Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tujuh tahun yang lalu advokat senior Adnan Bahrum Nasution atau dikenal sebagai Adnan Buyung Nasution tutup usia. Pengacara kondang ini meninggal di Rumah Sakit Pondok Indah dan disemayamkan di rumahnya Poncol Lestari Nomor 7 Lebak Bulus Jakarta Selatan, pada 23 September 2015. Ia meninggal karena mengalami gagal ginjal, penyakit ini ia dapat karena sering mengonsumsi obat darah tinggi dan hemodialisis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buyung, adalah sapaan akrab yang diberikan teman-temannya. Adnan dilahirkan di Jakarta 20 Juli 1934. Dikutip dari lk2fhui.law.ui.ac.id, ia menempuh pendidikan di bidang teknik sipil Institut Teknologi Bandung ITB selama satu tahun, dan pindah ke UGM mengambil bidang hukum, Ekonomi, dan Sosial, tak lama setelah itu pindah lagi ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan di Universitas Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dibalik keberhasilannya ia pun memiliki masa susah di mana saat umur 12 tahun ia hidup bersama adiknya di pasar loakan Yogjakarta, ibunya berjualan es cendol. Sementara bapaknya berjuang melawan Belanda dari 1947 – 1948. Ayahnya juga merupakan pejuang reformasi sekaligus pendiri kantor berita Antara dan Harian Kedaulatan Rakyat. Disamping itu R. Rachmat Nasution, ayah Adnan merintis The Time of Indonesia.
Untuk menunjang pendidikannya ia melanjutkan sekolah dengan mengambil gelar master International Law di The University of Melbourn, Australia, dilanjutkan dengan meraih gelar doktor di Rijksuniversiteit Utrecht Belanda.
Ia memulai karirnya di bidang hukum sebagai seorang jaksa di Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta sejak tahun 1957 – 1961. Adnan juga memiliki peran penting dalam hukum di Indonesia. Ia menjadi pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Banyaknya prestasi dan pemikiran cerdas terkait penegakan keadilan dan Hak Asasi Manusia terbukti dengan LBH yang didirikannya. Perjuangan Adnan Buyung Nasution ini merupakan tonggak dalam melawan ketidakadilan di Indonesia.
Mendirikan LBH
Gagasan mendirikan LBH merupakan refleksi ketika Buyung menjalankan persidangan. Menurut Buyung, para terdakwa selalu pasrah menerima dakwaan. Melihat itu, Buyung beranggapan mereka butuh pembela. Namun, ide tersebut baru dapat dia realisasikan setelah dia melanjutkan belajar hukum di Universitas Melbourne.
Di kampus itu, Buyung belajar tentang pola, model, dan bentuk lembaga hukum. Setelah membekal ilmu dari Australia, Buyung kemudian membagikan idenya itu kepada Kepala Kejaksaan, Agung Soeparto. Namun menurut Agung Soeparto, ide tersebut belum waktunya direalisasikan.
Mendapatkan tanggapan itu, Buyung semakin terpacu untuk mendapatkan banyak persetujuan. Lantas dia pun mencoba mendekati banyak petinggi hukum, seperti Yap Thiam Hien, Lukman Wiryadinata, dan Ali Moertopo. Melalui Ali Moertopo inilah ide mendirikan Lembaga Bantuan Hukum sampai di telinga Presiden Soeharto.
Tak berselang lama, Buyung akhirnya mendapatkan persetujuan dan dukungan dari pemerintah. Tak hanya dari Soeharto, Buyung juga mendapat dukungan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin. Setelah mendapat banyak dukungan, Buyung kemudian mendirikan LBH yang diidamkannya itu. Lembaga Bantuan Hukum resmi didirikan pada 28 Oktober 1970. Buyung sendiri yang menjadi ketuanya kala itu. Pada acara peresmian, Buyung juga mendapatkan bantuan berupa 10 skuter dari pemerintah.
Selama masa hidupnya, Adnan Buyung Nasution dikenal sebagai pengacara senior yang handal. Berkat pria yang selalu tampil necis dan jambul rambut perak, kini LBH banyak didirikan di Indonesia sebagai lembaga hukum independen dalam membantu kaum lemah menghadapi berbagai proses hukum.
Riwayat Pekerjaan Adnan Buyung Nasution
- 2007-2009: Anggota Dewan Pertimbangan Presiden
- 1981-1983: Ketua Umum YLBHI
- 1977: Ketua DPP Peradin
- 1970-1986: Direktur/Ketua Dewan Pengurus LBH
- 1969-sekarang: Advokat atau Konsultan Hukum Adnan Buyung & Associates
- 1966-1968: Anggota DPRS atau MPRS
- 1966 : Ketua KASI (Kesatuan Gerakan Sarjana Indonesia)
- 1957-1968: Jaksa/Kepala Humas Kejaksaan Luhur
YOLANDA AGNE I SDA
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.