Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ada dua hal penting di Sakai, Prefektur Osaka, Jepang, yakni orang yang sudah meninggal dan pisau. Pisau menjadi oleh-oleh populer yang dibawa wisatawan dari kota itu. Pisau ini bukan hanya bentuknya yang unik dengan pola seperti gelombang pada bilahnya, tetapi juga sejarahnya yang bernilai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara historis, Sakai merupakan salah satu pelabuhan penting dengan populasi sekitar 830.000 jiwa. Sakai terlihat mencolok dari udara karena gundukan kuburan besar berbentuk lubang kunci yang dikelilingi oleh parit dan dinding pepohonan. Tempat pemakaman ini, yang dibangun selama ratusan tahun sejak abad ketiga. Pemakaman yang dikelola Badan Rumah Tangga Kekaisaran itu merupakan tempat pekuburan Kaisar Nintoku, yang sekarang menjadi situs Warisan Dunia UNESCO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejarah Sakai menarik hati wisatawan asing di Jepang, termasuk pisaunya. The Sakai Traditional Crafts Museum mencatat penjualan pisaunya melampaui 100 juta yen untuk pertama kalinya pada 2023 dan mungkin memecahkan rekor lain tahun ini. Banyak wisatawan asing dari Amerika Serikat, Prancis, dan lainnya menyumbang setengah dari penjualan.
Pisau Sakai berasal dari periode Kofun Jepang (dari abad ketiga hingga ketujuh), ketika pandai besi berkumpul di daerah tersebut untuk menempa peralatan besi untuk konstruksi makam bagi kelas penguasa, menurut museum yang dikelola oleh kota tersebut.
Industri ini mulai berkembang pesat pada akhir abad ke-16 ketika tembakau diperkenalkan ke Jepang oleh Portugal, yang memacu pengembangan pisau tembakau berkualitas tinggi. Pengembangan pisau ini dapat dukungan dari Keshogunan Tokugawa yang bertahan hingga tahun 1868.
Dibuat dengan Tangan
Tidak seperti pisau yang diproduksi secara massal, pisau Sakai dari Osaka dibuat dengan tangan oleh para perajin yang ahli dalam penempaan, penajaman, dan pembuatan gagang. Besi lunak dan baja ditempa bersama-sama dan bagian baja dari pisau diasah menjadi sangat tajam sehingga dapat memotong ikan dan sayuran tanpa merusak sel-selnya.
Saat ini, pisau Sakai masih dibuat menggunakan teknik tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi. Pisau ini banyak digunakan oleh para koki di Jepang, menurut museum tersebut.
"Turis asing tidak hanya membeli produk -- mereka membeli cerita," kata Eric Chevallier, 35 tahun, seorang koordinator penjualan luar negeri di Pusat Promosi Industri Kota Sakai, seperti dikutip Kyodo News, 9 Februari 2025.
Chevallier, yang seorang warga negara Prancis, mengatakan bahwa banyak yang tertarik pada cerita pisau itu. Ia terkadang menghabiskan waktu berjam-jam untuk menjelaskan detail pisau sementara pengunjung memegang dan membiasakan diri dengan pisau tersebut.
"Dengan mengetahui sejarah dan cara pembuatan pisau yang akan dibeli, (wisatawan) akan dapat membayangkan latar belakang mereka saat menggunakannya di negara asal," katanya.
Pisau untuk Oleh-oleh
Wisatawan asing dikatakan sering membeli lusinan pisau untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh untuk keluarga dan teman. Menurut kota tersebut, nilai penjualan pisau museum meningkat dari 20 juta yen atau Rp 2,1 miliar pada 2021 selama pandemi COVID-19 menjadi 80 juta yen atau Rp 8,6 miliar pada tahun berikutnya, dan 140 juta yen atau Rp 15 miliar pada tahun fiskal terbaru.
Direktur The Sakai Traditional Crafts Museum, Misa Endo, mengatakan bahwa ketika wisatawan membeli pisau, pihak museum berusaha menjelaskan dengan saksama latar belakang setiap pisau kepada setiap individu. "Dengan demikian, mereka dapat menggunakannya selama bertahun-tahun mendatang," kata dia.
JAPAN TIMES | KYODO
Pilihan Editor: Melihat Sisi Lain Tokyo di 7 Perkampungan Tua