Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agar Tidak Salah Alamat

Pelemahan nilai dolar yang terus-menerus bisa memicu kenaikan harga minyak mentah dunia hingga US$ 200 per barel. Pemerintah tidak punya banyak pilihan. Inflasi bisa dua digit.

5 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARGA minyak dunia kini tak ubahnya seperti bola liar. Pergerakannya kerap membuat para analis geregetan karena prediksi yang dibuat sering kali meleset. Saking sukarnya ditaksir, Presiden Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) Chakib Khelil pun memberi peringatan: harga minyak bisa saja menyentuh US$ 200 per barel.

Pemicunya bukan karena susutnya pasokan atau naiknya permintaan, tapi juga akibat merosotnya nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap mata uang negara lain. ”Setiap kali dolar jatuh satu persen, harga minyak naik empat persen,” kata Khelil seperti dikutip harian El-Moudjahid di Aljazair, Selasa pekan lalu.

Pernyataan Khelil, kata Gubernur Organisasi Negara Pengekspor Minyak untuk Indonesia, Maizar Rahman, merupakan sinyal agar Amerika menstabilkan nilai dolarnya. Soalnya, sejak akhir September lalu, nilai tukar dolar terhadap euro kelojotan setelah harga minyak menembus US$ 80 per barel untuk pertama kalinya. Saat itu, satu euro setara dengan US$ 1,4092. Padahal sebelumnya satu euro masih berkisar di level US$ 1,300.

Keperkasaan mata uang 15 negara Eropa itu berlanjut dua pekan lalu saat nilainya menembus US$ 1,6010. Harga minyak di Bursa Komoditas New York langsung menggapai US$ 120 per barel. ”Tanpa kejatuhan nilai dolar, harga minyak seharusnya tidak sampai pada titik seperti sekarang,” kata Khelil, yang juga Menteri Energi Aljazair.

Harga dolar yang terseok-seok itu imbas dari ekonomi Amerika yang sedang morat-marit. Sejak pertengahan tahun lalu, pasar keuangan Negeri Abang Sam tercabik-cabik oleh krisis kredit hipotek di sektor perumahan. Total kapitalisasi surat utang di pasar perumahan itu, menurut Mortgage Bankers Association di Washington, mencapai US$ 6 triliun (Rp 55.555 triliun).

Sayangnya, upaya Bank Sentral Amerika (The Federal Reserve) empat kali menurunkan suku bunga dari September 2007 hingga Januari lalu—dari 5,25 persen ke 2,25 persen—hanya sesaat dampaknya. Rendahnya suku bunga, kata Stephen Schork, penerbit The Schork Report—newsletter soal industri energi—justru mengantarkan keterpurukan dolar, yang buntutnya menaikkan harga minyak.

Instrumen investasi di Amerika tak lagi menarik karena dolar terus melorot. Nilai aset di pasar finansialnya ambruk. Investor berbondong-bondong mengalihkan dananya. Ada yang menyimpannya di Eropa dan Asia karena suku bunga yang lebih tinggi. Tak sedikit yang lari ke pasar komoditas, termasuk minyak, demi menutup kerugian yang didera. ”Banyak dana gentayangan cari tempat yang lebih mapan,” kata Anton Gunawan, ekonom Bank Danamon.

Sebagai ladang investasi yang menguntungkan, Khelil mensinyalir aliran dana yang masuk ke minyak itu sangat signifikan. Inilah yang mendorong harga emas hitam terus bergolak. Aksi ambil untung para spekulan minyak pun tak terelakkan. Apalagi kepanikan—sekaligus harapan memperoleh cipratan dari harga minyak—sudah menjangkiti pelaku pasar saat nilainya menyerempet US$ 80 per barel.

Pengamat perminyakan Kurtubi menguatkan dugaan itu. ”Banyak yang beli minyak hari ini, besok dijual lagi,” katanya. Yang diperjualbelikan secarik kertas yang menunjukkan seseorang memiliki minyak dalam jumlah tertentu. Dalam satu hari, penjualan lewat paper market itu bisa mencapai puluhan kali lipat ketimbang perdagangan riil. ”Kertasnya sudah berulang kali diperjualbelikan, barangnya masih ngendon di pelabuhan,” katanya.

Perburuan minyak memang tak pernah surut. Apalagi pelemahan nilai dolar masih bisa berlanjut. Salah satu pemicunya, kata ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Chatib Basri, program kebijakan stimulus fiskal yang dilakukan Amerika sendiri. Departemen Keuangan Amerika telah menalangi US$ 150 miliar dalam bentuk potongan pajak untuk menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Tapi, di sisi lain, langkah itu justru meningkatkan defisit neraca perdagangan, sehingga dolar ikut melemah.

Defisit perdagangan triwulan pertama Amerika US$ 495,9 miliar. Adapun defisit anggarannya tahun ini diperkirakan menyentuh US$ 357 miliar, naik US$ 195 miliar dari defisit tahun sebelumnya. Baru tahun depan, defisit anggaran negeri itu turun menjadi US$ 207 miliar. Pada akhir tahun, proyeksi pertumbuhannya 1,3 persen, dengan tingkat inflasi empat persen.

Untungnya, ekonomi Amerika tumbuh 0,6 persen pada triwulan pertama. Angka ini di luar ekspektasi karena para analis menduga pertumbuhan di tiga bulan pertama bakal minus. ”Kekhawatiran akan resesi yang lebih dalam sedikit-banyak mulai menipis,” ujarnya.

Demi mendorong laju pertumbuhan, The Fed—sebutan buat Bank Sentral Amerika—kembali memangkas suku bunga menjadi dua persen pekan lalu. Inilah suku bunga terendah sejak empat tahun lalu.

Pemotongan kali ini diharapkan bisa menekan harga minyak, meski hal itu bergantung pada bagaimana dolar bereaksi. ”Bila dolar terapresiasi, harga minyak akan bergerak turun,” kata Stephen Schork. The Fed berharap penurunan harga minyak bisa mengurangi tekanan inflasi.

Hasilnya, nilai tukar dolar atas euro menguat. Setidaknya hingga Jumat pekan lalu, nilainya bercokol di posisi 1,5402. Harga minyak juga sempat turun ke kisaran US$ 112 per barel. Tapi faktor geopolitik kembali jadi pengganjal. Kabar bahwa pasukan Turki menyerang pemberontak Kurdi membuat harga minyak kembali melambung menjadi US$ 116,32 per barel pada perdagangan Jumat.

Farial Anwar, analis pasar uang, mengatakan menguatnya nilai dolar karena pelemahan mata uang ini tidak sehebat dulu. Bahkan, menurut dia, kejatuhan dolar sudah berada di batas bawah sehingga sulit menembus angka yang lebih rendah. ”Malah sudah ada kecenderungan sewaktu-waktu dolar bisa kembali bangkit,” ujarnya.

Itu sebabnya, ia menilai tidak mungkin harga minyak bergerak ke arah US$ 200 per barel di akhir tahun bila faktor pemicunya semata-mata pelemahan nilai dolar. ”Kemungkinan ke arah sana relatif terbatas,” ucapnya. Kalaupun sampai tembus ke posisi tersebut, pemicunya pasti faktor geopolitik atau ulah spekulan di bursa komoditas.

Anton Gunawan punya pandangan serupa. Menurut dia, angka US$ 200 per barel itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Tapi kemungkinan pergerakan harga ke arah sana tetap ada. Soalnya, faktor geopolitik dan ulah spekulan kian besar pengaruhnya. Dua faktor ini, kata Anton, paling sulit diprediksi.

Di sisi lain, ia melihat masih ada ruang buat dolar menguat hingga akhir tahun. Ia memperkirakan The Fed masih akan memangkas suku bunga menjadi 1,5 persen hingga akhir tahun. Bila skenario itu yang diambil, Anton yakin sentimen bisnis di Amerika membaik pada kuartal keempat. ”Sehingga dolar akan menguat lagi,” katanya.

Keraguan juga datang dari unsur pemerintah. ”Kalau sampai setinggi itu, kelihatannya tidak mungkin,” kata Direktur Perencanaan Makro Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Prijambodo.

Bambang mengutip prediksi Badan Energi Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa rata-rata harga minyak tahun ini hanya akan mencapai US$ 101 per barel, bahkan bisa turun menjadi US$ 96 per barel pada 2009. ”Harga minyak ada titik jenuhnya,” ujarnya.

Kalaupun menembus US$ 200 per barel, Kepala Riset Danareksa Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan kondisi itu tidak akan terjadi pada tahun ini. Analis dari CIBC World Markets memprediksi harga minyak menyentuh US$ 200 per barel pada 2012.

Sementara itu, kenaikan harga minyak, kata Yudhi, ada batasnya. Sebab, harga minyak yang terus melejit akan membuat ekonomi dunia mengalami perlambatan. Saat itulah permintaan akan minyak menurun sehingga harganya jatuh. Tapi Yudhi tidak tahu kapan hal itu akan terjadi. ”Pada level berapa harga minyak akan membuat dunia mengalami resesi pun sulit diprediksi,” katanya.

Bilapun terus naik, Kurtubi menaksir harga minyak di akhir tahun paling tinggi US$ 140 per barel. Itu sebabnya, ia mengatakan pemerintah harus terus membuka wacana menaikkan harga bahan bakar minyak. Kenaikan harga bahan bakar hingga 30 persen, kata dia, masih bisa ditoleransi asalkan arus barang diperlancar untuk menekan dampak inflasi.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008, pemerintah mematok asumsi harga minyak US$ 95 per barel. Harga minyak mentah Indonesia kini sekitar US$ 103 per barel. Bila pemerintah tidak menaikkan harga minyak, subsidi bisa bengkak jadi Rp 200 triliun—sedangkan yang dipatok di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008 hanya Rp 126,8 triliun. ”Saya tidak melihat pemerintah punya banyak pilihan,” kata Chatib Basri.

Bila harga bahan bakar tetap tidak naik, Chatib mengkalkulasi, inflasi bisa lebih dari 10 persen. Pertumbuhan bisa lebih rendah 0,2-0,3 persen dari asumsi 6,4 persen yang ditetapkan pemerintah. Defisit anggaran terhadap produk domestik bruto mungkin akan di atas tiga persen. Ini peringatan buat pemerintah. Jika kebijakan menangani kenaikan harga minyak ini salah alamat, dampaknya bisa lebih ruwet.

Yandhrie Arvian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus