Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tambahan Kuota buat Japfa

Di tengah jebloknya harga ayam di tingkat peternak, Kementerian Peternakan mengabulkan usul penambahan kuota impor bibit dari Japfa. Dimulai dari lobi bersama anak menteri.

15 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penambahan kuota impor bibit ayam yang meresahkan peternak.

  • Lobi Japfa mengalir lewat anak menteri hingga politikus Senayan.

  • Permohonan terkabul setelah presentasi virtual.

BELUM lagi menjadi Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Nasrullah sudah sibuk menghampiri para peternak ayam broiler. Pada Senin, 27 Juli lalu, misalnya, Nasrullah menemui peternak di Bogor, Jawa Barat, berusaha meredam niat Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN) yang hendak mendemo Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo keesokan harinya. “Kebetulan Dirjen sakit, jadi saya sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal yang turun,” kata Nasrullah kepada Tempo, Jumat, 14 Agustus lalu.

Ketika bertandang ke Bogor, Nasrullah sebenarnya dalam tahap penilaian akhir untuk menjadi calon Direktur Jenderal Peternakan. Kabar rencana pergantian eselon I Kementerian Pertanian ini sudah merebak sepekan sebelumnya.

Misi Nasrullah berhasil. Peternak batal berdemonstrasi, agenda diubah menjadi pertemuan dengan Menteri Syahrul di Balai Besar Pelatihan Peternakan di Kota Batu, Jawa Timur, Jumat, 14 Agustus lalu. Pada persamuhan pekan lalu, Nasrullah mengemban jabatan baru setelah dilantik menjadi Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ia menggantikan Ketut Diarmita, Kamis, 6 Agustus lalu. “Kami cuma bersilaturahmi dengan perwakilan peternak dan asosiasi sambil ngobrol santai,” ujar Nasrullah.

Ancaman PPRN adalah puncak dari gejolak anjloknya harga ayam broiler di tingkat peternak. Sejak awal tahun ini, harga daging ayam broiler terus merosot, menjauh dari batas bawah Rp 19 ribu per kilogram yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.

Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) mencatat harga ayam sempat terjungkal menjadi Rp 10 ribu per kilogram. Angka ini jauh di bawah rata-rata biaya produksi yang mencapai Rp 18 ribu per kilogram. Permintaan yang turun dan berlebihnya pasokan menjadi biang kejatuhan harga ayam di tingkat peternak kendati harga di tingkat konsumen tidak berubah banyak.

Kementerian Pertanian sebetulnya sudah berupaya menstabilkan harga itu dengan menggandeng 22 perusahaan besar untuk membeli ayam dari peternak kecil. Harganya paling murah Rp 15 ribu per kilogram. Korporasi tersebut, termasuk integrator yang menjalankan bisnis unggas dari hulu hingga hilir, berjanji membeli 4,11 juta ekor ayam dari peternak. Namun, bagi peternak, angka penyerapan itu tentu tidak cukup karena potensi kelebihan pasokan ayam pada 2020, berdasarkan hitungan Kementerian Pertanian, mencapai 462,9 juta ekor.

Di tengah harga ayam yang hancur-lebur akibat kelebihan pasokan itulah mencuat kabar meresahkan. PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), salah satu integrator terbesar, meminta tambahan kuota impor bibit ayam (day old chicken/DOC) kategori induk alias grandparent stock (GPS). Bibit ini mampu beranak-pinak, menghasilkan ayam siap potong alias final stock sebagai bahan baku industri unggas. “Kami tahu Japfa meminta tambahan impor GPS sejak Februari lalu,” ucap Ketua Umum Pinsar, Singgih Januratmoko, di Jakarta, Rabu, 5 Agustus lalu.

Di lingkungan peternak, kabar ini memantik keresahan. Terlebih rumor sampingannya tak kalah kencang berembus. Japfa dikabarkan meminta bantuan anak Menteri Pertanian dan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan agar permohonannya dikabulkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

•••

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KUOTA impor bibit ayam broiler adalah kunci dalam industri perunggasan. Perhitungannya, satu bibit menghasilkan 40 ekor indukan (parent stock). Satu indukan menelurkan 140 bayi ayam final yang siap digemukkan, lalu dipotong. Artinya, satu bibit mampu menghasilkan 5.600 ayam siap potong.

Kementerian Pertanian menggunakan kuota impor ini sebagai instrumen pengontrol pasokan ayam. Saban tahun, perusahaan yang memiliki fasilitas pembibitan mengajukan rencana produksi mereka. Dari rencana produksi itu, keluarlah kebutuhan bibit ayam impor. Tim Analisa Penyediaan dan Kebutuhan Ayam Ras dan Telur Konsumsi kemudian menghitung kebutuhan perusahaan dan potensi permintaan dalam negeri.

Sejak 2012, ketika kuota ini mulai berlaku, alokasi yang ditetapkan Kementerian menggambarkan pangsa pasar setiap perusahaan. “Sebagian pertimbangannya memang menggunakan market share,” tutur Nasrullah.

PT Charoen Pokphand Jaya Farm menjadi penguasa pangsa pasar terbesar, diikuti Japfa, lalu PT Bibit Indonesia (Malindo), PT Cheil Jedang Superfeed, dan PT Wonokoyo Jaya Corp. Pangsa pasar perusahaan lain kurang dari 3 persen.

Itu sebabnya, sesuai dengan Keputusan Menteri Nomor 13791/KPTS/PK.230/F/12/2019 tentang Rencana Produksi Nasional Bibit Ayam Ras Pedaging dan Petelur 2020, Charoen juga mendapat alokasi impor GPS ayam broiler terbanyak, yakni 252.045 ekor atau 35,8 persen dari total kuota 675.999 ekor. Japfa menguntit dengan kuota 137.159 ekor.

Sejak 2018, dominasi mereka terganggu ketika pemerintah memberikan karpet merah kepada PT Berdikari (Persero), badan usaha milik negara yang tidak punya fasilitas budi daya, untuk bisa ikut mengimpor bibit ayam. Pemerintah menunjuk Berdikari menjadi perwakilan negara, sebagai stabilisator industri unggas yang mayoritas pasarnya dikuasi Charoen dan Japfa. Tahun ini, Berdikari, yang mengandalkan fasilitas perusahaan lain, mendapat kuota impor 43.425 ekor bibit indukan atau sekitar 6,42 persen dari total alokasi impor.

Peternak memberi makan ayam di salah satu peternakan di kawasan Kalimalang, Jakarta, Januari 2019. Tempo/Tony Hartawan

Mengempit kuota impor banyak, Berdikari kini menjadi primadona. “Kami sadar jadi primadona. Makanya kami sekarang berkuasa menentukan rekan dan skema bisnisnya,” kata Direktur Utama Berdikari Harry Warganegara di ruang kerjanya di Jakarta, Jumat, 14 Agustus lalu.

Namun rupanya sistem kuota ini juga membuat industri makin rumit. Sejumlah perusahaan merasa alokasi bibit yang mereka dapatkan masih kurang. Apalagi sebagian dari mereka sudah mengekspor baik bayi indukan maupun produk olahan ayam.

Japfa salah satu yang merasa berhak memperoleh alokasi impor bibit induk lebih banyak. Untuk itu, perusahaan milik keluarga Santosa—didirikan oleh konglomerat Ferry Teguh Santosa (Ometraco)—ini mengajukan permintaan kuota tambahan 50 ribu ekor bibit ayam broiler. Tiga orang sumber Tempo yang mengetahui upaya Japfa tersebut mengatakan tambahan itu dipakai buat kebutuhan ekspor.

Dua pelaku usaha peternakan menuturkan, Adrian Irvan Kolonas, generasi ketiga keluarga Santosa (cucu pendiri Japfa), sempat menemui Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Ketut Diarmita di kantor Kementerian Pertanian, Februari lalu, sebelum Covid-19 menyerang. Dalam pertemuan itu, Irvan mengajak Kemal Redindo Syahrul Putra, anak Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, dan menyampaikan permintaan tambahan kuota tersebut. Namun kala itu Ketut tak mengabulkannya.

Bala bantuan datang dari Sudin, politikus PDI Perjuangan yang menjabat Ketua Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat. Sumber Tempo mengungkapkan, Sudin kawan Hendrick Kolonas—Wakil Komisaris Utama Japfa yang juga ayah Irvan—menghubungi Ketut dan meminta usul penambahan kuota impor GPS dari Japfa dikabulkan. Upaya membujuk Ketut ini juga mental.

Ditemui di Plaza Indonesia, Jakarta, Kamis, 13 Agustus lalu, Irvan Kolonas, yang ditemani Direktur Corporate Affairs Japfa Rachmat Indrajaya dan Government Relations Manager Japfa Dimas Insani, menjawab semua pertanyaan Tempo mengenai permintaan tambahan kuota impor. Begitu pula soal keikutsertaan Kemal Redindo Syahrul Putra dalam pertemuan dengan Ketut Diarmita. Namun Irvan menolak jawabannya dikutip.

Sudin, yang dihubungi pada Sabtu pagi, 15 Agustus lalu, membantah kabar bahwa dia meminta Ketut meluluskan permintaan Japfa. “Betul saya kenal dengan Hendrick, tapi enggak bantu,” ujar Sudin. “Saya enggak mau ikut campur.” Sementara itu, Kemal Redindo tidak bisa dihubungi lewat dua nomor telepon selulernya.  

Adapun Ketut, yang dihubungi sejak 29 Juli lalu, menolak menjawab soal permintaan tambahan kuota impor bibit ayam Japfa. Saat menolak permintaan awal Japfa, Ketut sebetulnya sudah di ujung masa jabatan.

Sejak era Menteri Amran Sulaiman, Kementerian Pertanian telah melelang kursi Ketut. Nama-nama calon pengganti Ketut—salah satunya Nasrullah—sudah masuk pada pengujung masa pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama. Namun keputusan pergantian tertunda karena Presiden menahan perubahan pejabat strategis, termasuk eselon I, saat itu.

Nama Nasrullah kembali masuk sebagai calon kuat Dirjen Peternakan ketika Menteri Syahrul memulai lagi proses lelang itu. Menguatnya pencalonan Nasrullah menjadi gunjingan peternak unggas dan sejumlah pejabat di Kementerian Pertanian. Musababnya, Nasrullah pernah tersandung kasus dugaan suap Rp 1,5 miliar dalam proyek Pusat Pengembangan Kerbau Rawa di Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, pada 2018.

Dugaan itu terungkap dalam laporan Kepala Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Sembawa, Sumatera Selatan, Nugroho Budi Suprijatno, pada 7 Agustus 2018. Nugroho—kini sudah pensiun—ketika itu melaporkan masalah ini kepada Inspektur Investigasi Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian. Kasus ini sempat ditindaklanjuti, tapi tanpa kejelasan hasil akhirnya.

Kepada Tempo, Nasrullah membantah dugaan menerima suap dalam proyek di Banyuasin tersebut. “Silakan dicek ke pelaksana proyeknya. Tanyakan apa dia pernah ketemu saya? Insya Allah enggak ada.”

•••

SEMPAT terkatung-katung, permintaan tambahan kuota impor bibit ayam Japfa menuai titik terang pada Juni lalu. Kementerian Pertanian membawa permintaan itu dalam rapat terbuka. Mengundang sejumlah pejabat dari beberapa kementerian, seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Perekonomian, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan meminta Japfa mempresentasikan permintaannya secara virtual.  

Irvan Kolonas, yang kini membantu urusan government relations Japfa, menjelaskan langsung niat perusahaan meminta tambahan kuota dan peruntukannya. Seseorang yang hadir dalam rapat virtual ini mengatakan Japfa menjamin tambahan bibit itu tidak bakal merembes ke pasar domestik. Toh, bibit baru akan menjadi ayam siap potong setelah dua tahun.

Barulah setelah presentasi virtual itu Ketut, yang belum lengser dari jabatannya, menerbitkan tambahan kuota impor bibit ayam buat Japfa. Tapi angkanya hanya 18 ribu ekor. “Ya kalau untuk ekspor enggak ada masalah. Tidak membanjiri pasar dalam negeri yang sudah kelebihan pasokan,” ucap Nasrullah, pengganti Ketut.

Pelantikan Dijen Peternakan Nasrullah (kanan), di Jakarta, 6 Agustus lalu. Foto: ditjenpkh.pertanian.go.id

Rupanya, bukan hanya Japfa yang meminta tambahan kuota impor GPS. Berdikari juga meminta, bahkan dua kali, tapi gagal. Direktur Utama Berdikari Harry Warganegara menyatakan legawa atas penolakan tersebut. “Kami mau benahi sistem internal dulu,” kata Harry.

Saat ini, Harry melanjutkan, Berdikari, lewat fasilitas produksi yang mereka sewa, baru sanggup mengkonversi 15 persen bibit ayam menjadi bayi ayam siap potong (final stock). Sisanya sudah Berdikari lepas sejak menjadi bayi indukan (DOC parent stock).

Adapun Charoen Pokphand mengklaim tidak meminta tambahan kuota impor GPS pada tahun ini. Menurut Jusi Jusran, Direktur Charoen Pokphand Jaya Farm, perusahaannya menghormati keputusan Kementerian Pertanian yang telah menetapkan kuota awal impor GPS. “Kami anggap yang diputuskan pemerintah pasti untuk kepentingan yang besar dan kepentingan industri,” tutur Jusi lewat konferensi virtual, Jumat, 14 Agustus lalu.

Ribut-ribut kuota impor bibit ayam ini, berikut isu pasokan berlebih yang bisa membuat harga anjlok hingga ancaman demonstrasi para peternak, agaknya belum akan berlalu. Direktur Jenderal Peternakan yang baru masih akan mempertahankan sistem kuota yang bertahun-tahun menuai kritik. “Tapi mungkin nanti ada faktor ekspor dan audit kebutuhan sebagai basis pemberian impor bibit,” ujar Nasrullah.

KHAIRUL ANAM, AISHA SHAIDRA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus