Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sesat Logika Rahasia Negara

22 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agus Sudibyo
  • Koordinator Koalisi untuk Kebebasan Informasi

    TULISAN Andi Widjajanto berjudul ”Rezim Rahasia Negara” (Tempo, 814 Juni 2009) cenderung meng­arahkan publik ke kesimpulan yang sesat. Menurut Andi, Rancangan UndangUndang Rahasia Negara lebih menjanjikan bagi transparansi dan akuntabilitas informasi strategis dibandingkan dengan UndangUndang Keterbukaan Informasi Publik. RUU Rahasia Ne­gara, bagi Andi, merupakan formula untuk menyelamatkan Indonesia dari rezim kerahasiaan sebagai akibat dari kelemahan UU Keterbukaan Informasi Publik.

    Agar tak terjadi pengaburan dan salah paham terhadap RUU Rahasia Negara dan UU Keterbukaan Informasi Publik, diperlukan klarifikasi. Memang benar, UU Keterbukaan Informasi Publik mengandung sejumlah kelemahan. Ruang lingkup pengecualian informasi dalam undangundang ini masih sangat luas dalam bidang perta­hanan dan keamanan, dan tidak tertutup kemungkinan dalam bidangbidang pemerintahan. Pasalpasal penge­cualian informasi UU Keterbukaan Informasi Publik berpotensi digunakan pejabat publik untuk me­nyembunyikan informasi publik dan melakukan klaim rahasia negara secara serampangan, yang mengarah ke praktek rezim kerahasiaan.

    Namun sungguh menyesatkan jika dikatakan bahwa RUU Rahasia Negara adalah formula untuk meng­a­tasi kelemahan itu. Sebuah pemutarbalikan logika jika dikatakan bahwa rancangan undangundang itu adalah solusi untuk menyelamatkan kita dari negara misteri (arcana imperii), antara lain akibat kele­mahan UU Keterbukaan Informasi Publik, karena totalitas RUU Rahasia Negara justru visi negara misteri itu sendiri. Ia hendak melembagakan otoritas aparatus pemerintah yang hampir tak terbatas untuk menerapkan perlindungan maksimum atas kerahasiaan negara.

    Persoalannya, pertama, lingkup rahasia negara dalam RUU Rahasia Negara sangat luas dan elastis. Tidak sebatas pada informasiinformasi strategis, tapi juga mencakup rahasia instansi, rahasia birokrasi, dan seterusnya. Merujuk pada Pasal 6 RUU Rahasia Negara, penetapan jenis rahasia negara tidak berhenti dalam regulasi itu, tapi juga merujuk pada perahasiaan informasi dalam berbagai undangundang lain.

    Kedua, perahasiaan informasi tidak dalam bentuk daftar lengkap sebagaimana dikatakan Andi Widjajanto, tapi dalam bentuk kategorikategori yang masih umum, sumir, tidak melalui uji konsekuensi dan uji kepentingan publik sebagaimana diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik. Penetapannya sangat bergantung pada tafsir pejabat publik. Otoritas untuk menetapkan rahasia negara juga tidak cukup jelas, sehingga bisa jadi setiap level birokrasi berwenang melakukan klaim rahasia negara.

    Hal ini jelas bertolak belakang dengan UU Keterbukaan Informasi Publik. Meski belum sempurna, peraturan ini telah berusaha melembagakan prinsip maximum access limited exemption. Sedangkan RUU itu berusaha menerapkan limited disclosure maximum secrecy. UU Keterbukaan Informasi Publik menempatkan kerahasiaan informasi sebagai subsistem dalam tata kelola informasi pemerintahan. Sedangkan RUU Rahasia Negara menempatkan kerahasiaan informasi sebagai sistem utama tata kelola informasi pemerintahan. Dengan demikian, sungguh aneh jika dibayangkan RUU Rahasia Negara bertujuan mener­tibkan klaimklaim rahasia negara yang sepihak dan membohongi publik sebagaimana sering dilakukan pejabat publik kita. Sebaliknya, RUU Rahasia Negara justru dapat melegitimasi klaimklaim tersebut dan praktis menyuburkan perahasiaan informasi yang menegasikan kepentingan masyarakat.

    Sejumlah intelektual terlibat dalam perumusan RUU Rahasia Negara versi pemerintah, sebagai staf ahli dan semacamnya. Perlu dihargai usaha mereka untuk memberikan masukanmasukan tentang RUU Rahasia Negara yang demokratis dan kompatibel terhadap demokrasi. Namun mereka pasti paham benar bahwa rancangan yang saat ini dibahas bukanlah versi yang telah mereka rumuskan, tidak dalam kuadran demokrasi seperti yang mereka idealkan. RUU Rahasia Negara versi pemerintah bukan pula versi yang lazim di negaranegara demokrasi, sebagaimana selalu mereka kutip sebagai legitimasi pengesahan. Dalam konteks inilah dibutuhkan kejujuran sebagai bagian dari keutamaan intelektual.

    Sungguh disayangkan pula jika akhirnya keterlibatan mereka menjadi keterlibatan simbolik formalistik semata, tanpa benarbenar dapat mengubah cara pandang pemerintah tentang isuisu kerahasiaan dan keterbukaan informasi. Pemerintah tidak sepenuhnya menerima masukan ideal para intelektual, tapi pemerintah benarbenar memaksimalkan keterlibatan mereka sebagai sumber legitimasi atas RUU Rahasia Negara. Seolaholah, dengan begitu, rancangan ini secara akademik dapat dipertanggungjawabkan dan penyusunannya melibatkan unsur masyarakat. Persoalannya, unsur masyarakat ­seperti apa?

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus