Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Wisata di Pasar Kebon Empring: Kulineran di Aliran Sungai dan Hutan Bambu

Kelahiran destinasi wisata Pasar Kebon Empring juga tak lepas dari dampak fenomena alam yang terjadi di kawasan itu.

29 Mei 2021 | 14.29 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana wisata kuliner dhahar keceh di tepi Sungai Gawe di Pasar Kebon Empring, Piyungan, Bantul, 25 Mei 2021. TEMPO/Pito Agustin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Ingin menikmati makan, minum dan bercengkerama sembari kaki berkecipak di dalam arus air sungai yang mengalir? Kawasan pinggir Sungai Gawe di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta menawarkan sensasi itu lewat wisata Pasar Kebon Empring.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lokasi persisnya di Dusun Bintaran wetan, Kalurahan Srimulyo, Kapanewon Piyungan, Kabupaten Bantul. Disebut Pasar Kebon Empring karena destinasi itu menyajikan aneka kuliner tradisional di tengah kebun bambu (pring). Nama itu terinspirasi wisata Pasar Paringan di Temaanggung, Jawa Tengah. Sedangkan keberadaan sungai yang melaluinya menjadi bonus yang membuat lokasi itu kian tampak alami.

“Dan yang makan di sungai itu rebutan,” kata Penanggungjawab publikasi destinasi itu, Titik Ailuh saat ditemui di sana, Selasa, 25 Mei 2021.

Maklum, jumlah bangku dan meja yang disediakan di atas sungai terbatas. Sejumlah bangku panjang dan meja itu beralas bambu bertiang besi.

Ada juga bangku lebar segi empat yang bisa menampung hingga lima orang. Fasilitas itu diletakkan di bagian sungai yang kedalamannya sebatas seperempat betis orang dewasa.

Pengunjung bisa duduk sambil makan minum dengan kaki berayun menyentuh permukaan air. Jika kedinginan, maka mereka menekuk kaki mereka di atas bangku.

“Ini pakai konsep dhahar keceh (makan sambil berkecipak di air),” kata Titik.

Sejumlah bocah yang berkunjung pun memanfaatkannya untuk berendam atau sekedar membasahi tubuh di tepi sungai. Sementara pengunjung yang tak kebagian bangku bisa lesehan di atas tikar yang digelar di daratan berkerikil di tepiannya.

“Dan saya berani bilang, konsep wisata ini jadi pionir di Bantul. Setidaknya di Piyungan,” kata Titik.

Untuk keamanan pengunjung di sungai, pengelola wisata itu berkoordinasi dengan warga di sisi utara terkait cuaca. Misalnya, ketika hujan turun, warga dilarang untuk turun ke sungai.

Bangku dan meja pun diangkut ke daratan. Koordinasi pun terkait seberapa tinggi debit air hujan dari sungai di sisi utara agar warga di bagian selatan bersiap-siap.

“Kebetulan kami selaku pengelola juga bergabung di komunitas sungai di Bantul,” kata Titik.

Kelahiran destinasi wisata Pasar Kebon Empring juga tak lepas dari dampak fenomena alam. Bermula dari Badai Cempaka yang menggulung kawasan itu dengan banjir pada 2017.

Tak hanya berantakan, aneka barang rumah tangga milik warga yang hanyut juga terjebak di lokasi yang ditumbuhi pepohonan bambu itu. “Ada kasur, teve, kursi, nyangkut di sini,” ujar Titik.

Jembatan bambu yang melintas di atas sungai ikut hanyut meski sekarang sudah dibangun lagi. Menyisakan jembatan gantung dari besi yang membuat badan bergoyang-goyang setiap kali melintasinya.

Usai bergotong-royong membersihkan bersama warga, Titik yang aktif di komunitas sungai tertarik untuk memanfaatkan lahan tepian sungai itu. Apalagi tak sedikit orang yang berswafoto setiap kali melintas di jembatan gantung. Atas saran seorang teman, area itu pun disulap menjadi tempat wisata kuliner.

Sekitar 50 orang warga berjibaku menyulap area seluas 5.000 meter persegi yang sebagian lahan milik warga itu menjadi tempat wisata. Mereka mendirikan bangunan sederhana berbahan dasar bambu. Mulai dari lapak-lapak kuliner hingga bangku dan meja untuk pengunjung.

Tak ada bantuan materil dari pemerintah setempat untuk membangunnya. Tak ada pula iuran duit dari warga. Tapi dari berhutang.

“Saya utang toko material bangunan seberang jalan Rp 130 ribu. Buat beli paku, kawat,” kata Titik.

Usai wisatawan berkunjung ke destinasi yang dibuka per 17 Mei 2018, pembayaran utang berangsur dilakukan. Bukan dari iuran warga, melainkan dari retribusi parkir yang dibayar pengunjung dengan nominal sukarela.

“Awalnya dapat uang parkir Rp 70 ribu. Terus lagi dari uang parkir. Tiga kali lunas,” kata Titik.

Di area daratan di atas sungai juga disediakan bangku kursi dan gazebo untuk pengunjung. Tak ketinggalan juga hiburan lagu dari musisi warga setempat.

Sejumlah bangku dan meja ada yang masih dibuat dari bambu. Sebagian lagi sudah diganti ddengan material batu yang diambil dari Breksi, Kabupaten Sleman.

“Lama-kelamaan paku pada bangku bikin baju pengunjung kecantol. Ya sudah, kami ganti batu. Lebih awet,” kata Titik.

Akhir pekan, rombongan pesepeda mendominasi kunjungan. Keramaian pengunjung pun memuncak pada Sabtu-Minggu itu hingga lima ribuan orang.

Setidaknya dalam sebulan bisa mencapai 12 ribu pengunjung mulai pukul 07.00-17.00. “Khusus Ramadan lalu, kami bisa buka sampai malam,” kata Titik.

Selain kuliner, pengelola menyediakan wisata minat khusus berupa trekking ke Bukit Berlian. Bukit itu berada di seberang sungai. Untuk mencapainya bisa melalui jembatan gantung maupun jembatan bambu.

“Sebenarnya itu Bukit Pangol. Tapi diganti Bukit Berlian. Filosofinyaseperti wisata yang belum dipoles,” kata penanggungjawab kebersihan, Isnawan.

Titik adalah salah satu pemandu trekking di Pasar Kebon Empring. Satu rombongan yang berjumlah 20 orang membayar tiket Rp 50 ribu per orang. Setidaknya butuh waktu lima jam buat mendaki dan menuruni bukit. “Ini enggak cuma jalan-jalan saja. Tapi juga banyak berhenti untuk swafoto,” kata Titik sembari menunjukkan sejumlah wisatawan di Bukit Pangol.

Baca juga: Mencicip Kuliner Fresh from The Oven di Pasar Kebon Empring Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pito Agustin Rudiana

Pito Agustin Rudiana

Koresponden Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus