TEMPO.CO, Klaten - Membentuk formasi melingkar di tengah kolam berkedalaman sekitar 1,5 meter, 20 orang berkostum serba putih itu mengangkat keris dengan kedua tangan dan menempelkannya ke kening. Dengan mata terpejam dan kepala agak menunduk, mereka tampak khusyuk memanjatkan doa di bawah teriknya sinar matahari pada Jumat siang, 7 Desember 2018.
Seusai berdoa, mereka pun menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Padamu Negeri tanpa iringan musik. Selain mendoakan kedamaian Indonesia di tengah panasnya suhu politik menjelang Pemilu Presiden 2019, ritual setek keris bertajuk Selaksa Keris untuk Indonesia Damai itu juga bertujuan untuk mempromosikan Umbul Siblarak, objek wisata baru di Desa Sidowayah, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
"Setek atau tayuh itu biasanya untuk mengetahui energi keris dan menakar seberapa keselarasannya dengan sang pemilik. Tayuh bisa juga untuk memanjatkan permohonan atau doa menggunakan media keris," kata sesepuh Paguron Arupadhatu Kabupaten Sukoharjo, Jilitheng Suparno, saat ditemui Tempo seusai ritual.
Jilitheng mengatakan, setek keris biasanya dilakukan para pecinta keris secara individual. Namun, setek keris kali ini dilaksanakan secara bersamaan karena para pesertanya memiliki permohonan yang sama kepada Tuhan, yakni demi kedamaian seluruh masyarakat Indonesia.
Para pecinta keris dari sejumlah paguron di wilayah Solo Raya melaksanakan ritual setek keris massal di Umbul Siblarak, Desa Sidowayah, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, pada Jumat, 7 Desember 2018. TEMPO/Dinda Leo Listy
"Keris itu simbol kebudayaan Jawa. Pesan dari ritual setek keris massal tadi bahwa sudah waktunya kita kembali pada budaya hidup yang rukun dan damai. Lewat pendekatan budaya, segala masalah bisa diselesaikan dengan kepala dingin," kata lelaki paruh baya yang membawa salah satu koleksinya berupa keris kuno buatan masa kerajaan Majapahit.
Selain dikerumuni para wisatawan lokal, ritual setek keris di Umbul Siblarak itu juga menyita perhatian enam wisatawan mancanegara. "Bagi saya, ritual ini lebih dari sekadar aktivitas religi. Melihat performance mereka saat berjalan pelan di kolam, membentuk formasi melingkar, saya merasakan terciptanya konektivitas antara manusia, alam, dan Tuhan," kata Siwen Bo, 32 tahun, penari asal Beijing, Cina.
Siwen bersama lima penari lain asal Cina dan Rusia berkunjung ke Umbul Siblarak dalam rangkaian studi mendalami seni tradisi Jawa di Padepokan Lemah Putih Kabupaten Karanganyar.
Direktur Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sinergi Desa Sidowayah, Imron, mengatakan Umbul Siblarak adalah kawasan wisata keluarga seluas 2,5 hektare dengan balumbang atau kolam buatan sebagai salah satu wahananya.
"Balumbang ini mengambil air dari Umbul Kemanten dan Doyo, sekitar satu kilometer di sebelah barat, menggunakan saluran pipa. Dibangun sejak 2017, kawasan Umbul Siblarak ini rencananya baru akan diresmikan pada 2019," kata Imron.
Baca Juga:
Selama belum diresmikan, wisatawan bebas berkunjung ke Umbul Siblarak tanpa dipungut retribusi. Di Umbul Siblarak, wisatawan dapat mencoba sensasi meluncur dari ketinggian dengan bergantung pada seutas tali baja sepanjang 80 meter yang membentang di atas kolam. Untuk wahana yang diberi nama Flying Byur tersebut, wisatawan hanya dipungut Rp 15 ribu untuk sekali meluncur.
"Flyang Byur itu permainan flyng fox yang mendaratnya di kolam," kata Alwan, Koordinator pengelola Umbul Siblarak. Meskipun belum diresmikan, objek wisata di perbatasan Kabupaten Klaten dan Boyolali yang baru beroperasi dua bulan ini rata-rata dikunjungi 50-100 wisatawan setiap harinya.
DINDA LEO LISTY