Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hiburan

Torean Rute Mistis Menuju Puncak Rinjani

Senaru dan Sembalun merupakan rute konservatif menuju puncak Rinjani. Sementara Torean rute antikemapanan yang dipenuhi lokasi keramat.

1 Agustus 2019 | 23.43 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pada pertengahan Oktober 2013, Nurdin Kalim wartawan TEMPO dan fotografer Tony Hartawan bersama pendaki kawakan Safriyudi dan Ruslan melakukan perjalanan tak biasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka memulai pendakian menuju puncak Rinjani dari Torean, sebuah wilayah di Desa Loloan, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Dusun yang dihuni 180 keluarga itu bertengger di ketinggian sekitar 600 meter dari atas permukaan laut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penduduk Loloan umumnya suku Sasak, masyarakat asli Pulau Lombok, yang sebagian besar membuka ladang jagung, berkebun kakao, serta menggembalakan ternak, terutama sapi.

Jalur pendakian Torean belum sepopuler Senaru dan Sembalun, dua rute yang selama ini biasa ditempuh pendaki menuju puncak Rinjani. Masyarakat lokal menggunakan jalur ini sebagai pintu masuk Taman Nasional Gunung Rinjani. Jalur Torean menawarkan panorama alam yang beragam. Sepanjang jalur, yang diapit dinding punggungan Gunung Rinjani dan Sangkareang, terlihat hutan lebat, tebing, lembah, sungai, air terjun, dan sumber air panas alami, termasuk yang mengalir di dalam gua.

Tiga porter itu bersandal jepit, tampak santai melangkah. Musdiana membawa dua keranjang berisi bahan makanan dan perlengkapan seberat seperempat kuintal seperti tak membebani pundaknya. Juga Jamaludin,yang menggendong ransel 80 liter. 

Begitu pula Amak Herni, porter senior sekaligus pemandu asal Torean. Bersandal jepit dan memikul dua keranjang berisi bahan makanan, peralatan masak, serta logistik lain, kakek dua cucu itu berjalan melenggang. Langkahnya lincah bagai kijang.

Amak Herni diajak dalam rombongan itu, selain sebagai tetua adat di Dusun Torean, dia mengetahui seluk-beluk jalur pendakian. Dua porter lain hampir tak pernah mengantar pendaki melalui rute Torean.

Menurut Safriyudi, ada beberapa faktor yang membuat para pendaki, terutama dari luar Lombok, enggan melalui Torean. Salah satunya, akses menuju Torean belum memadai. Dari pertigaan Desa Loloan, jalan menuju Torean baru separuhnya yang diaspal. Itu pun sudah mulai rusak dan berlubang di sana-sini. Selebihnya jalan tanah berbatu dan menanjak cukup terjal. Tak ada angkutan umum. Hanya ojek dan truk yang melintas di sana.

Torean juga belum memiliki fasilitas penginapan sesederhana apa pun. Pendaki biasanya bermalam di rumah Amak Herni, yang menyediakan tempat untuk istirahat di beruga—sejenis gazebo bertiang enam yang terbuat dari kayu dan bambu serta beratap rumbia. Di rumah itu terdapat tiga beruga. Biayanya Rp 250-300 ribu per malam untuk satu rombongan (lima orang), termasuk makan malam dan sarapan.

Setelah rihat sekitar 15 menit di batas kawasan Taman Nasional, kami melanjutkan perjalanan menembus hutan. Pepohonan membentuk kanopi yang cukup rapat, menahan panas matahari. Dedaunan melindungi kami, yang menempuh punggungan terjal dan lembah 45 derajat, dari sang surya.

Hutan ditumbuhi pinus, suren, rotan, belimbing hutan, dan paku-pakuan. Burung srigunting terbang dan hinggap di pucuk pepohonan. Gemericik terdengar dari sungai kecil, tak jauh dari jalur pendakian. Suara monyet menggema dari kejauhan. 

Rute Torean lebih keras nan mistis dan jarang dilalui para pendaki. TEMPO/Tony Hartawan

Empat jam dari Torean, akhirnya kami tiba di Plawangan. Di seberang Plawangan terdapat Air Terjun Penimbungan, setinggi sekitar 100 meter. Berada di sebuah cerukan di ketinggian 1.200 meter, Plawangan dipenuhi batu besar dan kecil. Di sebuah batu yang datar di dekat bibir jurang, tampak sesajen dengan sisa dupa yang masih berasap.

Masyarakat setempat percaya, Plawangan—yang berarti pintu—merupakan gerbang masuk yang sesungguhnya menuju alam Gunung Rinjani. Maka mereka biasanya memanjatkan doa dengan membakar dupa sebelum melanjutkan perjalanan. "Untuk memohon restu agar perjalanan mendaki Rinjani bisa selamat," ujar Amak Herni.

Panorama alam yang berbeda dengan rute Senaru dan Sembalun terhampar setelah kami meniti jembatan kayu vertikal yang menempel ke tebing Plawangan. Kami menyusuri jalur di lembah yang diapit punggungan Gunung Rinjani dan Sangkareang. Dinding punggungan hijau berselimut rumput dan ilalang. Di beberapa punggungan terdapat deretan pohon pinus yang rimbun.

Kami menempuh zona lembah itu dengan menelusuri jalan setapak yang sempit. Kadang harus mendaki punggungan bukit yang terjal dengan kecuraman 45-60 derajat. Di beberapa bagian, kami melewati jalan yang di kiri-kanannya jurang dengan kedalaman 50-100 meter. "Pendakian jalur Torean tak disarankan ditempuh pada malam hari. Sangat berbahaya," kata Safriyudi.

Karena waktu makan siang telah datang, plus tenaga terkuras saat menempuh zona lembah, kami rihat lama di Propok. Propok merupakan dataran cukup lapang pada ketinggian 1.511 meter yang dirimbuni pohon pinus, rumput, serta ilalang.

Daerah ini jadi lokasi pertemuan dua sungai cukup besar. Satu sungai berair jernih dan bisa diminum. Sungai lainnya mengandung belerang, yakni Kokok Putih, yang berhulu di Danau Segara Anak. Di salah satu sisi Kokok Putih terdapat sumber air panas alami. Saya berendam di air panas untuk mengusir penat. 

Gua Susu

Perjalanan setelah istirahat menuju Gua Susu terasa lebih ringan. Rute terjal mendaki punggungan bukit dengan kemiringan hingga 60 derajat, bahkan di beberapa bagian lebih terjal, bisa kami lalui hampir tanpa hambatan. Dalam waktu sekitar satu setengah jam, sesuai dengan estimasi, kami tiba di persimpangan jalan menuju Gua Susu.

Gua Taman yang di dalamnya terdapat air yang dianggap suci oleh masyarakat Sasak. TEMPO/Tony Hartawan

Sebelum ke Gua Susu, kami menyempatkan diri mampir ke Gua Taman, yang hanya berjarak sekitar 10 meter dari persimpangan itu. Di muka gua keramat ini, banyak bergantungan kain putih. Menurut Amak Herni, kain putih itu boleh dikenakan siapa saja yang akan memasuki Gua Taman.

Ruangan di dalam gua ternyata cukup luas, sekitar 3 x 3 meter, dengan ketinggian kira-kira dua meter. Di dalamnya ada kolam kecil berair jernih, yang oleh masyarakat setempat dianggap seperti air zamzam di Mekah.

Dari Gua Taman, kami berjalan ke Gua Susu, yang berjarak sekitar 500 meter. Di Gua Susu itu pula saya bersua dengan puluhan penduduk lokal yang berendam di sumber air panas, yang mereka percaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit.

Mereka rela menginap tiga-lima hari dengan mendirikan tenda. Beratnya pendakian menuju ke sana justru dianggap sebagai ujian. "Bagi saya, ini merupakan ritual. Kalau tidak direstui Yang Mahakuasa, saya tidak bisa sampai ke sini," kata Ahmad, 25 tahun, asal Desa Jurit, Masbagik, Lombok Timur.

Ahmad, yang datang bersama tujuh orang sedesanya, didera berbagai penyakit, seperti encok atau rematik. Atas anjuran para tetua adat di desanya, dia berendam di sumber air panas Gunung Rinjani. "Alhamdulillah, setelah dua kali, encok saya sembuh," ujarnya.

Pendakian via jalur Torean berujung di Danau Segara Anak di ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut. Danau seluas sekitar 11 juta meter persegi dengan kedalaman 230 meter ini tempat pertemuan jalur Torean dengan dua rute pendakian Rinjani lainnya: Sembalun dan Senaru.

Kami tiba di danau yang merupakan kaldera purba yang terbentuk akibat letusan dahsyat Gunung Samalas pada 1257 ini ketika matahari telah condong ke barat. Cahaya keemasannya memantul di danau berair tenang, memancar ke dinding tebing.

Setelah bermalam di tepi Danau Segara Anak, esoknya kami melanjutkan perjalanan menggapai puncak Rinjani, 3.726 meter di atas permukaan laut, melalui Plawangan Sembalun. Matahari memerah di timur ketika kami menjejakkan kaki di puncak gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia itu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus