Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUJUH tank berwarna merah jambu yang disusun setinggi delapan meter segera menyergap mata begitu kita memasuki pintu utama National Museum of Singapore. Kendaraan lapis baja yang ditumpuk-tumpuk menyerupai pagoda yang tinggi langsing itu menjulang di tengah rotunda, ruang bundar Museum, di Stamford Road 93, Singapura. Laras mesin perang itu menjurus ke pintu masuk, seakan ingin mengagetkan dan mencegat langkah pengunjung. Tapi lihatlah semua lubang moncongnya berbentuk jantung hati, imut-imut seperti mulut marmut. Apa yang sekiranya akan tersembur dari lubang maut yang terkesan lucu itu?
Itulah Love Tank (The Temple) karya S. Teddy D., perupa dari Yogyakarta. Pertengahan tahun lalu, karya ini dipesan oleh National Museum of Singapore untuk program Art-On-Site. Gagasan ini dirancang oleh lembaga itu sejak tiga tahun lalu. Tujuannya tak lain adalah menciptakan persepsi publik yang lebih provokatif bagi keberadaan museum seni rupa di masa kini. Karya instalasi yang dibuat di Yogyakarta lebih-kurang lima bulan itu dipajang di Museum sejak awal Mei hingga 4 Oktober.
Tank-cinta itu menapak di atas tilas reruntuhan, bongkahan-bongkahan kelabu tak beraturan yang ditata mengikuti keliling rotunda. Puing-puing dari bahan kaca serat itu seakan dengan sedih baru saja diusung dari reruntuk tembok yang belum lama lantak, entah di mana. Gaung keruntuhannya terdengar sayup-sayup…. Menatap Love Tank, bukankah kita diingatkan lagi akan pesan perdamaian generasi bunga awal 1970-an: apakah yang diwariskan oleh perang yang kejam kecuali puing dan reruntuhan? Tidakkah cinta dan perdamaian lebih baik ketimbang perang? Kalau begitu, Love Tank pun kiranya adalah pesan universal yang masih bergayut untuk masa kini.
Memang, seluruh badan wadag tank itu dicat pink. Sebaran motif dedaunan dan bunga-bunga padma dalam berbagai kombinasi warna pink yang cerah menghiasi sekujur sisi. Dedaunan dan kuncup-kuncup mungil tunas padma di bagian bawah berangsur-angsur menjelma jadi kelopak-kelopak yang mekar, bertebaran nun di atas sana, pada pucuk pagoda di bawah kubah langit-langit rotunda. Pemandangan padma yang mekar, seakan terapung-apung di atas reruntuhan setelah melewati tumpukan mesin perang, dapat kita nikmati dari arah balkon. Inilah unsur spiritual-meditatif pada Love Tank. Yang memancar dari sang monster perang bukan lagi sesuatu yang menakutkan, melainkan aura perdamaian dan kasih sayang.
Ya, seakan-akan kita memang diminta untuk mengikuti jalan pradaksina saat berada di tengah candi, guna melengkapi seluruh cerita dan keingintahuan kita. Citra padma pada bangunan suci seperti candi atau pagoda melambangkan padmasana, singgasana para dewa; dari sana, dunia dapat dipandang dan digulirkan.
Delapan bendera berbahan kain sutra dengan motif padma dan titik, karya perupa Caroline Rika Winata dari Yogyakarta, digantungkan di pilar, menyemarakkan karya ini. Karya seni kain ini menggunakan teknik ikat celup. Motif pada kain diperoleh dengan cara merintang warna menggunakan tali, benang, bebiji, dilipat atau digulung dan seterusnya. Inilah paduan antara teknik jumputan dan tritik, yang mengikat biji-biji padma untuk menghasilkan citra titik dan jahit jelujur yang melahirkan pola bunga sebelum dicelup ke dalam warna.
Pada penyamaran bentuk tank ke pagoda dengan penanda-penanda baru itulah terletak kreativitas Teddy. Perupa kelahiran Padang, Sumatera Barat, pada 1970 ini menunjukkan, penting untuk menimbang lagi semua bentuk yang tersedia dengan sudut pandang dan kemungkinan baru. Gagasan membungkus tank dengan spiritualitas Timur menegaskan bahwa strategi atau ”politik permukaan” hanya efektif kalau sang seniman memang cermat mencerap bentuk atau teks demi konteks baru yang dipilihnya.
Memang, ”politik permukaan” tidaklah sejajar dengan karya yang ”melulu permukaan”. Yang pertama menunjukkan adanya dorongan alegoris, hasrat untuk mengatakan sesuatu yang lain, baru, atau mengejutkan dari yang (sudah) ada. Adapun yang kedua tak punya problem wigati apa pun selain menganggit-anggit tampilan, berkisar pada pengulangan klise. Alegori Love Tank adalah hasrat untuk meruwat kembali sang mesin perang, melucuti citra banal kekerasannya, seraya melahirkan kembali sang monster dari benih cinta dan perdamaian. Tapi bukankah Love Tank merepresentasikan juga paduan antara Barat dan Timur, citra lelaki dan perempuan, yang ragawi dan rohani?
Love Tank berawal dari sebuah karya obyek tunggal tank yang dimaksudkan oleh perupanya sebagai kendaraan pengantin pada perhelatan nikah keluarga Dr Oei Hong Djien, Magelang, Jawa Tengah, tahun lalu. Karya itulah yang kemudian menarik perhatian kurator Museum National of Singapore, Tan Boon Hui. Teddy—belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia Surakarta (1990-1992) dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta (1992-1997)—pun diundang dan dibiayai untuk mengerjakan proyek itu lagi buat program Art-On-Site di Negeri Singa.
Karya ini dibuat dari bahan kayu lapis dan kaca serat. Rangkanya besi baja, dan menggunakan cat otomotif untuk pewarnaan. Model tank yang digunakan Teddy adalah M1 Abrams, dikenal sebagai tank pasca-Perang Dingin tercanggih saat ini. Jenis mesin perang berbobot lebih dari 50 ton inilah yang pernah digunakan oleh tentara Amerika Serikat untuk menggempur Irak dalam Operasi Badai Gurun beberapa tahun lalu.
Menurut Teddy, sesungguhnya inspirasi Love Tank pada mulanya adalah lirik lagu karya Iwan Fals. Bunyinya: Andaikata dana perang buat diriku/Tentu kau mau singgah bukan cuma tersenyum…. ”Lirik ini saya interpretasikan, kenapa dana perang yang begitu besar tidak digunakan untuk hal lain seperti pendidikan, kesehatan, penelitian, bahkan kesenian. Saya mempertentangkan perang dan cinta, dan cinta tetap lebih baik,” katanya. Begitulah, karya ini diselesaikan dengan melibatkan 70 orang dan menelan biaya tak kurang dari Rp 450 juta.
Sejak tiga tahun lalu, 15 seniman dari berbagai negara (Singapura, Jepang, Indonesia, dan Korea) memang telah diundang National Museum of Singapore untuk membuat proyek komisi semacam itu. Perupa Indonesia pertama yang karyanya dipilih untuk program ini adalah Eko Nugroho (April-Juni 2008). Eko membuat mural dan patung bertajuk It’s all about Coalition. Setelah itu, karya Surrounding David berwujud patung David berbalut kain brokat warna pink setinggi 8,5 meter, karya Titarubi, muncul di rotunda Museum (Maret-Agustus 2008).
Love Tank karya Teddy adalah pesanan Museum untuk perupa Indonesia yang ketiga terkait dengan program seni publik itu.
Hendro Wiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo