Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi III DPR telah menyetujui Johanis Tanak menggantikan Lili Pintauli Siregar sebagai pimpinan KPK. Johanis mengusulkan restorative justice untuk tindak pidana korupsi yang rentan makin melanggengkan impunitas terhadap koruptor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola mengkritik pandangan Johanis soal restorative justice untuk tindak pidana korupsi. Menurut Alvin, ide Johanis bertentangan dengan kedudukan perkara korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Pandangan itu juga bertentangan dengan paradigma United Nations Convention against Corruption atau UNCAC. Alvin khawatir pendekatan itu diterapkan Johanis saat menjabat pimpinan KPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Upaya menggeser penanganan kasus korupsi menjadi ultimum remedium melalui restorative justice harus didahului dengan adanya UU Perampasan Aset," kata Alvin, Rabu, 28 September 2022.
Apa itu impunitas?
Mengutip dari laman Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, impunitas merupakan fakta yang memberikan pembebasan atau pengecualian dari tuntutan, hukuman, kerugian kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Biasanya, kondisi ini terjadi akibat penolakan atau kegagalan pemerintah untuk mengambil atau melaksanakan tindakan hukum kepada pelaku. Tak hanya berkonotasi negatif, impunitas juga bisa berupa pemberian pengampunan kepada pejabat pemerintah.
Merujuk publikasi Problematika Pemberian Hak Diskresi dan Impunitas Kepada Pemerintah Terkait Kebijakan Keuangan Negara dalam Penanganan Pandemi Covid-19, impunitas adalah kekebalan hukum bagi pejabat pemerintah dalam menjalankan kewenangannya yang tidak bisa untuk dituntut secara administrasi, pidana, maupun perdata.
Berdasarkan istilah, impunitas atau impunity bersumber dari kata impune yang berasal dari Bahasa Latin, bermakna tanpa hukuman atau kebal. Istilah ini muncul akibat kegagalan negara untuk memenuhi kewajibannya dalam melakukan investigasi atas pelanggaran HAM. Langkah dan tindakan terhadap para pelaku, terkhusus dalam bidang hukum memastikan, para tersangka tindakan kejahatan harus dituntut, diadili, dihukum dengan adil.
Mengutip artikel berjudul Menyingkap Budaya Impunitas pada Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dalam Diskusi HRLS, saat ini tindakan pemerintah sangat bertentangan dengan semangat untuk mengakhiri impunitas. Para pelaku kejahatan HAM berat justru dilibatkan dalam pengambilan kebijakan atau menjabat di pemerintahan.
Merujuk publikasi Problematika Pemberian Hak Diskresi dan Impunitas Kepada Pemerintah Terkait Kebijakan Keuangan Negara dalam Penanganan Pandemi Covid-19, impunitas bukan hal yang baru dalam sistem hukum di Indonesia.
Impunitas terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016, Pasal 50 KUHP yang berbunyi, “Bahwa orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang, tidak dapat dipidana.” Pasal 51 Ayat 1 KUHP berbunyi, “Bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, maka orang itu tidak dapat dipidana.”
Di dalam peraturan perundang-undangan, impunitas tidak secara bebas melegalkan seseorang untuk terlepas dari jeratan hukum. Tapi pemberian hak ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pejabat dalam menjalankan kewenangannya.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.