ANCAMAN di laut tak hanya gelombang pasang atau angin topan - yang segala akibatnya tak bisa dituntutkan kepada siapa pun. Juga polusi. Dan yang terakhir ini, bila disebabkan oleh minyak yang tumpah dari kapal pengangkutnya ada aturan ganti ruginya. Dua konvensi, yang diberlakukan lebih dari 10 tahun lalu, menetapkan besar ganti rugi yang dibayarkan kepada negara "pemilik" laut itu: besar seluruhnya maksimum US$ 61 juta. Namun, ganti rugi yang berasal 14,5 juta dari pemilik kapal dan perusahaan minyak (Konvensi Pertanggungiawaban Sipil 1969) serta 47 juta dolar dan kontribusi negara anggota Dana Internasional (Konvensi Dana Internasional 1971) kini diangap tak memadai lagi. Maka, pekan lalu, serama dua hari, 36 ahli dari 11 negara anggota Komite Konsultatif Ahli Hukum Asia Afrika (Asian African Legal Consultative Committee AALCC) berembuk di Jakarta, guna merumuskan kesatuan pendapat untuk mengubah tarif ganti rugi itu. Ini perlu dilakukan karena, betapa pun, yang berhak menubah tarif di kedua konvensi itu adalah sidang pleno Organisasi Maritim Internasional (IMO). Adalah organisasi ini - yang akan bersidang mulai 30 April mendatang di London - yang dulu mengesahkan pemberlakuan konvensi tadi, ketika ia masih beranggotakan 54 negara. Mereka terbagi dalam grup-grup, misalnya Grup Asia-Afrika, Eropa Barat, dan Skandinavia, yang masing-masing punya kepentingan dalam konvensi itu. Indonesia sendiri, yang masuk grup Asia Afrika, baru menandatangani kedua konvensi tadi pada 1978. Beranggotakan 27 negara, grup ini memutuskan perlunya peninjauan isi kedua konvensi pada sidang pleno, Mei 1983, di Tokyo. Pertemuan di Jakarta dicanangkan sebagai rembuk akhir mereka sebelum usul perubahan konvensi itu dibawa ke sidang pleno IMO. Banyak negara, menurut Mr. B. Sen, Sekretaris Jenderal AALCC, menginginkan perubahan tarif ganti rugi itu. "Dalam pertemuan AALCC saja, usul kenaikan tarif itu dimintakan antara 100 dan 250 juta dolar," katanya kepada TEMPO, seusai pertemuan. Menurut Menteri Kehakiman Ali Said, Indonesia termasuk di antara negara yang mengusulkan penyempurnaan isi konvensi, termasuk yang menyangkut tarif ganti rugi. "Usul itu sudah diterima para ahli hukum Asia-Afrika, karena sejalan dengan cita-cita negara-negara di kawasan ini," katanya, ketika membuka pertemuan yang baru pertama kalinya diselenggarakan di Indonesia itu. Tapi, tentu saja Ali Said tak membeberkan berapa besar tarif baru yang diinginkan Indonesia. Maklum, sebagai negara yang sekaligus terlibat dalam tiga kegiatan yang berkepentingan dalam konvensi itu - yakni sebagai pemilik laut, pemilik kapal, dan penjual minyak - posisi. Indonesia memang bisa disebut sulit. "Paling tidak, harus berpikir untuk jangka waktu 10 tahun mendatang, agar kelak tak dirugikan," kata Profesor St. Munajat Danusaputro, Staf Ahli Menteri Kehakiman, yang memperkuat delegasi Indonesia. Munajat terus terang memperkirakan, pada 10 tahun mendatang posisi Indonesia akan jauh berubah dari sekarang. "Armada tanker Pertamina tambah besar, dan produksi minyak juga akan bertambah," ujarnya. Nah, jika armada dan minyak itu sering-sering mencemarkan laut di banyak tempat, sementara tarif dinaikkan, "kita bisa repot," kata Munajat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini