Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

Sensasi Menjadi Tuan Tanah di MesaStila Resort & Spa

Pemilik kebun kopi menikmati kejayaannya pada era kolonial. Sensasi kesuksesan itu bisa dirasakan bila menginap di MesaStila Resort & Spa

17 Juli 2019 | 19.08 WIB

Bagian depan dari bekas rumah Gustav Van der Swan yang merupakan bangunan cikal bakal MesaStila Resort & Spa yang dikelilingi perkebunan kopi di Desa Losari, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, 12 Juli 2019. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Perbesar
Bagian depan dari bekas rumah Gustav Van der Swan yang merupakan bangunan cikal bakal MesaStila Resort & Spa yang dikelilingi perkebunan kopi di Desa Losari, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, 12 Juli 2019. TEMPO/Pito Agustin Rudiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Magelang - Magelang merupakan sentra kopi di Jawa Tengah, yang dihasilkan dari Desa Losari, Kecamatan Grabag. Popularitasnya sampai ke Eropa, yang membuat para ekspatriat dari Eropa membeli tanah, berkebun kopi, lalu memiliki rumah di wilayah itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Hingga kini, wilayah yang berada di perbatasan Magelang-Temanggung itu sarat dengan bangunan era kolonial. Beberapa di antaranya beralih fungsi sebagai hotel, “Dulu, penginapan ini semuanya kebun kopi,” kata Senior Manager MesaStila Resort & Spa, Laila Purnamasari saat memperkenalkan diri dalam temu media, 10 Juli 2019 lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemilik perkebunan kopi pertama di sana adalah pengusaha berkebangsaan Belanda, Gustav van der Swan. Ia menguasai lahan perkebunan berkisar 6-7 hektare. Ia juga yang mendirikan bangunan pertama di sana pada 1928. Bangunan itu dijadikan rumah sekaligus kantor perkebunan kopinya.

Bangunannya berdiri megah di atas bukit dengan tembok bercat putih yang masih terlihat utuh, meski usianya hampir 100 tahun. Pilar-pilar bulat dengan kokoh menyangga langit-langit teras yang mengelilingi bangunan.

Kesan art deco terlihat dari dua dipan antik dari kayu yang bertiang dan beratap. Sejumlah kotak-kotak kayu kuno penyimpan barang pun diletakkan di sana. Udara dan sinar matahari leluasa masuk melewati pintu dan jendela besar.

Bangunan itu dibagi menjadi empat ruangan. Sisi utara merupakan ruang kantor adminsitrasi, untuk mengurus tamu yang akan menginap atau pun check out. Masuk ke dalam, ruangan dibagi dua bagian. Sisi barat adalah ruang perpustakaan, sementara di sisi timur terdapat rak berisi aneka bahan ramuan jamu, antara lain kunyit, kencur, kayu manis. Di bagian ruang belakang berisi perabot dan piano kuno. Setiap dinding ruangan dipenuhi lukisan, sketsa, juga foto. 

Menurut Duty Manager MesaStila Resort & Spa, Yoyok Widyo Pramono, bangunan masa Gustav tidak seperti yang terlihat saat ini. Bangunannya belum berpilar. Pintu utama pun menghadap ke utara.

Lewat pintu itu, Gustav bisa langsung menuju ke jalan setapak ke kebun kopi di bawahnya. Sementara halaman rumah dijadikan tempat untuk menjemur biji-biji kopi yang sudah dipetik, “Kondisinya masih seperti hutan. Sehabis Maghrib, orang takut lewat. Gelap dan becek,” kata Yoyok yang telah bekerja di sana 14 tahun lamanya.

Piano yang disimpan di bekas rumah Gustav Van der Swan yang merupakan bangunan cikal bakal MesaStila Resort & Spa yang dikelilingi perkebunan kopi di Desa Losari, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, 12 Juli 2019. TEMPO/Pito Agustin Rudiana

Gustav menguasai perkebunan itu hingga 1960. Ia mudah menguasai lahan karena beristri wanita Indonesia. Wanita itu pula yang mengelola perkebunan tersebut. Dia mempekerjakan warga setempat untuk memetik, menjemur, dan menyimpan kopi. Satu istri lainnya orang Belanda. Perkebunan kemudian dijual pada 1960 kepada orang Salatiga, Jawa Tengah.

Lalu, pada 1990 area itu dibeli perempuan asal Italia, Gabriella Teggia. Ia membangun penginapan di Losari bersama suaminya, Pietro Scalzitti. Penginapan itu kemudia populer dengan sebutan Losari. 

Selain membangun penginapan, ia juga membeli lahan perkebunan sekitarnya sehingga total lahan yang dimilikinya mencapai 22 hektare. Lahan seluas 11 hektare digunakan untuk penginapan dan 11 hektare sisanya tetap untuk perkebunan kopi. 

Rumah Gustav juga direnovasi pada beberapa bagian. Seperti memindahkan pintu utama dari sisi utara ke sisi timur. Juga menambah pilar-pilar pada teras rumah. 

Bangunan itu digunakan untuk The Club House. Selain untuk administrasi tamu, juga untuk menyambut rombongan tamu yang datang dengan tradisi afternoon tea. Tetamu dijamu minuman teh, kopi, atau pun jahe hangat dengan aneka jajanan pasar sembari menikmati senja.

Sementara penginapan yang dibangun Gabriella sejak 1990 baru dioperasikan pada 2004, usai perusahaannya PT Lupita Amanda diresmikan Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto pada 28 Februari 2002. Namanya saat itu adalah Losari Coffee Plantation, Resort & Spa – merujuk nama Desa Losari.

Gabriella terbilang lamban mengoperasikan penginapannya. Seluruh bangunan berbentuk joglo itu, bahannya dari rumah joglo bedholan (cabutan). Ia berburu bangunan joglo mulai dari Bawen, Semarang, Demak, Kudus, Jepara, hingga Surakarta dan Yogyakarta. Joglo-joglo itu memang hanya dipindah dari lokasi asalnya, sehingga modelnya tak berubah.

“Untuk villa tipe president suite room itu rumah joglo asli salah satu Raja Solo. Untuk restoran dan tempat karaoke itu rumah joglo dari Kudus,” papar Yoyok menjelaskan.

Hanya empat tahun Gabiella mengelola resortnya hingga 2008. Dia menjual propertinya pada 2008 karena sakit. Tak ada pewarisnya yang bersedia meneruskan usahanya karena lebih banyak bertempat tinggal di Italia.

Kemudian Gabriella meninggal pada 2012 dalam usia 69 tahun. Jenazahnya dikremasi dan abunya ditebar di Italia. Penginapan berikut perkebunan kopi pun dibeli pemilik Grup Recapital, Rosan Roeslani dengan sebagian saham dari PT Saratoga Investama Sedaya Tbk.

Nama penginapan pun diubah menjadi MesaStila Resort & Spa pada 2011. Yoyok mengaku perubahan nama itu cukup mengejutkan dan membuat sejumlah tamu kecele, mengingat nama Losari lebih dikenal.

“Awalnya ada yang bingung mencari lokasinya. Ada juga yang ragu dan baru balik lagi tiga bulan kemudian setelah tahu MesaStila itu ya Losari,” kata Yoyok. 

Menurut Laila, MesaStila diambil dari dua suku kata dari bahasa Swedia. Mesa artinya tempat yang tenang dan Stila artinya bukit yang tinggi. Pemberian nama itu disesuaikan dengan situasi lokasi penginapan, yaitu tempat tenang di bukit yang tinggi.

“Perubahan nama itu kebijakan manajemen karena ada peralihan manajemen,” kata Laila.

Pito Agustin Rudiana

Koresponden Tempo di Yogyakarta

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus