Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank Permata tersandung kasus kredit macet pembiayaan proyek fiktif senilai hampir Rp 1 triliun.
Pinjaman terhadap proyek yang sama juga diajukan ke Bank Mandiri dan BCA.
Sebagian dokumen yang diajukan kreditor diduga palsu.
KETERANGAN Direktur Pengawasan Bank 2 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Adief Razali di persidangan menguak modus PT Megah Jaya Prima Lestari dalam kasus kredit fiktif Bank Permata. Saat bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Adief menyebutkan PT Megah Jaya menyodorkan tujuh proyek yang diduga fiktif untuk memperoleh pinjaman Rp 892 miliar pada 2013.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PT Megah Jaya mengaku bergerak di bidang jasa konstruksi pertambangan, minyak, dan gas bumi. Perusahaan mengklaim memiliki proyek kerja sama dengan PT Pertamina (Persero) senilai Rp 1 triliun. Mereka mengaku mengerjakan proyek pembangunan pemipaan avtur dari terminal Makassar ke Depot Pengisian Bahan Bakar Pesawat Udara (DPPU) Hasanuddin di Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Sulawesi Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk menutup kedok, kata Adief, PT Megah Jaya diduga menggunakan faktur jual-beli palsu. “Perusahaan supplier-nya saling terafiliasi. Jadi ada pemalsuan invoice,” ucap Adief di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 21 Juli lalu.
Ia tengah bersaksi dalam persidangan delapan mantan karyawan Bank Permata yang diduga terlibat dalam kredit fiktif PT Megah Jaya Prima Lestari. Salah seorang terdakwa adalah Ardi Sedaka, yang pernah menjabat Head Client Relationship II Bank Permata.
Audit OJK menemukan PT Megah Jaya tidak menggunakan data dan fakta yang sebenarnya ketika mengajukan pinjaman. Atas dasar itu, penyidik menetapkan Ardi Sedaka dan tujuh eks karyawan lain melanggar Pasal 49 ayat 2 huruf b Undang-Undang Perbankan soal prinsip kehati-hatian saat menyetujui kredit PT Megah Jaya.
Perusahaan tersebut dikuasai pengusaha The Johnny dan Sumarto Gosal. Polisi menangkap Komisaris dan Direktur Utama PT Megah Jaya itu pada Juli dan November 2019. Keduanya dijatuhi hukuman penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selama 1 tahun 10 bulan penjara karena terbukti memalsukan surat pada Juni 2020.
Kantor PT Mega Jaya Prima Lestari di Jalan Badak, Bonto Biraeng, Kecamatan Mamajang, Kota Makassar tergembok tak ada aktivitas pasca tersandung kasus kredit fiktif, Jumat 14 Agustus 2020. /TEMPO/ Didit Hariyadi
Adief mengatakan lembaganya mendapati PT Megah Jaya juga mengajukan kredit pembiayaan proyek yang sama ke Bank Mandiri dan Bank BCA. “Proyeknya sama, dokumennya juga. Ada double financing (pembiayaan ganda),” ujar Adief.
Dari ketiga bank ini, PT Megah Jaya diduga menerima kucuran kredit senilai Rp 1,5 triliun. Untuk menarik perhatian pemberi kredit, PT Megah Jaya menyertakan surat piutang dagang dengan Pertamina, yang ditengarai tidak sesuai dengan nilai sebenarnya. PT Megah Jaya mengajukan tujuh proyek. Enam proyek di antaranya diduga fiktif.
Head of Corporate Affair Bank Permata Richele Maramis mengatakan PT Megah Jaya mengajukan kredit pada 2013. Proses pencairan berlangsung hingga 2015. Dari total pencairan kredit senilai Rp 892 miliar, PT Megah Jaya mulai menunggak pembayaran utang sebesar Rp 755,1 miliar.
Richele mengatakan kredit macet PT Megah Jaya mengakibatkan kerugian cukup signifikan bagi Bank Permata. “Dengan manajemen baru, Bank Permata terus berfokus dalam menerapkan kerangka manajemen risiko dan prinsip kehati-hatian yang lebih kuat dalam penyaluran kredit,” tuturnya.
Corporate Secretary Bank Mandiri Rully Setiawan membenarkan kabar bahwa pemilik PT Megah Jaya, The Johnny dan Sumarto Gosal, mengajukan pinjaman pembiayaan proyek pemipaan avtur Pertamina di Bandara Hasanuddin ke banknya. Ia enggan menyebutkan total kredit yang telah dikucurkan bank pelat merah itu untuk Johnny dan Sumarto. “Baki debit (saldo pokok dari plafon pinjaman) fasilitas kredit PT MJPL (Megah Jaya Prima Lestari) di Bank Mandiri saat ini sebesar Rp 685,7 juta,” ujar Rully.
Ia menuturkan, dokumen-dokumen yang diserahkan PT Megah Jaya saat mengajukan permohonan fasilitas kredit di Bank Mandiri telah diverifikasi. Bank juga sudah mengkonfirmasi kebenaran proyek dan keberadaan perusahaan kepada sejumlah pihak dan instansi.
BCA juga mengucurkan kredit kepada The Johnny dan Sumarto Gosal. Tapi Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication Bank BCA Hera F. Haryn tak bersedia menyebutkan nilai pinjamannya. “BCA senantiasa berkomitmen menyalurkan kredit secara prudent dan tetap mengkaji peluang serta mempertimbangkan prinsip kehati-hatian,” kata Hera. Ia tak mau menjelaskan dokumen yang diajukan Johnny dan Sumarto saat mengajukan pinjaman. Adapun Vice President Corporate Communication PT Pertamina Fajriyah Usman tak merespons pertanyaan dari Tempo hingga Sabtu, 15 Agustus lalu.
• • •
PANGKAL kasus kredit fiktif oleh PT Megah Jaya Prima Lestari bermula pada akhir 2013. Awalnya The Johnny dan Sumarto Gosal mengajukan pinjaman pembiayaan proyek senilai Rp 187,3 miliar ke Bank Permata dengan dalih membutuhkan dana untuk membeli bahan baku pengerjaan proyek pembangunan pemipaan avtur dari terminal Makassar ke DPPU Hasanuddin, yang terletak di Bandara Sultan Hasanuddin.
Setelah permohonan kredit disetujui, PT Megah Jaya mengirimkan selembar permohonan pencairan fasilitas invoice pembiayaan senilai Rp 35,56 miliar. Surat itu meminta pembayaran ditransfer ke rekening PT Perwira Utama Unggul. Bank Permata mencairkan uang sejumlah tersebut pada 20 Desember 2013.
Tiga hari berikutnya, Sumarto mengajukan satu lembar permohonan pencairan invoice pembiayaan senilai Rp 16,67 miliar ke rekening PT Gesit Nazelo Protection. Bank Permata mencairkan uang sejumlah yang diminta pada hari yang sama.
Aktivitas perbankan di kantor pusat Bank Permata, Jakarta, Senin, 6 Maret 2017./TEMPO/Tony Hartawan
Selama dua bulan pertama, PT Megah Jaya membayar angsuran kredit dengan lancar. Pada Februari 2014, Johnny dan Sumarto secara lisan mengajukan peningkatan pagu kredit senilai Rp 1 triliun untuk pembiayaan proyek-proyek yang akan didapatkan PT Megah Jaya.
Atas permintaan itu, Johnny kemudian menyerahkan surat perintah memulai pekerjaan enam proyek di luar DPPU Hasanuddin. Mereka juga menyerahkan rencana anggaran biaya proyek, audit laporan keuangan, laporan piutang dagang terkait dengan enam proyek, laporan perkembangan proyek ataupun tender yang akan diikuti, dan rekening koran tiga bulan terakhir.
Tak ada permohonan tertulis saat Johnny dan Sumarto mengajukan kredit. Setelah mereka menyerahkan sejumlah berkas yang diduga abal-abal itu, Bank Permata menaikkan plafon kredit pada 27 Maret 2014.
Sejumlah pegawai Bank Permata menandatangani surat persetujuan kredit. Mereka adalah Ardi Sedaka, Head Client Relationship Wholesale Banking Anita Siswadi, Risk Reviewer Yessy Mariana, Deputy Senior Credit Officer Henry Hardijaya, dan Direktur Risk Michael Coye. Kecuali Michael Coye yang telah kembali ke negara asalnya, Amerika Serikat, para pegawai tersebut menjadi terdakwa bersama Ardi.
Atas peningkatan pagu kredit, PT Megah Jaya menyerahkan 61 faktur sepanjang November 2013 hingga Maret 2015. Nilainya mencapai Rp 892 miliar. Pencairan faktur itu ditujukan kepada PT Sine Energi Utama Jaya, PT Perwira Utama Unggul, dan tiga supplier lain. Faktur tersebut diduga tak melewati proses konfirmasi dan tidak sesuai dengan proyek yang diajukan PT Megah Jaya dalam permohonan kredit.
Direktur PT Perwira Utama Unggul, Supriyanto, mengaku mendirikan perusahaan di bidang jasa teknik itu bersama The Johnny pada 2014. “Perusahaan tidak pernah jalan, tidak ada aktivitas sama sekali karena saya bekerja di perusahaan lain,” ujarnya.
Ia mengatakan perusahaan juga tidak memiliki karyawan. Karena itu, dia merasa heran saat The Johnny menggunakan PT Perwira Utama untuk mengajukan faktur ke Bank Permata senilai Rp 327,2 miliar. “Perusahaan ini saya likuidasi pada 2017 karena tidak ada aktivitas dan malah ada penyalahgunaan,” kata Supriyanto.
Yana, Komisaris PT Sine Energi Utama Jaya, menduga Johnny mencatut perusahaan dan namanya. “Saya tidak pernah datang ke kantor. Hanya tanda tangan akta,” ujarnya. Ia mengaku tidak mengetahui PT Sine Energi mengajukan faktur ke Bank Permata senilai Rp 404 miliar, yang kemudian disetujui Rp 325 miliar. “Saya baru tahu ketika ditunjukkan penyidik,” ucapnya.
Tim pemeriksa Otoritas Jasa Keuangan sebenarnya sudah menangkap keanehan data PT Megah Jaya Prima Lestari lewat audit kredit perbankan. Menindaklanjuti audit tersebut, Bank Permata berkirim surat kepada PT Pertamina untuk mengkonfirmasi tujuh proyek yang diajukan PT Megah Jaya, pada November 2017.
Jawaban Pertamina mencengangkan. Dari tujuh kontrak yang diklaim dikerjakan PT Megah Jaya bersama Pertamina, enam di antaranya fiktif. Enam proyek tersebut dimenangi perusahaan lain dan nilai kontraknya pun tak sebesar yang diklaim PT Megah Jaya.
PT Megah Jaya hanya memenangi satu proyek, yakni pemipaan bahan bakar minyak ke DPPU Hasanuddin. Perusahaan itu diduga memalsukan surat perjanjian dan nilai kontrak untuk mendapatkan pinjaman lebih besar. Kepada Bank Permata, PT Megah Jaya menyebutkan nilai kontrak proyek itu sebesar Rp 474,9 miliar. Sebenarnya nilai proyek itu hanya Rp 153,6 miliar.
Benar saja, kredit tersebut kemudian macet. The Johnny dan Sumarto Gosal masih menunggak cicilan sebesar Rp 755,1 miliar. Bank Permata kemudian melaporkan Johnny, Sumarto, dan satu pemilik saham PT Megah Jaya lain, Silvia, ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI pada 24 Januari 2018.
Sempat menjadi buron, Sumarto ditangkap pada Juli 2018. Sedangkan Johnny dan Silvia dicokok pada November 2019. Ketiganya dijerat dengan pasal penipuan, penggelapan, pemalsuan surat, dan pencucian uang.
Namun, dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada awal Juni lalu, Johnny dan Sumarto hanya dianggap terbukti memalsukan surat. Keduanya divonis 1 tahun 10 bulan penjara. Sedangkan berkas perkara Silvia masih mondar-mandir dari penyidik ke kejaksaan.
Johnny kemudian melaporkan pegawai Bank Permata ke polisi karena mengucurkan kredit secara serampangan. Didit Wijayanto Wijaya, kuasa hukum Ardi Sedaka, Eko Wilianto, dan Muhammad Alfian Syah, mengatakan kliennya hanya pengusul plafon kredit. “Plafon kredit yang diajukan harus lewat approval dari level direksi dan/atau komite kredit,” ujar Didit. Badan Reserse Kriminal Polri tengah memproses hukum dua bekas petinggi Bank Permata yang dituduh terlibat.
Ihwal dokumen Johnny yang dipakai dalam pengajuan kredit ternyata palsu, Didit mengklaim kliennya tidak tahu-menahu. “Mereka tidak mengetahui dokumen itu palsu, sangat tidak tepat dibawa ke ranah hukum.”
Tempo menyambangi kantor PT Megah Jaya Prima Lestari di Jalan Badak Nomor 25, Bonto Biraeng, Kecamatan Mamajang, Kota Makassar, untuk mengkonfirmasi sengkarut kredit ini pada Jumat, 14 Agustus lalu. Tak seorang pun menampakkan diri di bangunan lima lantai itu. Pagar hitam sepanjang 15 meter digerendel. Pintu kantor dikalungi rantai besi. Sampah berserakan di pekarangan kantor.
LINDA TRIANITA, DIDIT HARIYADI (MAKASSAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo