Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1 color=brown><B>Kasus Dana BI</B></font><BR />Anwar Nasution Belum Menyusul

Pengadilan memvonis Aulia Pohan dan tiga bekas Deputi Gubernur Bank Indonesia yang terlibat ”kasus dana BI” empat tahun penjara. Nama Anwar Nasution tidak disebut-sebut dalam putusan hakim.

22 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT bekas pejabat penting Bank Indonesia itu duduk berjajar di kursi pesakitan. Mereka Aulia Thantawi Pohan, Maman H. Somantri, Bun Bunan E.J. Hutapea, dan Aslim Tadjuddin. Rabu pekan lalu, dengan khusyuk mereka mendengarkan putusan yang dibacakan secara bergantian oleh lima hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Dua setengah jam kemudian, ketua majelis hakim Kresna Menon mengetukkan palu. Kresna menyatakan keempatnya terbukti melakukan korupsi. ”Menjatuhkan pidana kepada terdakwa satu dan terdakwa dua masing-masing empat tahun enam bulan penjara,” kata Kresna Menon lantang. Yang dimaksud Menon adalah Aulia dan Maman.

Adapun terhadap Bun Bunan dan Aslim, hakim menjatuhkan vonis masing-masing empat tahun penjara. ”Karena peran mereka berbeda-beda, pidana yang dijatuhkan juga berbeda,” kata anggota majelis hakim, Anwar. Selain terkena hukuman penjara, keempatnya diwajibkan membayar denda Rp 200 juta.

Baik Aulia, Maman, Bun Bunan, maupun Aslim serta-merta menolak putusan tersebut. Keempatnya menyatakan banding. ”Sampai saat ini saya merasa tidak bersalah,” kata Aslim. Saat digiring ke luar ruang pengadilan untuk diangkut ke penjara, keempatnya mengunci bibir rapat-rapat. Satu-satunya yang berkomentar saat ditanya wartawan adalah Aulia. ”Saya syok dan menderita,” ujar besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.

Menurut Amir Karyatin, kuasa hukum para terdakwa, kliennya kaget karena sebelumnya menduga vonis yang akan diterima lebih ringan dari tuntutan jaksa. Kepada keempatnya, jaksa menuntut hukuman empat tahun penjara. ”Mereka semua terpukul,” ujar Karyatin.

l l l

INI memang bagian dari ”kasus dana Bank Indonesia” Rp 100 miliar yang menyebar ke mana-mana dan sebelumnya telah menyeret sejumlah anggota Dewan dan petinggi Bank Indonesia lainnya. Semua bermula dari laporan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution kepada Komisi Pemberantasan Korupsi pada November 2006. Kepada Komisi, Anwar menyebut terjadi penyalahgunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia sebesar Rp 100 miliar.

Penggelontoran dana jumbo itu disetujui dalam Rapat Dewan Gubernur pada 3 Juni dan 22 Juli 2003, yang saat itu menyebut untuk kepentingan ”insidental dan mendesak”. Rapat diikuti Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah, Deputi Gubernur Aulia, Bun Bunan, Aslim, dan Roswita Roza selaku notulen. Rapat itu menyetujui supaya yayasan menyisihkan Rp 100 miliar.

Sebulan kemudian, terjadi rapat lagi, yang diikuti Burhanuddin, Deputi Gubernur Senior Anwar Nasution, Aulia, R. Maulana Ibrahim, Bun Bunan, Maman, Aslim, Roswita, Rusli Simanjuntak (Kepala Biro Gubernur), dan Direktorat Pengawasan Intern, Purwantari Budiman. Dalam rapat itu disetujui pembentukan Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PPSK) untuk menarik dan menggunakan dana tersebut.

Dari dana yayasan Rp 100 miliar itu, Rp 68,5 miliar digunakan untuk bantuan hukum lima pejabat Bank Indonesia yang terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Sisanya, Rp 31,5 miliar, ”dialirkan” ke anggota Komisi Keuangan dan Perbankan periode 1999-2004.

KPK lantas turun tangan menelisik skandal itu. Satu per satu mereka yang terlibat masuk tahanan KPK. Rusli Simanjuntak dan Oey (Ketua dan Wakil Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan), anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Hamka Yandhu, dan Antony Zeidra Abidin, kemudian Burhanuddin Abdullah. Adapun yang terakhir dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK, ya, empat orang itu: Aulia, Maman, Bun Bunan, dan Aslim.

Status tersangka terhadap keempatnya dikeluarkan satu jam setelah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, 29 Oktober 2008, menjatuhkan vonis kepada Burhanuddin. Menurut Wakil Ketua KPK, Haryono Umar, cepatnya penetapan Aulia dan kawan-kawan menjadi tersangka karena komisi sudah memiliki bukti keterlibatan mereka. ”Buktinya sudah cukup,” katanya.

Satu-satunya yang lolos dari perkara ini adalah Anwar Nasution. Inilah yang membuat heran Amir Karyatin. Sebab, sebelumnya, dalam putusannya terhadap Burhanuddin, hakim menyebut Burhanuddin melakukan korupsi itu secara bersama-sama, yakni dengan Aulia, Bun Bunan, Maman, Aslim, Oey, Rusli, dan Anwar.

Berbeda dengan putusan terhadap Burhanuddin, dalam putusannya kepada empat mantan Deputi Gubernur BI pekan lalu, hakim tak menyebut nama-nama yang mesti bertanggung jawab. Hanya dalam pertimbangan, hakim mengatakan, ”Semua anggota Dewan Gubernur yang hadir dalam rapat tersebut harus bertanggung jawab.”

Menurut Kresna Menon, tidak disebutnya nama Anwar Nasution karena majelis memfokuskan pada perbuatan empat terdakwa. ”Masa kita mau menilai orang yang tidak diajukan dalam persidangan,” ujarnya. Lagi pula, kata Kresna, majelis telah memasukkan Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang intinya tindak pidana itu dilakukan secara bersama-sama.

Kendati putusan itu tidak menyebut dengan tegas nama Anwar Nasution, Amir Karyatin mengatakan akan menyeret nama Anwar dalam memori bandingnya. ”Perkara ini tidak boleh tebang pilih,” ujarnya.

Menurut Febridiansyah, peneliti hukum Indonesia Corruption Watch, tanpa menyebut nama pun, putusan itu sebenarnya sudah kuat untuk digunakan sebagai bahan penyidikan Komisi. ”Semua yang menyetujui hasil rapat itu harus diproses,” ujarnya. Kendati demikian, Febri mengatakan, tentu ada alasan yang meringankan untuk Anwar. Misalnya, karena membongkar kasus ini.

KPK, ujar Haryono, sampai kini masih mempelajari putusan tersebut. Mengenai dugaan keterlibatan Anwar, Haryono mengatakan, itu masih sebatas informasi dari pengadilan. ”Nanti akan dikembangkan, ada buktinya atau tidak,” ujarnya

Anwar Nasution tak mau mengomentari perihal dirinya yang ”lolos” dalam kasus ini. ”Itu kan soal hukum,” ujarnya. Yang jelas, ujarnya, dia mengaku sudah memerintahkan Bank Indonesia mengembalikan dana yayasan tersebut. Soal namanya yang akan ”diseret” dalam memori banding empat sejawatnya itu, Anwar menjawab santai. ”Ya, biar saja....”

Rini Kustiani

Terpuruk Karena Duit

Perkara duit Bank Indonesia Rp 100 miliar telah mengirim sejumlah mantan petinggi Bank Indonesia dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat ke dalam penjara. Inilah mereka.

Rusli Simanjuntak
Bekas Kepala Biro Gubernur Bank Indonesia

Oey Hoey Tiong
Bekas Direktur Hukum Bank Indonesia

  • Masing-masing dituntut enam tahun penjara.
  • Pengadilan antikorupsi menghukum Rusli empat tahun penjara dan Oey empat tahun.
  • Di tingkat banding, hukuman untuk Rusli menjadi empat setengah tahun dan Oey tiga setengah tahun.

Hamka Yandhu
Bekas Kepala Subkomisi Keuangan Dewan

Antony Zeidra Abdin
Bekas Kepala Subkomisi Perbankan Dewan

Keduanya berperan sebagai perantara antara Bank Indonesia dan sejumlah anggota Komisi Keuangan Dewan periode 1999-2004.

  • Hamka dituntut empat tahun penjara dan Antony enam tahun.
  • Pengadilan memvonis Hamka tiga tahun penjara dan Antony empat setengah tahun.
  • Di tingkat banding, hukuman Hamka tidak berubah, sedangkan Antony menjadi lima tahun penjara.

Burhanuddin Abdullah
Gubernur Bank Indonesia 2003-2008

  • Tuntutan delapan tahun penjara.
  • Pengadilan menghukum Burhanuddin lima tahun penjara. Di tingkat banding, hukuman naik menjadi lima setengah tahun penjara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus