Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=2>Undang-Undang Perfilman</font><br />Gunting Sensor Tetap Bergerak

Mahkamah Konstitusi menolak pencabutan pasal-pasal yang berkaitan dengan sensor film. Sejumlah sineas akan menerapkan sistem klasifikasi film di lingkungan mereka sendiri.

5 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUTRADARA film Riri Riza memilih mengalah. Siang itu, di gedung Mahkamah Konstitusi, bersama-sama sejumlah rekannya, antara lain sutradara Mira Lesmana, ia berencana membuat konferensi pers. Puluhan wartawan sudah berkumpul. Mereka ingin mendengar pernyataan sutradara muda ini perihal putusan yang baru beberapa menit sebelumnya diketuk Mahkamah Konstitusi.

Tapi, belum lagi acara itu digelar, puluhan anggota Front Pembela Islam datang menghadang. Mereka mengepung Riri dan rekan-rekannya, berteriak-teriak meminta acara jumpa pers tidak dilakukan. ”Jangan demonstrasi di sini,” teriak seorang di antaranya dengan lantang.

Para sutradara muda itu tidak melakukan perlawanan. Mereka memilih mengalah, pergi ke lantai dua. Di situ, di sebuah sudut ruang, para wartawan memberondong Riri dengan berbagai pertanyaan seputar ditolaknya gugatan meminta Lembaga Sensor Film dibubarkan.

l l l

RABU pekan lalu, sidang putusan yang berlangsung di gedung Mahkamah Konstitusi itu memang rada istimewa. Para tamu yang datang ke ruang sidang bukan hanya artis, sutradara, dan pengamat film, melainkan juga puluhan anggota Front Pembela Islam. Hari itu Mahkamah akan memutuskan permohonan uji materi yang diajukan Riri dan sejumlah rekannya. Kepada Tempo yang menemaninya berangkat ke gedung Mahkamah Konstitusi, sebelumnya Riri menyatakan pesimistis gugatannya diterima.

Ramalan Riri terbukti. Mahkamah menolak gugatan yang mereka ajukan. Menurut Mahkamah, Lembaga Sensor Film tetap konstitusional sepanjang pelaksanaannya tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.

Kendati demikian, dalam soal keberadaan Undang-Undang Perfilman itu, para hakim sepakat undang-undang tersebut perlu diperbaiki. ”Undang-undang ini, termasuk ketentuan yang mengatur soal sensor, sudah tak sesuai dengan semangat zaman,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. Begitu Jimly selesai membacakan putusannya, puluhan anggota Front Pembela Islam yang berada di balkon berteriak, ”Allahu Akbar....”

Keputusan para hakim pengawal konstitusi ini tak bulat. Hakim Laica Marzuki memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Dia menegaskan Lembaga Sensor harus dibubarkan. Menurut Laica, lembaga ini telah menghalangi hak setiap orang mengeluarkan pikiran, baik dengan lisan maupun tulisan. ”Bumi tidak bakal berhenti beredar tatkala Lembaga Sensor Film dibubarkan,” ujarnya.

Urusan sensor film inilah yang digugat para penggiat film yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia. November lalu, Riri bersama beberapa anggota Masyarakat Film Indonesia lainnya, Annisa Nurul Shanty (artis), Nia Dinata, Direktur Jakarta International Film Festival Lalu Rois Amriradhiani, dan sutradara Tino Saroenggallo, meminta Mahkamah melakukan uji materi terhadap Undang-Undang Perfilman (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992).

Kelimanya meminta pasal 1, pasal 33, pasal 34, pasal 40, dan pasal 41 yang berkaitan dengan sensor dirontokkan. Pasal-pasal itu, menurut mereka, bertentangan dengan hak konstitusional, melanggar Pasal 28 Undang-Undang Dasar yang mengatur kebebasan berekspresi. Jika pasal ini dicabut, otomatis Lembaga Sensor Film bakal hilang pula.

Para sineas menuding kewenangan lembaga ini kelewatan. ”Mereka bertindak otoriter,” ujar Riri. Sejumlah filmnya, Kuldesak, Tiga Hari Mencari Cinta, dan Gie, pernah berurusan dengan lembaga ini. Adegan ciuman dalam film Gie, film tentang kehidupan tokoh mahasiswa Soe Hok Gie, misalnya, digunting Lembaga Sensor Film dengan alasan menimbulkan nafsu. ”Padahal ada hal lain yang ingin diperlihatkan di situ,” kata alumnus Media Arts Department, Royal Holloway University, Inggris, ini.

Sutradara Tino Saroenggalo juga punya pengalaman buruk dengan film dokumenternya, The Student Movement in Indonesia. Salah satu adegan dalam film yang bercerita tentang aksi-aksi mahasiswa pada 1998 itu, seorang tentara yang menendang seorang mahasiswa yang terkapar, dilibas gunting Lembaga Sensor Film. ”Dengan pemotongan tersebut, penonton tak akan pernah tahu mahasiswa itu masih hidup atau sudah meninggal,” katanya.

Digelar sejak awal tahun lalu, sejumlah saksi ahli dipanggil untuk dimintai komentar perihal keberadaan Lembaga Sensor Film. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, misalnya, tetap mendukung adanya lembaga ini. ”Kalau pemohon tidak puas dengan kinerja Lembaga Sensor Film, seharusnya pemohon berkoordinasi dengan lembaga itu agar aspirasi mereka tertampung,” ujarnya.

Pakar hukum Nono Anwar Makarim punya pandangan berbeda dengan Jero Wacik. Menurut Nono, yang juga tampil sebagai saksi ahli, Lembaga Sensor Film berpotensi menjadi lembaga yang sangat berkuasa. Ada empat kunci dalam pengertian sensor yang bisa membuat Lembaga Sensor Film sangat kuat: mengantongi kewenangan, yakni meneliti, menilai, menentukan, sekaligus meniadakan. Kewenangan seperti ini, kata Nono, bagaikan pengadilan dengan satu pihak penentu keputusan tunggal. ”Saya tak setuju ini yang menentukan Lembaga Sensor Film,” katanya.

Kendati beragam saksi dan contoh film yang disensor dihadirkan, kenyataannya delapan dari sembilan hakim konstitusional beranggapan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 itu tak bertentangan dengan konstitusi. ”Kami bersyukur. Seandainya saja Lembaga Sensor Film itu dibubarkan, berarti kita kembali ke masa hutan belantara lagi,” kata Ketua Lembaga Sensor Film Titi Said. Menurut Titi, lembaganya tetap tidak memberi toleransi terhadap film-film yang dinilai melanggar kesusilaan dan moralitas.

Kendati upayanya merontokkan Lembaga Sensor Film gagal, Riri Riza menyatakan ia dan para sineas lainnya akan tetap menerapkan sistem klasifikasi film dalam lingkungan mereka. Sistem ini dinilainya lebih tepat ketimbang yang dilakukan lembaga tersebut. ”Ini akan jadi kode etik sendiri untuk memberikan atribut pada setiap film yang akan kami produksi,” katanya.

L.R. Baskoro, Sahala Lumbanraja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus