Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

<font color=#CC0033>Mengeruk Fulus</font> Proyek Kesehatan

Komisi Pemberantasan Korupsi menelisik kasus korupsi pengadaan alat kesehatan pada Departemen Kesehatan. Sejumlah akal-akalan diciptakan untuk mengerek harga.

1 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ACHMAD Sujudi tentu tak menyangka di masa tuanya kini harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Setelah pensiun sebagai Menteri Kesehatan, ia menyiapkan masa ­tua­nya dengan nyaman: berkebun di ­rumahnya di bilangan Tangerang. Di sana Sujudi menanam sekitar 30 batang pisang. ”Makan pisang itu sehat,” ujarnya kepada Tempo.

Tapi, Rabu dua pekan lalu, ia terkejut saat membaca koran. Komisi menetapkan dia sebagai tersangka korupsi pe­ngadaan alat kesehatan ”jatah” rumah sakit umum daerah wilayah Indonesia timur periode 2003. Sujudi menjadi menteri pada 19992004.

Sebelumnya, Komisi memang sudah­ memeriksa Sujudi tiga kali. Sebagai menteri saat itu, ia dinilai bertanggung ­jawab terhadap pelaksanaan ­peng­ada­an 3.800 unit alat kesehatan bagi rumah sakit daerah tersebut. Keputusan Presiden tentang Pedoman Pelaksana­an Barang dan Jasa Pemerintah menyatakan, persetujuan nilai proyek di atas Rp 50 miliar memang dilakukan menteri.

Sujudi sendiri tidak dengan tangan kosong datang ke Komisi. Ia, misalnya, telah mengembalikan uang Rp 700 juta yang pernah diterimanya. Pengembalian uang fee itu tak hanya dilakukan Sujudi. Menurut juru bicara Komisi, Johan Budi, total duit yang sudah dikembalikan mereka yang diduga terlibat kasus ini Rp 4 miliar.

Selain Sujudi, yang mengembalikan duit adalah dua mantan Direktur Jenderal Pelayanan Medik, Sri Astuti Soe­parmanto dan Ahmad Hardiman, masingmasing Rp 500 juta, serta Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan Dadi S. Argadiredja, sebesar Rp 700 juta. Juga ikut mengembalikan, menurut Johan, sejumlah anggota staf De­partemen Kesehatan. ”Nilainya berkisar ratusan juta,” ujar Johan.

Kasus yang membelit Sujudi berawal dari Proyek Perbaikan Fasilitas Rumah Sakit Umum Daerah Indonesia Timur. Proyek ini menggunakan sumber dana Anggaran Belanja Tambahan 2003. Nah, proyek yang mestinya lewat tender itu diduga ”dimainkan”. Departemen Kesehatan melakukan penunjukan langsung kepada Kimia Farma Trading & Distribution—anak perusahaan PT Kimia Farma untuk menyediakan ribuan alat kesehatan, dari stetoskop hingga meja operasi.

Menurut sumber Tempo, sesungguhnya bukan Kimia Farma yang kemudian mengadakan barang itu. Di sini Kimia menggandeng PT Rifa Jaya Mulia. Rifa itulah yang mengadakan pembelian alatalat kesehatan kepada 10 perusahaan agen tunggal pemegang merek bersama PT Pentavalent.

Menurut sumber yang tahu likaliku proyek tersebut, Kimia Farma menggandeng Rifa lantaran perusahaan ini punya pengalaman dalam proyek semacam itu pada 14 rumah sakit di kawasan timur Indonesia. Karena yang maju ke Departemen Kesehatan PT Kimia Farma, surat dukungan sepuluh per­usahaan penyuplai pun ditujukan kepada Kimia. ”Di sini terjadi sharing produk dan pembagian keuntungan,” ujar sang sumber.

Aksi markup pun terjadi. PT Rifa, ujar sumber itu, menjual semua kebutuhan alat kesehatan tersebut kepada PT Kimia Farma Trading & Distribution senilai Rp 77,3 miliar. Ini sudah termasuk pajak. Sedangkan PT Pentavalent menjual seharga Rp 4,1 miliar. Semua nilai itu sudah termasuk pajak, ongkos kirim, pemasangan, dan pelatihan. Nilai itulah yang kemudian ”digoyang”.

Untuk memuluskan penggelem­bung­an nilai ini, muncul pula nama PT Arun Prakasa Inforindo. Dalam dokumen proyek, perusahaan ini disebut sebagai konsultan perencanaan. Untuk pembia­yaan konsultan ini, uang negara yang mesti dikeluarkan Rp 843 juta. ”Padahal kegiatan konsultasi itu tidak ada,” ujar sang sumber.

Penggelembungan terjadi atas nilai­ yang disodorkan Rifa dan Pentavalent. Dari harga jual kedua perusaha­an ini sebesar Rp 81,4 miliar, Kimia Farma lantas mengklaim ke Departemen ­Ke­sehatan senilai Rp 190,4 miliar (termasuk pajak) atau Rp 170,4 miliar (di luar pajak). ”Jadi nilai markup mencapai Rp 78,1 miliar, bukan Rp 71 miliar seperti di­katakan KPK,” kata sumber Tempo itu.

Tentu saja keuntungan dari ”pembengkakan” itu disetor ke manamana. Sekitar Rp 30 miliar masuk ke kantong sejumlah direktur rumah sakit dan sisanya menggerojok ke sejumlah pejabat Departemen Kesehatan, pejabat Kimia Farma, serta ”panitia” lelang. Sejumlah petinggi Kimia Farma juga sudah diperiksa KPK. Gunawan Pranoto, Direktur Utama Kimia Farma, bahkan sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan sejumlah bukti penyelewengan proyek ini. Menurut Wakil Ketua Bidang Penindakan Komisi, Chandra M. Hamzah, selain terjadi penun­jukan tanpa tender, ada permainan harga dengan cara mengajukan spesifikasi barang yang tidak diperlukan. ”Yang diajukan untuk rumah sakit besar, padahal yang dibutuhkan untuk rumah sakit kecil.”

Komisi juga sudah menetapkan Direktur Utama PT Rifa, Rinaldi Jusuf, sebagai tersangka. Tapi, kendati berstatus tersangka, Rinaldi, Sujudi, dan Gunawan tidak ditahan. ”Karena KPK masih menunggu perhitungan kerugian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,” ujar Johan. Jika ditahan dan hingga waktu penahanan habis prosesnya belum selesai, ujar Johan, para tersangka tersebut bisa bebas.

Dengan alasan kasus tersebut masih berjalan, sejumlah pihak yang terbelit perkara ini memilih tutup mulut jika berhadapan dengan wartawan. Manajer Hubungan Investasi PT Kimia Farma Djoko Rusdianto, misalnya, menolak memberikan keterangan perihal keterlibatan Kimia dalam masalah ini. ”Kami serahkan sepenuhnya ke KPK,” ujar Djoko. Komentar senada diutarakan Kepala Pusat Komunikasi Publik Departemen Kesehatan Lily Sulistyowati. ”Proses hukumnya kan masih berjalan,” katanya.

Adapun PT Arun Prakasa menolak jika kerja sama pada 2003 itu disebut fiktif. Kepada Tempo yang mendatangi kantor perusahaan itu Jumat pekan lalu, Sekretaris Direksi PT Arun, Rini Widiastuti, mengatakan kerja sama yang dilakukan perusahaannya dalam proyek alat kesehatan tersebut bukan akalakalan. ”Kalau fiktif, dari mana membuat laporannya?” ujarnya.

Kasus ini tampaknya bakal ”menggigit” banyak pihak. Menurut Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Didi Widayadi, lembaganya sejak April lalu memang diminta KPK menghitung kerugian negara dalam korupsi alat kesehatan tersebut. ”Sekarang masih proses penghitungan,” kata Didi.

Ramidi, Anton Aprianto, Rini Kustiani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus