Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Masih Mimpi Misi Berdikari

Menjadi kepanjangan tangan pemerintah yang ingin membenahi struktur industri peternakan ayam, PT Berdikari (Persero) tak kunjung mampu berkembang. Tugas berat manajemen baru.

15 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tahun ketiga bagi Berdikari mendapatkan hak mengimpor bibit ayam.

  • Tujuan awal penugasan Berdikari yang sejak awal diragukan bakal tercapai.

  • Upaya pembenahan di bawah nakhoda baru.

BELUM juga sepekan menjabat Direktur Utama PT Berdikari (Persero), Harry Warganegara langsung melayangkan surat kepada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan pada 8 April lalu. Dia meminta Kementerian Pertanian menambah alokasi impor bibit ayam (day old chicken/DOC) kategori indukan (grandparent stock/GPS) buat perusahaan yang baru dipimpinnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jawaban datang sebulan lebih setelah surat kedua dengan isi serupa dilayangkan pada 29 Juni lalu. Rabu, 5 Agustus lalu, sehari sebelum posisinya sebagai Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan diisi oleh Nasrullah, Ketut Diarmita menanggapi permintaan Harry. “Beliau jawab belum boleh, kecuali punya orientasi ekspor,” ujar Harry kepada Tempo di kantornya, Jumat, 14 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Harry meminta tambahan kuota impor bibit induk ayam untuk memenuhi kapasitas kandang yang selama ini disewa Berdikari dari tiga perusahaan di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Total kapasitas ketiga kandang ayam ini bisa mencapai 90 ribu ekor GPS. Tahun lalu, angka ini diajukan perusahaan kepada Direktorat Jenderal Peternakan ketika merancang rencana alokasi impor pada 2020. Namun, belakangan, Berdikari hanya memperoleh alokasi 43.426 ekor GPS, jumlah yang terus menurun sejak perusahaan peternakan pelat merah ini pertama kali kebagian jatah impor pada 2018.

Kuota impor GPS pertama kepada Berdikari tersebut merupakan bagian dari dukungan pemerintah untuk menjadikan perseroan sebagai alat mengintervensi harga ayam. Keputusan menjadikan Berdikari sebagai stabilisator harga ayam diambil pada 2016, dua tahun sebelumnya. Kala itu, harga ayam anjlok drastis. Komisi Pengawas Persaingan Usaha sempat menyoroti lebarnya disparitas harga ayam di tingkat peternak dan konsumen.

Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian saat itu, mengungkapkan harga ayam jeblok akibat impor GPS yang berlebih pada 2013-2014. Persaingan usaha di industri peternakan ayam ras pedaging, ucap dia, juga pincang karena perusahaan integrator menguasai 95 persen pangsa pasar. Perusahaan-perusahaan yang berbasis pakan ternak itu membangun bisnis dari hulu hingga hilir. “Kita harus masuk ke hulu industri perunggasan,” tutur Darmin dalam rapat koordinasi penyehatan struktur industri peternakan ayam di kantornya, 13 Mei 2016.

Omongan Darmin senada dengan laporan Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, yang merampungkan riset pada tahun yang sama. Penelitian ini menyoroti struktur industri peternakan ayam yang bertahun-tahun didominasi perusahaan besar terintegrasi.

Kajian tersebut menunjukkan bahwa pembentukan harga broiler hidup di tingkat produsen sangat ditentukan oleh kekuatan oligopoli yang cenderung ke bentuk kartel perusahaan peternakan skala besar. Korporasi peternakan skala besar pula yang mempengaruhi harga daging ayam di pasar retail. Panjangnya rantai distribusi komoditas ayam menunjukkan peternak rakyat berada di posisi paling terjepit.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara era Menteri Rini Soemarno menugasi Berdikari masuk ke rantai pasok tersebut dengan membangun peternakan ayam terintegrasi. Bayangannya, Berdikari bekerja sama dengan peternak-peternak mandiri dengan konsep inti plasma.

Namun dari awal sudah banyak yang ragu penunjukan Berdikari bakal menjadi solusi. Pasalnya, sudah lama perseroan merugi, berkutat dengan masalah keuangan yang kompleks. Kecil kemungkinan bagi Berdikari bisa mengintervensi pasar yang kadung didominasi selama bertahun-tahun oleh grup besar seperti PT Charoen Pokphand Jaya Farm dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. “Kalau BUMN masuk dengan kondisi memprihatinkan, tantangannya tidak ringan,” ujar seorang mantan pejabat BUMN kepada Tempo. “Semuanya dari awal sudah meragukan.”

•••

Direktur Utama PT Berdikari (Persero) Harry Warganegara di Jakarta, 14 Agustus 2020. Tempo/Tony Hartawan

UNTUK dapat mengelola GPS, Berdikari menyewa dua kandang dari dua perusahaan di Tasikmalaya, Jawa Barat, dan Pasuruan, Jawa Timur. Belakangan, fasilitas yang disewa bertambah satu di Lebak, Banten.

Toh, bagi Harry Warganegara, karpet merah kuota impor di hadapan Berdikari tak serta-merta memudahkan tugasnya mengembangkan BUMN peternakan ayam. Harry sempat kaget begitu mengetahui kemampuan Berdikari baru bisa memelihara 15 persen bibit induk ayam yang mereka punyai. Sedangkan 85 persen sisanya dijual. “Saya tanya, 85 persen ini dijual ke teman atau lawan? Enggak ada yang bisa jawab,” katanya.

Itu sebabnya, pada tiga bulan pertamanya memimpin perseroan sejak April lalu, Harry disibukkan oleh aneka pembenahan internal. Kontrak-kontrak yang selama ini terjalin diperbaiki, termasuk lewat perjanjian sewa kandang langsung kepada pemilik. Sistem kerja samanya juga diperjelas untuk memastikan tidak ada penjualan di bawah harga pokok.

Harry pun mengklaim akan berfokus mengembangkan kemitraan di daerah dengan persyaratan tertentu. Dalam rencana ini, Berdikari akan bertindak sebagai standby buyer. “Di saat mereka tak bisa menjual karkas, saya beli,” ujarnya. Sebagai pemain anyar, Berdikari memasang target menguasai pasar Indonesia sebanyak 20 persen. “Wajar-wajar saja, tapi saya mau memanfaatkan kuota GPS untuk mendorong produksi.”

Salah satu mitra peternakan Berdikari adalah PT Super Unggas Jaya di Tasikmalaya. Menurut Associate Director PT Super Unggas Jaya, Dewa Putu Sumerta, perusahaannya menyewakan fasilitas peternakan kepada Berdikari sejak 2018. Dengan kerja sama tersebut, Super Unggas mendapat kesempatan membeli 30 persen dari parent stock yang ada dengan harga kompetitif. “Sifatnya kami menyediakan tempat, Berdikari mengelola sepenuhnya. Setelah itu, kami melakukan jual-beli,” tutur Dewa kepada Tempo, Jumat 14 Agustus lalu. Sedangkan untuk DOC final stock, Berdikari menggunakan harga acuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020.

Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alamsyah Saragih, menilai permasalahan berulang yang terjadi di industri peternakan ayam ini lebih dari sekadar perkara maladministrasi. “Ini masalah pilihan kebijakan,” ucap Alamsyah, Sabtu, 15 Agustus lalu. “Ini konsekuensi dari pilihan kebijakan pemerintah yang lebih memprioritaskan penyediaan pangan murah kepada rakyat, bukan pada perlindungan peternak kecil.”

AISHA SHAIDRA, KHAIRUL ANAM
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus