Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUNUNG kayu itu menjelma menjadi rimbunan gulma setinggi setengah badan orang dewasa. Tak terlihat ada kayu membusuk, begitu pula jejak angkutan. Tumpukan log yang mestinya 7.000 meter kubik di areal Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, Riau itu tinggal separuh yang belum menjadi semak.
Sepertinya sudah lama sisa kayu sitaan dari PT Tenaga Kampar ini tak dijaga. Pita polisi yang dililitkan tiga tahun silam pun hilang. Menyusutnya volume kayu itulah yang membikin Kejaksaan Tinggi Riau sewot. Pada Rabu dua pekan lalu, berkas penyidikan kasus PT Tenaga Kampar dikembalikan ke polisi untuk yang kedua belas kalinya.
”Barang buktinya nggak cocok dengan berita acaranya,” ujar Darbin Pasaribu, juru bicara Kejaksaan Tinggi Riau, kepada Tempo. ”Padahal kami sudah P-22 (kejaksaan mengambil alih penyidikan). Tetap saja terganjal barang bukti yang dibilang hanyut, hilang, atau membusuk.”
Kasus PT Tenaga Kampar adalah satu dari 203 perkara pembalakan hutan yang dibongkar Kepolisian Daerah Riau. Di dalamnya terdapat 258 tersangka. Ada pejabat, cukong, direktur perusahaan, sopir truk, pekerja lapangan, sampai konsultan lingkungan. Belum satu pun dijebloskan ke tahanan.
Polisi memang baru menyetorkan 19 hasil penyidikan ke kejaksaan dan semuanya dikembalikan. Selain karena barang bukti, alasan penolakan kejaksaan karena hampir semua tersangka tak jelas peranannya. ”Kalau dipaksakan, nanti menjadi blunder di pengadilan. Ingat kasus Adelin Lis,” kata Darbin. Adelin adalah terdakwa penggundulan hutan di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, yang diputus bebas Pengadilan Negeri Medan, November tahun lalu.
Menurut Darbin, yang kira-kira membuat perkara PT Tenaga Kampar berpotensi mental di pengadilan adalah penyidikan polisi yang banyak kekurangannya. Ia mencontohkan barang bukti berupa hasil lelang 3.778 meter kubik kayu senilai Rp 1,4 miliar. Padahal dalam berita acara pemeriksaan tertera 7.000 meter kubik kayu bulat dan 5.000 meter kubik kayu olahan. Harganya ditaksir Rp 9 miliar. ”Sisanya ditaruh di mana, dibawa pergi ke mana, tak disebutkan.”
Juru bicara kepolisian Riau, Ajun Komisaris Besar Zulkifli, menilai kejaksaan tak memahami berkas penyidikan polisi. Setelah disita dan diberi pita polisi, menurut Zulkifli, kayu itu dititipkan ke pemilik kayu, PT Tenaga Kampar. Barang bukti itu hilang sebelum lelang digelar. ”Pemiliknyalah yang harus bertanggung jawab,” ujar Zulkifli.
Kayu ilegal sitaan kepolisian Riau tak hanya milik PT Tenaga Kampar. Berkilometer gunungan kayu di hutan Kabupaten Indragiri Hilir, Kampar, Rokan Hulu, Rokan Hilir, hingga Kabupaten Siak, diamankan Brigadir Jenderal Sutjiptadi, Kepala Kepolisian Daerah Riau, yang menabuh genderang perang melibas pembalak hutan sejak Februari tahun lalu.
Sedikitnya 14 perusahaan diduga terlibat. Mereka menebang habis hutan alam yang menjadi wilayah konsesinya (izin areal hutan tanaman industri). Padahal izin yang dikantongi bukan penggundulan hutan alam, melainkan hutan semak belukar, hutan alang-alang, atau hutan yang potensi kayunya hanya berdiameter 10 sentimeter dan volumenya tak lebih dari lima meter kubik per hektarenya.
Nah, masalah izin inilah yang menyulut polemik hukum. Pengusaha hutan keberatan kayunya disita, karena telah membayar cukai sewaktu memperoleh izin. Dalih polisi, perusahaan pemilik izin cenderung seenaknya membabat hutan. Kayu berdiameter di atas 30 sentimeter, yang seharusnya dibiarkan hidup, ikut ditebas.
Adapun alasan kejaksaan menolak berkas karena belum dilengkapi keterangan saksi yang menerbitkan izin, yaitu kepala daerah. Polisi memang kesulitan mendapat keterangan kepala daerah. Beberapa bupati dan seorang gubernur yang dibidik untuk diperiksa belum direstui Istana.
Mereka adalah Bupati Indragiri Hulu, Raja Thamsir Rachman; Bupati Pelalawan, Tengku Azmun Jaafar; Bupati Indragiri Hilir, Indra Adnan Muchlis; Bupati Rokan Hilir, Anas Makmun, Bupati Siak, Arwin; dan Gubernur Riau, Rusli Zainal. Merekalah yang menebar izin konsesi. Syarat untuk bisa memeriksa mereka harus ada izin Presiden.
Sudah setahun lebih sengketa hukum kayu Riau belum ada tanda kapan selesai. Tim bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dikoordinasi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S., tak banyak membantu.
Menurut sumber Tempo, tim ini sebetulnya sudah menyusun formula penyelesaian. Salah satunya menawarkan pemanfaatan kayu sitaan dan non-sitaan kepada pemilik. Caranya, pemilik kayu membayar uang jaminan, yang besarnya ditentukan oleh tim penaksir dari Departemen Kehutanan.
Sumber itu mencontohkan, jika kayu sitaan yang hendak dimanfaatkan kerusakannya mencapai 70 persen, uang jaminan yang harus dibayar sebesar 30 persen dikalikan harga patokan pasar. ”Opsi ini disepakati dalam rapat, yang nantinya dipakai barang bukti di pengadilan,” tutur sumber tersebut.
Tapi ide ini tak didukung Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan ketika dimintai fatwa. Syarat pemanfaatan kayu ilegal harus melalui lelang. Karena sudah menjadi kesimpulan rapat, tim penaksir tetap diterjunkan. Di lapangan tim terbentur sikap kepolisian Riau yang tak mau ”kompromi”.
Budi Utomo, ketua tim pelaksana penyelesaian kayu ilegal Riau, membenarkan bahwa kesimpulan tim bentukan Presiden sulit dipraktekkan. ”Kendalanya ada di instansi teknis,” katanya kepada Tempo. Padahal, menurut Budi, tak mudah menjerat pembalak dengan Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup.
Menurut mantan Kepala Kepolisian Daerah Papua ini, perusahaan pengelola hutan hampir semuanya mengantongi izin. ”Selama saya jadi polisi, tuntutan pidana melalui Undang-Undang Lingkungan Hidup selalu mental dalam kasus illegal logging,” ujar Budi, yang kini menjabat Deputi V Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Pendapat Budi boleh jadi sudah didengar oleh jajaran kepolisian Riau. Tapi Sutjiptadi dan anak buahnya maju terus. Belum semua kayu gelondongan ilegal disita dari tangan pembalak. ”Operasi belum dihentikan,” ujar Sutjiptadi dalam setiap kesempatan.
Hasilnya, sepanjang April lalu polisi Riau menemukan timbunan kayu ilegal di tiga lokasi, yaitu di Gunung Sari, Kabupaten Kampar; di Sungai Ara, Kabupaten Pelalawan; dan Sungai Gelanggang di Desa Mentulik, Kampar. Volumenya mencapai 11 ribu meter kubik. ”Tak ada yang mengaku sebagai pemilik,” ujar komandan tim khusus illegal logging kepolisian Riau, Ajun Komisaris Besar M.Z. Muttaqien.
Karena sikapnya yang tak kenal kompromi inilah bintang di pundak Sutjiptadi bertambah. Berdasarkan berita telegram Kepala Kepolisian Jenderal Sutanto, Kamis pekan lalu, ia naik jabatan menjadi Gubernur Akademi Kepolisian, dengan pangkat inspektur jenderal. ”Saya siap bertugas di mana saja,” katanya. Posisinya digantikan Brigadir Jenderal Hadiatmoko, yang sebelumnya Direktur Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Riau, Johny Setiawan Mundung, khawatir bahwa penggantian Sutjiptadi bakal menyebabkan kasus kayu Riau macet total. Ini cermin pemerintah tak becus menyelesaikan kasus kayu Riau. ”Percuma, meski Presiden membentuk tim,” ujarnya.
Menurut Direktur Riau Sosio Audit, Zukirman, hambatan utama proses hukum kayu ilegal adalah tidak adanya kesamaan agenda antara kepolisian dan kejaksaan. ”Mereka memiliki dalih pembenaran sendiri,” katanya. ”Padahal masyarakat hanya memahami bahwa pembalak harus dihukum.”
Elik Susanto, Jupernalis Samosir (Riau)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo