Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tak Ada yang Gila di Locarno  

Salah satu festival film tertua di dunia yang digelar di Locarno, Swiss, beradaptasi dengan situasi normal baru karena pandemi. Sesi Open Doors menghadirkan film-film dari sineas Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang dapat diakses tanpa membayar.

15 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FESTIVAL Film Locarno, yang tahun ini dimodifikasi penyelenggaraannya karena Covid-19, menjatahkan hanya 1.500 penonton yang dapat mengakses setiap film secara daring. Namun, untuk film Wregas Bhanuteja, Tak Ada yang Gila di Kota Ini, kuota itu sudah terpenuhi pada hari ketiga festival yang berlangsung sepanjang 5-15 Agustus 2020 tersebut. Lewat akun media sosialnya, Wregas lalu mengabarkan bahwa timnya sedang meminta tambahan kuota kepada panitia. Pada akhirnya, panitia harus menambah kuota hingga tiga kali lipat. “Setelah dua kali sold out, kini untuk terakhir kalinya Locarno akan membuka 1.500 kursi lagi untuk menonton online ‘#TakAdaYangGilaDiKotaIni’ (No One is Crazy in This Town),” cuit Wregas pada Senin, 10 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

On Friday Noon karya Sutradara Luhki Herwanayogi. Youtube Viddsee

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak Ada yang Gila di Kota Ini diangkat dari cerita pendek Eka Kurniawan dalam kumpulan cerpen Cinta Tak Ada Mati. Disutradarai Wregas, yang pernah memenangi Semaine de la Critique Cannes Film Festival untuk film Prenjak (In the Year of Monkey) pada 2016, film ini tentu karya yang dinanti penonton sinema alternatif. Wregas telah merilis karya ini tahun lalu, tapi pemutarannya masih terbatas, seperti dalam Busan International Film Festival dan Jogja-Netpac Asian Film Festival. Maka, ketika datang kesempatan menonton daring yang mudah dan cuma-cuma dari Festival Locarno, tak mengherankan antusiasmenya begitu tinggi. 

Film 20 menit ini hendak menggeser-geser garis pemisah antara yang gila dan yang waras. Pada musim liburan, pengelola hotel di suatu kawasan pantai menginginkan area itu bersih dari orang gila yang berkeliaran di jalan. Marwan (Oka Antara) menjadi petugas penyisir yang menangkapi lalu mengangkut pengidap gangguan kejiwaan itu dengan pikap berjeruji ke sebuah hutan. Di sana mereka ditinggalkan agar tak mengusik para turis bersenyum cerah yang asyik berkecipuk di kolam renang pinggir pantai. 

On Friday Noon

Yang tak diketahui bos hotel yang membayar Marwan adalah anak buahnya itu ternyata pebisnis orang gila. Marwan akan menjemput kembali orang-orang gila itu dari hutan, lalu menjual “potensi” mereka kepada turis. Kegilaan ternyata laku di antara mereka yang mengaku waras. Para turis mau membayar mahal untuk satu sesi membuat kriya dengan orang gila, sesi melampiaskan emosi terpendam, atau sesi memuaskan hasrat seksual. Lalu, siapa yang gila sebenarnya?

Film tersebut menjadi satu dari enam karya sineas Indonesia yang terpilih untuk ditayangkan pada sesi Open Doors Festival Film Locarno tahun ini. Pemenang Festival Film Indonesia tahun lalu, Kucumbu Tubuh Indahku karya Garin Nugroho, masuk daftar putar. Begitu juga dua film panjang, Atambua 39° Celsius (Riri Riza) dan What They Don’t Talk About When They Talk About Love (Mouly Surya). Di kategori film pendek, Kado (Aditya Ahmad) dan On Friday Noon (Luhki Herwanayogi) turut serta bersama Tak Ada yang Gila di Kota Ini.  

Program Open Doors adalah sesi khusus dalam Festival Film Locarno yang mengusung semangat eksplorasi tradisi sinema di negara-negara belahan selatan dan timur bola dunia. Program ini sudah berjalan selama 18 tahun dan mengganti wilayah yang menjadi fokus perhatian tiap tiga tahun sekali. “Open Doors didedikasikan kepada sinema dari negara-negara yang sedang ‘tumbuh’ dan mewakili dunia masa depan,” kata Lili Hinstin, Direktur Artistik Festival Film Locarno, kepada media. 

Pusat atensi siklus tiga tahunan kali ini (2019-2021) adalah negara-negara Asia Tenggara dan Mongolia. Film-film dari Indonesia, bersama Filipina, Malaysia, dan Myanmar, kebagian jatah untuk dikedepankan pada tahun ini. Total ada 10 film panjang dan 10 film pendek dari empat negara yang masuk senarai putar. “Kami memilih film-film yang mendapat tanggapan positif dalam sirkuit festival dunia tapi belum dapat banyak diakses karena keterbatasan distribusi,” ujar kurator Open Doors, Paolo Bertolin, dalam siaran pers. 

Dari sisi tema, enam film terpilih dari Indonesia memiliki kemiripan karena sama-sama menyinggung lapisan spektrum yang membentuk identitas, seperti gender, agama, dan kesehatan mental. Dua film pendek mendedahkan ketegangan sehari-hari yang dihadapi mereka dengan gender cair. 

Dalam On Friday Noon, Luhki Herwanayogi menyajikan ragam konflik yang dihadapi Wina, seorang transgender, dalam satu kerangka waktu spesifik: saat salat Jumat. Wina sering ditempatkan dalam bingkai luas yang membuat dirinya tampak mengecil. Adapun Kado karya Aditya Ahmad justru mengambil jarak sangat dekat saat menyoroti Isfi, seorang remaja yang ingin memberikan kejutan ulang tahun kepada teman perempuannya. Bahkan dari jarak dekat sekali kita bisa kesulitan menentukan apakah Isfi laki-laki atau perempuan atau keduanya sekaligus. 

Menonton secara berturut-turut film dalam sesi Open Doors dapat memberikan gambaran tentang bagaimana beragamnya sineas dari empat negara serumpun ini mendekati tema yang umumnya berkaitan dengan ikatan keluarga atau persahabatan. The Ruby oleh Ling Low dari Malaysia mengikuti secara beraturan hari-hari Intan, remaja putri yang mencari perlindungan di hostel Pecinan. Alur maju itu diinterupsi pertemuan Intan dengan seorang pria tua pencinta sinema. Sementara itu, Void dari sutradara Myanmar bernama Mg Bhone bertumpu pada pengulangan momen setiap hari antara dua tetangga di rumah susun. Dari Filipina, Babylon oleh Keith Deligero menawarkan pengalaman segar karena menggunakan fantasi dan efek khusus murahan untuk menceritakan bagaimana keluarga mempertahankan diri di tengah guncangan sistem politik. 

Tak Ada yang Gila di Kota Ini

Semua film dalam program Open Doors dapat ditonton gratis lewat situs resmi Festival Film Locarno. Pergelaran yang tahun ini merupakan penyelenggaraannya yang ke-73 itu kini harus berjalan tanpa Piazza Grande, alun-alun abad ke-19 yang rupawan dan menjadi pusat sejarah Kota Locarno sekaligus jantung festival. Tak ada lagi kerumunan ribuan orang yang menonton film di bioskop terbuka di tepi Danau Maggiore saat senja turun. Festival tetap menyediakan pemutaran film luring (offline), tapi hanya tersedia di tiga bioskop lokal dan jumlah penonton dibatasi. Alih-alih menamai acara ini Festival Film Locarno ke-73 sesuai dengan tradisi, pergelaran kali ini dilabeli dengan nama Locarno 2020: For the Future of Films.   

Kompetisi dan penghargaan grand prize Golden Leopard juga dihilangkan. Sebagian besar dana festival ini dialihkan untuk memberikan insentif pembuatan film bagi sineas yang membutuhkan dukungan finansial. Program bernama The Films After Tomorrow ini telah memilih 10 film internasional dan 10 film Swiss yang terhenti produksinya akibat Covid-19 untuk mendapat kucuran dana. “Jika kita berhasil mengembalikan kepercayaan diri sineas dan pencinta sinema di seluruh dunia, saya yakin kita akan melalui situasi ini dan menjadi lebih kuat dari sebelumnya,” tutur Marco Solari, Presiden Festival Film Locarno. 

MOYANG KASIH DEWI MERDEKA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus