Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mantan kepala desa memperkosa kerabat jauhnya saat masih berusia 12 tahun.
Kesehatan mental korban masih terganggu hingga kini.
Penyelidikan di kepolisian mandek.
MATA Dayana, bukan nama sebenarnya, berkaca-kaca saat ibunya mengabarkan Muler Siregar sudah meninggal pada Ahad, 16 Januari lalu. “Senyaplah persoalan ini nantinya,” tutur perempuan 15 tahun itu. Ia adalah korban pemerkosaan mantan Kepala Desa Padang Malakka, Padang Lawas Utara, Sumatera Utara, berusia 76 tahun tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dayana khawatir kasus kekerasan seksual itu mati seiring dengan meninggalnya Muler. Ia dan ibunya bersama dengan dua pendamping telah melaporkan kejahatan Muler ke Kepolisian Resor Tapanuli Selatan pada Jumat, 17 September 2021. Adya—nama samaran ibu Dayana—turut menyerahkan celana dalam milik anaknya saat pemerkosaan itu terjadi pada 2018-2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka kembali melanjutkan laporan ke polisi pada 20 September 2021 dan menjalani visum di hari yang sama. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan Dayana diduga diperkosa. “Kata dokternya sudah jelas hasilnya (diperkosa). Kejadiannya bukan cuma dua kali,” ujar perempuan paruh baya itu kepada Tempo.
Suami Adya meninggal 13 tahun lalu. Ia sendirian merawat sembilan anaknya di rumah mereka di Desa Padang Malakka, sekitar delapan jam berkendara dari Kota Medan. Dayana merupakan anak bungsu. Kasus pemerkosaan ini kian menambah beban Adya sebagai orang tua tunggal.
Apalagi belakangan kasus ini kandas di tangan polisi. Kepala Unit Perempuan dan Perlindungan Anak Polres Tapanuli Selatan Brigadir Kepala Wiwi Listary membenarkan adanya laporan pemerkosaan Dayana. Tapi Wiwi mengatakan polisi belum bisa menaikkan status penyelidikan lantaran kasusnya terjadi tiga tahun lalu dan baru dilaporkan pada 2021. “Alat bukti yang sah belum cukup,” ujar Wiwi. Ihwal imbas kematian Muler terhadap penanganan kasus tersebut, Wiwi tidak berkomentar.
Kabar mandeknya penyelidikan itu makin menghancurkan hati Dayana dan keluarganya. Hingga kini, ia masih mengalami trauma. Ia tak sanggup melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas yang sempat dilakoni selama dua bulan. “Enggak kepikiran sekolah lagi,” ucapnya. “Masuk sekolah pun awak (saya) diejek orang.”
Ingatannya terlempar ke suatu sore pada pertengahan 2018, saat Muler pertama kali memperkosanya. Kala itu, Dayana bersama teman-temannya sedang bekerja di kebun untuk memungut lidi pelepah sawit. Mereka berpencar. Ternyata Muler membuntutinya memakai sepeda motor.
Tanpa turun dari sepeda motor, Muler menawari uang. Dalam silsilah keluarga, Muler adalah sepupu Dayana. Waktu itu Dayana berusia 12 tahun, sedang bersekolah di kelas II madrasah tsanawiyah. “Jangan takut kau, abangmu aku, sedekahnya ini,” kata Dayana menirukan Muler dengan dialek khas Tapanuli.
Dayana diam. Muler menyorongkan uang Rp 25 ribu. Saat Dayana hendak mengambil duit itu, Muler menangkap dan mendorongnya hingga jatuh ke semak-semak. Muler lantas memperkosa Dayana di sana. Selepas kejadian, Muler mengancam akan membunuh Dayana jika menceritakan kejadian tersebut kepada siapa pun.
Beberapa hari kemudian, bapak empat anak itu mendatangi Dayana yang sedang sendirian di ladang. Lokasi ladang keluarga Dayana dan kebun sawit Muler bersebelahan. Muler batal kembali berbuat bejat karena ada tetangga yang memergoki mereka.
Beberapa macam pemberitaan kekerasan seksual di berbagai media/TEMPO/ Gunawan Wicaksono
Upaya pemerkosaan terjadi untuk ketiga kali. Pada suatu malam, Dayana menemani seorang teman yang akan membeli rokok di warung sebelah rumah Muler. Melihat dua bocah itu, Muler memanggilnya. Lagi-lagi Muler menawarkan sedekah hanya kepada Dayana, tapi ditolak.
Sang teman meninggalkan Dayana di teras rumah Muler. Muler terus membujuk Dayana dengan menawarkan Rp 50 ribu. Setelah menerimanya, Dayana pamit pulang.
Muler mendadak menyikut tengkuk Dayana saat berbalik badan. Remaja itu pun tersungkur ke lantai. Muler menyeretnya ke kamar. Seorang anak Muler mendadak muncul di kamar itu. Muler lalu menutup tubuh Dayana dengan tikar.
Pemerkosaan itu berlanjut setelah anak Muler meninggalkan kamar. Muler bahkan menyekap Dayana di kamar itu hingga esok pagi. Saat hendak pulang, Dayana mengancam akan melaporkan kejahatan ini kepada abang-abang dan ibunya.
Muler marah. Ia menempelkan pisau ke perut Dayana hingga tergores dan mengeluarkan sedikit darah. “Bilanglah...bilang, kubunuh kau,” ucap Dayana menirukan ucapan Muler kala itu.
Ancaman Dayana tak membuat Muler berhenti. Ia memperkosa Dayana lagi hingga lima kali. Pemerkosaan terakhir berlangsung pada 22 Oktober 2019. Muler berhenti memperkosa Dayana karena diduga anak-anaknya sudah mengetahuinya.
Rahasia itu terkuak setelah mereka diajak Adya mencari anaknya yang menghilang bersama Muler. Ketika bertemu, Dayana menceritakan semua kejadian itu kepada ibunya dan anak-anak Muler.
Anak-anak Muler, kata Adya, mencoba bernegosiasi dengan kakak-kakak Dayana tanpa setahunya. Mereka mengajak berdamai dan meminta keluarga Dayana tidak membawa perkara ini ke polisi. Keluarga Muler berjanji memberikan uang damai Rp 80 juta.
Anak Muler juga merahasiakan “perdamaian” ini dari ayah mereka. Mereka khawatir penyakit darah tinggi ayahnya kumat karena mengetahui kejahatannya diketahui orang banyak. Seorang kerabat Adya yang ditemui anak-anak Muler mengatakan para keponakannya berjanji mencicil uang damai karena tak memiliki uang tunai.
Tempo berupaya menghubungi salah seorang anak dan menantu Muler, Dullah Siregar dan Mimi, sejak Senin, 10 Januari lalu. Keduanya tak merespons pesan ke akun WhatsApp dan panggilan telepon dari Tempo. Dihubungi lagi beberapa hari setelah kematian Muler, keduanya kembali tak merespons permintaan wawancara.
Setelah pemerkosaan terakhir, kesehatan mental Dayana mulai terganggu. Anak-anak Muler meminta Dayana bersekolah di salah satu pesantren di Kandis, Riau. Tapi ia tak punya teman di sana. Ia makin pendiam dan menyimpan sendiri rasa sakit akibat diperkosa Muler. “Kalau buang air kecil manyiak (pedih), kalau berdiri mandonguti (ngilu) kayak ditusuk pakai jarum,” ujar Dayana.
Ia menangis hampir setiap hari. Nafsu makannya hilang dan ia lebih sering melamun. Selama dua pekan di pesantren, Dayana pernah kesurupan bahkan sampai enam jam. Pengasuh pesantren membantu merukiyahnya. Meski begitu, Dayana berhasil menamatkan pendidikannya di pesantren.
Adya lalu menyekolahkan Dayana ke sekolah menengah atas di Labuhan Bilik, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Biaya sekolah masih ditanggung anak-anak Muler. Namun kondisi psikis Dayana makin parah. Ia sering hilang kesadaran dan hanya bertahan dua bulan duduk di bangku SMA. Ia menghabiskan waktu hingga setahun untuk berobat secara medis dan ke dukun.
Dayana mencoba kembali bersekolah. Tapi pihak sekolah menolak dengan alasan Dayana sudah terlalu lama tertinggal pelajaran. Ia mencoba mendaftar di sekolah lain, tapi gagal. Keinginan Adya agar Dayana kembali ke sekolah pupus sudah. Apalagi keluarga Muler tak mau lagi menanggung biaya Dayana. “Mereka malah marah-marah,” ujar Adya.
Dengan segala kondisi itu, kata Adya, mereka baru melaporkan kekerasan seksual oleh Muler Siregar tiga tahun setelah peristiwanya. Kini, Muler sudah tiada. Adya dan Dayana tak tahu harus mengadu ke mana untuk mendapat keadilan.
RAUDATUL ADAWIYAH NASUTION (SUMATERA UTARA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo