Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seperti kebanyakan orang Papua, masyarakat Afsya di Kampung Bariat, Sorong Selatan, mengandalkan sagu sebagai makanan pokok.
Di Kampung Bariat, sagu juga bisa menghidupi mereka yang tidak punya pekerjaan.
Mulai 2024, Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan memberikan pengakuan, perlindungan, serta penghormatan masyarakat hukum adat dan wilayah hukum adat kepada tujuh komunitas adat, termasuk Kampung Bariat.
BAGI orang Papua, sagu mengalir erat sedekat urat nadi. Adagium menyangkut pohon sagu bermakna dalam. Di luar berduri, di dalam berseri. Artinya, meski penampilan fisiknya seram, hatinya seputih sari pati sagu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak terkecuali masyarakat Afsya di Kampung Bariat, ibu kota Distrik Konda. Afsya merupakan subsuku bagian dari suku Tehit, komunitas adat terbesar di Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat Daya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permukiman Afsya berada di tengah kawasan hutan adat seluas lebih dari 3.300 hektare. Hutan Bariat didominasi ekosistem gambut. Di sana-sini terpampang tanda peringatan rawan kebakaran dari dinas lingkungan hidup setempat. Sebagai kampung yang dikepung daratan, sumber penghidupan masyarakat Kampung Bariat bergantung pada hasil hutan. Dari sekian komoditas, sagu (Metroxylon sp.) menjadi makanan pokok mereka.
Dalam ekspedisi Arah Singgah Papua 2024, tim TelusuRI—media perjalanan dan wisata bagian dari jaringan Tempo Digital—singgah di Kampung Bariat untuk melihat proses pengolahan sagu. Adrianus Kemeray, 51 tahun, Kepala Kampung Bariat, mengajak kami masuk hutan sagu milik keluarga Nikson Kemeray. Ada satu pohon sagu dewasa berusia sekitar sepuluh tahun yang siap panen. Lokasinya tidak jauh dari jalan aspal penghubung Teminabuan, ibu kota Sorong Selatan, dengan kampung-kampung di Distrik Konda.
Kami bisa menjangkau lahan itu dengan berjalan kaki dari rumah Adrianus, tempat kami menginap. Karena hari sebelumnya hujan deras sepanjang malam, lahan di sekeliling pohon sagu tersebut terendam air setinggi betis. Beberapa warga meminjami kami sepatu bot, sedangkan mereka tetap berjalan tanpa alas kaki meski duri-duri pohon sagu dan serpihan kayu yang tajam berserakan di mana-mana.
Menurut Adrianus, sagu merupakan anugerah pangan terbaik yang diberikan Tuhan untuk tanah Papua. Kemudian nenek moyang mereka mewariskan banyak pengetahuan seputar pemanfaatan sagu. Semua berlangsung tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.
“Kami jaga pohon sagu sebagai mama kandung kami,” kata Adrianus. Seperti halnya orang-orang Papua menganggap hutan sebagai ibu karena menghidupi mereka, begitu pun sagu. Melindungi dusun sagu—sebutan masyarakat setempat untuk hutan sagu—berarti menjamin keberlangsungan sumber penghidupan mereka sampai anak cucu.
Setiap bagian dari pohon sagu bisa dimanfaatkan. Kulit dan batangnya dijadikan kayu bakar, pelepahnya untuk tempat meremas sagu, dan dinding rumah serta daun atau rumbianya dianyam menjadi atap rumah.
Sementara itu, dari kacamata iklim, sagu punya peran penting dalam pengendalian kualitas lingkungan. Menurut riset Bambang Hariyanto, peneliti utama di Pusat Teknologi Agroindustri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, pohon sagu dapat menyerap emisi karbon lebih besar dibanding tanaman hutan lainnya. Maka, sagu tidak hanya diandalkan sebagai sumber ekonomi, tapi juga untuk merestorasi kondisi lingkungan.
Selebihnya, seperti kita tahu, sagu adalah bahan pangan kaya karbohidrat. Ia tidak kalah bikin kenyang dibanding nasi. Berbeda dengan padi yang harus menunggu tiga sampai empat bulan untuk panen, sagu bisa diolah dan dinikmati di hari yang sama.
Setelah menokok sampai lumat, Fredik Ariks (kanan) menuangkan empulur sagu ke dalam karung goni yang disiapkan Kormince Kemeray. Selanjutnya para mama akan bertugas meremas sagu dan menghasilkan pati sagu. Foto: Rifqy Faiza Rahman
Untuk itulah kerja sama atau gotong royong antarkeluarga jadi penting saat memanen sagu. Fase-fase awal awal pengolahan sagu membutuhkan banyak kerja fisik. Di sinilah kelompok laki-laki berperan. Berbekal parang dan kapak, para lelaki dewasa bahu-membahu menebas bagian bawah batang sagu dan memastikan jatuh ke arah yang tepat.
Saya tidak tahu persis bagaimana penampakan fisik sagu siap panen. Yang jelas, kata Adrianus, rata-rata usia pohon sagu dewasa yang siap panen adalah sepuluh tahun dengan tinggi sedikitnya 15 meter.
Tim ekspedisi Arah Singgah TelusuRI diminta menjauh dari lokasi penebangan. Teriak kencang para pria bersahutan memberi aba-aba waspada.
Bruk! Satu pohon besar itu roboh ke arah berlawanan dari kedatangan kami. Daniel Meres, tetangga yang tinggal di seberang rumah Adrianus, sigap mengayunkan kapaknya berulang kali ke permukaan batang sagu. Sementara itu, mereka yang menggunakan parang menguliti batang sagu dan memotong pelepah-pelepah yang tersisa. Para remaja siaga menjaga barang-barang kami yang lumayan bikin rempong—kamera, tripod, ransel, dan matras.
Satu pohon sagu tidak akan rampung digarap dalam satu hari. Warga hanya membuka batang sagu kira-kira seperempat ukuran pohon untuk diolah. Fredik Ariks menjadi orang pertama yang menokok teras batang atau empulur—daging pohon atau bagian dalam batang sagu yang berwarna putih.
Alat pangkur khusus itu berfungsi seperti martil dan biasanya terbuat dari kayu yang kuat, seperti merbau. Penduduk setempat menyebutnya kayu besi. Di ujungnya biasanya dipasang logam tajam agar awet dan bisa melumat empulur dengan cepat.
Selanjutnya, mereka bergantian memecah empulur sampai gembur serupa tepung. “Kalau capek, bisa gantian sama yang muda-muda,” kata Fredik, tergelak.
Meski status lahan milik marga Kemeray, proses panen dan pengolahan sagu melibatkan keluarga lintas marga. Sebab, satu pohon bisa mencukupi kebutuhan 340-an penghuni Kampung Bariat selama beberapa pekan. Dalam satu hari, misalnya, mereka hanya bisa mengolah beberapa karung empulur untuk diperas menjadi tepung sagu kering. “Kalau orangnya banyak, satu pohon besar bisa selesai diproses seminggu. Kalau cuma satu-dua orang, baru bisa selesai sebulan,” ujar Adrianus.
Sementara itu, di sisi batang pohon yang sudah terbelah, kelompok perempuan mengambil alih tugas selanjutnya. Maria Kemeray dan Kormince Kemeray ada di kelompok itu. Mereka membuka dua karung goni berukuran sedang untuk menampung serpihan-serpihan sagu. Kedua mama itu, dengan menyunggi, bergerak kilat ke pondok sagu milik marga Kareth di tepi anak sungai berair jernih di hutan rawa gambut. Jaraknya sekitar 200 meter dari tempat panen.
Masyarakat Kampung Bariat mempertahankan cara pengolahan sagu yang diturunkan nenek moyang mereka. Mereka memakai pelepah nipah—disangga batang-batang pohon kecil yang terpasang menyilang—sebagai tempat penggilingan sagu basah.
Maria Kemeray (kiri) dan Kormince Kemeray gotong royong meremas sagu untuk menghasilkan pati sagu secara tradisional. Foto: Deta Widyananda
Maria dan Kormince memindahkan serpihan sagu ke baskom. Mereka mencampur sagu dengan air dari anak sungai tadi, lalu menuangkannya ke atas pelepah. Mauren, ketua tim ekspedisi, mencoba membantu pekerjaan mama-mama itu. “Diremas pelan-pelan sampai airnya habis, lalu dibasahi dengan air lagi, dan diremas lagi,” ujar Maria memberi arahan. Cara memerasnya seperti memeras kain cucian.
Air perasan sagu akan mengalir melewati penyaring dan jatuh ke bak penampung. Saringan itulah yang nantinya dicuci dan diambil patinya. Pati tersebut diolah dan dijadikan tepung sagu kering.
Setiap keluarga biasa mengambil beberapa bagian untuk kebutuhan dapur sendiri. Mama-mama masih meneruskan perannya dengan memasak olahan sagu. Paling banyak dijadikan papeda. Lauknya ikan yang ditangkap di sungai dan sayur yang dipetik di hutan. Bumbunya mereka beli di pasar.
Kami mencoba produk olahan sagu lain berupa kue pukis dengan parutan kelapa. Enak buat dinikmati dengan kopi panas. Makan dua potong saja sudah kenyang.
Selain dikonsumsi sendiri, tepung sagu kering merupakan produk turunan pertama yang bisa dijual warga Kampung Bariat. Mereka bisa menjual ke pedagang di pasar atau ke pelanggan langsung. Satu pohon sagu menghasilkan tepung kering sedikitnya 20 karung dengan bobot masing-masing mencapai 20-25 kilogram. Harga per karung sekitar Rp 200 ribu.
Inilah yang Adrianus maksud soal pemanfaatan sagu tanpa mengeluarkan modal sepeser pun. Dia menyebutkan sagu sebagai kemandirian pangan di kampungnya. Menurut dia, banyak anggota masyarakat Kampung Bariat yang tidak berkesempatan menjadi pegawai negeri. Ada yang tidak punya pekerjaan sama sekali. "Sehingga dia punya hidup bergantung pada dusun sagu," kata Adrianus. Dari dusun sagu itulah masyarakat Kampung Bariat bisa menyekolahkan anak mereka, membeli bahan makanan, serta membangun rumah dan gereja.
Tak terhitung manfaat ekonomi dari sagu yang dikelola dengan baik dan lestari. Para orang tua di Bariat bisa menyekolahkan anak-anak mereka, membelanjakan bahan makanan dan minuman lainnya di dapur, serta membangun gereja dan rumah hunian.
Amos Meres menunjukkan kudapan sagu bola yang siap dimakan. Foto: Rifqy Faiza Rahman
Sejauh ini belum ada data yang valid soal luas lahan sagu di Indonesia. Dalam pernyataannya kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2018, Mochamad Hasjim Bintoro, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, pernah mengungkapkan luas lahan sagu di Indonesia mencapai 5,5 juta hektare. Hampir 95 persennya, sekitar 5,2 juta hektare, berada di Papua.
Artinya, cadangan sagu di Papua terbesar di Indonesia dan dunia. Sayangnya, kata ketua Masyarakat Sagu Indonesia (MASSI) itu, yang dimanfaatkan tidak sampai 1 persen. Sisanya dibiarkan membusuk dan mati sia-sia tanpa pernah dipanen.
Di Provinsi Papua Barat Daya, Kabupaten Sorong Selatan merupakan sentra penghasil dan cadangan sagu terbesar. Setidaknya, demikian menurut data terakhir yang tercatat berdasarkan riset peneliti BPPT Bambang Haryanto, Mubekti, dan Agus Tri Putranto pada 2015. Dari total wilayah Kabupaten Sorong Selatan seluas 694 ribu hektare, hampir 45 persen di antaranya, sekitar 311 ribu hektare, merupakan hutan sagu. Potensi pati sagu hampir 3 juta ton.
Enam area sagu terluas—sekitar 10 persen atau lebih cakupan wilayah—berada di Distrik Kais (63.797 ha), Kokoda (61.344 ha), Inanwatan (55.483 ha), Saifi (39.630), Kokoda Utara (34.530 ha), dan Metamani (29.400 ha). Konda (19.641 ha) dan Seremuk (7.766 ha) merupakan dua distrik dengan luasan terkecil. Angka-angka itu mungkin menyusut mengingat perkembangan zaman, mungkin juga tetap.
Industri sagu swasta sudah beroperasi di Kais dan Metamani, sedangkan distrik lain masih berbasis perkebunan rakyat. Menurut Adrianus dan Ones, fasilitator lokal EcoNusa yang mendampingi kami, ketiadaan investasi perusahaan pengolahan sagu di Distrik Konda justru lebih menguntungkan masyarakat adat, seperti yang tampak jelas di Bariat. Warga tidak perlu terikat dengan perusahaan dan bebas mengelola lahan sendiri yang sudah terbagi-bagi berdasarkan kesepakatan marga.
Pendapat itu sejalan dengan cerita warga Kampung Bariat. Sehari sebelum pergi ke dusun sagu, setelah ibadah Minggu di gereja, Adrianus dan rekan-rekan mengajak kami mengunjungi satu tempat keramat di hutan. Jaraknya sekitar 700 meter ke arah barat dari kampung. Treknya melewati banyak pohon dan tanaman endemis yang kerap mereka gunakan untuk obat-obatan ataupun kebutuhan lain di rumah.
Di ujung jalan setapak, terdapat kuburan dengan cungkup seng dan ditopang tiang-tiang kayu. Di sanalah bersemayam jasad ibunda Yulian Kareth, Ketua Adat Kampung Bariat. Menurut Yulian, itu tempat pertama ibunya bertemu dengan ayahnya yang berasal dari kampung lain sehingga tanahnya dikenang sebagai tempat penting.
Yulian kemudian menunjukkan sebuah pohon besar dengan daun dan ranting menjulur di sebelah makam. Ada plakat bertulisan “Mrasa” dengan cat merah. Informasi ini menunjukkan lokasi tempat keramat milik marga Kareth. Hikayat penamaan seperti itu bersifat rahasia dan hanya diketahui para sesepuh adat.
Warga Bariat menyebutnya tempat penting. Sebuah tempat yang dinilai keramat atau penting karena memuat nilai historis dan berhubungan dengan asal-usul leluhur mereka. Selain pohon-pohon tua, area pekuburan atau tempat-tempat tersembunyi di hutan ditandai sebagai tempat penting. Titik-titik inilah yang krusial memetakan wilayah hukum adat. Data tersebut yang kemudian menjadi landasan untuk pengajuan legalitas pengakuan hutan adat atau wilayah adat dari pemerintah.
Sejak 6 Juni 2024, Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan telah memberikan pengakuan, pelindungan, serta penghormatan masyarakat hukum adat dan wilayah hukum adat kepada tujuh komunitas adat di sana. Tak terkecuali lima kampung bertetangga di Distrik Konda, yaitu Manelek (subsuku Gemna), Bariat (subsuku Afsya), Nakna (subsuku Nakna), serta Konda dan Wamargege (subsuku Yaben).
Khusus Bariat, pemerintah kampung bersama pendampingan lembaga nirlaba Pusaka Bentala Rakyat sedang memperjuangkan pengakuan ke tingkat provinsi sampai kementerian. “Secara prinsip, sebagai masyarakat hukum adat, kami menjaga keras sumber makanan pokok untuk anak-cucu kami,” kata Adrianus.
Bapak tiga anak itu berpandangan bahwa legalitas pengakuan pemerintah sangat berharga. Payung hukum yang kuat dan mengikat akan menjamin keberlangsungan tempat tinggal dan wilayah adat mereka. Pengakuan itu meliputi tempat-tempat penting yang turut melindungi dusun-dusun sagu di seantero hutan Kampung Bariat. Sebab, bagi orang Bariat, sagu pun keramat. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
TelusuRI merupakan media perjalanan dan pariwisata Indonesia yang menjadi bagian dari jaringan Tempo Digital. Tulisan ini dibuat sebagai reportase ekspedisi Arah Singgah 2024 di Papua Barat Daya dan Papua.