peneleh tak lepas dari kerja sama revitalisasi kompleks kuburan tua itu. Beberapa waktu lalu Begandring memang mengajukan pendanaan kepada Dutch Culture untuk pembiayaan revitalisasi itu.
Sepuluh dari ribuan makam itu telah selesai direnovasi. Ke depan, kata Retno, tak hanya sebatas revitalisasi yang dilakukan di makam Peneleh, tetapi konservasi. Desain makam sudah diperlihatkan pada Grijns. “Ada dua desain makam, Pak Duta Besar mengatakan suka semua modelnya,” kata Retno.
Zaki Yamani mengimbuhkan makam Eropa Peneleh memiliki total luas 4,5 hektare. Dan menurut data, terdapat 3.500 jenazah warga Eropa, baik Belanda maupun non-Belanda, yang dimakamkan di tempat tersebut.
Selama ini, kata dia, keberadaan makam lawas itu terabaikan sehingga banyak yang rusak. Luasannya pun menyusut. “Dari total 3.500 makam, 25 persen di antaranya dalam kondisi rusak berat bahkan hilang. Beralih fungsi terkepras jadi lapangan,” kata dia.
Beberapa tahun terakhir komunitas Begandring merawat makam berasitektur Eropa lama itu sebagai bangunan cagar budaya. Mereka berupaya melacak data-data “penghuninya” melalui berbagai riset. Sebagian data dipasok oleh kerabat yang datang jauh-jauh dari Eropa untuk menziarahi kubur tersebut.
Pilihan Editor: Kisah Raden Aria Wirjaatmadja, Pelopor Koperasi di Hindia Belanda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini