Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, mengecam Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah yang menangkap Effendi Buhing seperti seorang teroris. Effendi adalah Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan di Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Yang juga menjadi keprihatinan kami ini polisi datang ke kampung seperti menangkap teroris, datang bersenjata lengkap dan menarik paksa beliau untuk ikut," kata Rukka dalam konferensi pers virtual, Kamis, 27 Agustus 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam video yang beredar, Effendi memang terlihat ditarik paksa oleh polisi. Effendi awalnya menolak ditangkap karena tak pernah dipanggil untuk diperiksa sebelumnya. Ia juga menilai alasan penangkapan itu tidak jelas.
Namun polisi lantas menyeret Effendi dari dalam rumahnya untuk dimasukkan ke sebuah mobil berwarna hitam. Sejumlah polisi yang berjaga di dekat mobil pun terlihat berseragam hitam dan bersenjata laras panjang.
Rukka mengatakan, Presiden Joko Widodo harus mengingatkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Idham Azis agar jajarannya tak bertindak demikian. "Harus menunjukkan pelindung masyarakat, bukan pelindung perusahaan," kata Rukka.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalteng Komisaris Besar Hendra Rochmawan mengklaim polisi bekerja profesional dan penangkapan sudah sesuai prosedur. Namun ia tak merespons saat ditanya model penangkapan yang bak menangkap teroris itu.
"Tidak benar kalau Kepolisian tidak sesuai prosedur, kami profesional dan tetap memberikan hak jawab kepada semua karena pada prinsipnya semua sama di depan hukum," kata Hendra dalam keterangannya kepada Tempo, Kamis, 27 Agustus 2020.
Penangkapan Effendi Buhing ini karena adanya laporan dari PT Sawit Mandiri Lestari (SML). Menurut Hendra, Buhing terlibat memerintahkan tindakan perampasan satu unit chain shaw milik perusahaan. Empat orang lainnya telah menjadi tersangka dan ditahan Kepolisian atas sangkaan melanggar Pasal 365 KUHP.
Rukka Sombolinggi mengatakan Effendi memang orang yang cukup vokal menolak upaya perluasan kebun PT SML. Sebab, perluasan lahan itu diduga merusak hutan adat Laman Kinipan yang menjadi ruang hidup masyarakat selama ini.
Menurut Rukka, PT SML berdalih penggusuran dan perambahan hutan tersebut dilakukan secara sah karena telah mengantongi izin pelepasan lahan seluas 19.091 hektare dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui surat 1/I/PKH/PNBN/2015 pada 19 Maret 2015. Juga berdasarkan Keputusan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertananan Nasional (ATR/BPN) Nomor 82/HGU/KEM-ATR/BPN/2017 tentang Pemberian Hak Guna Usaha Atas Nama PT Sawit Mandiri Lestari seluas 9.435,2214 hektare.
Berdasarkan hasil telaah peta HGU dan wilayah adat di Kementerian ATR/BPN pada Agustus 2019, keputusan Menteri LHK dan ATR/BPN ini telah mengakibatkan tergusur dan hilangnya hutan adat seluas 3.688 hektare.
Sementara itu, Kepala Hubungan Masyarakat PT Sawit Mandiri Lestari, Wendy Soewarno membantah perusahaan mengkriminalisasi pejuang adat Laman Kinipan. Wendy mengatakan penangkapan terhadap Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing murni terkait tindak pidana.
"Bukan kriminalisasi, memang tindak pidana murni. Silakan konfirmasi ke Polda Kalteng," kata Wendy kepada Tempo, Rabu malam, 26 Agustus 2020.
Wendy juga balas menuding bahwa Effendi Buhing tak murni membela hutan adat. "Akan tetapi lebih kepada tuntutan uang Rp 10 miliar," kata Wendy.