Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aung San Suu Kyi dihukum empat tahun penjara karena memiliki walkie-talkie ilegal.
Dia menghadapi sekitar selusin dakwaan, termasuk enam kasus korupsi.
Suu Kyi bukan lagi simbol tunggal perlawanan rakyat terhadap militer.
PENGADILAN di Naypyitaw menjatuhkan vonis empat tahun penjara kepada Aung San Suu Kyi, pemimpin Myanmar yang digulingkan junta militer pada 1 Februari 2021, pada Senin, 10 Januari lalu. Hakim Maung Maung Lwin menyatakan Suu Kyi melanggar Undang-Undang Ekspor-Impor dan Undang-Undang Telekomunikasi karena memiliki walkie-talkie ilegal, yang ditemukan tentara di rumahnya pada saat kudeta terjadi. Perempuan 76 tahun itu juga dinyatakan melanggar aturan Covid-19 selama kampanye pemilihan umum 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Human Rights Watch menyebut pengadilan ini sebagai “sidang sirkus dengan tuduhan palsu” sehingga Suu Kyi akan tetap di penjara tanpa batas waktu. Menurut The ASEAN Post, Wakil Direktur Asia Human Rights Watch Phil Robertson menyebutkan militer mempertahankan dakwaan yang sangat lemah dan bermotif politik serta “melanggar hak asasi manusia setiap orang, dari Suu Kyi... hingga aktivis gerakan pembangkangan sipil di jalan” tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengadilan itu berlangsung tertutup untuk media. Pengacara Suu Kyi juga dilarang berkomunikasi dengan media dan publik. Suu Kyi ditahan sejak kudeta terjadi di sebuah tempat yang tak diketahui di Naypyitaw dan kini menghadapi sekitar selusin dakwaan, termasuk enam kasus korupsi. Pemimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) itu membantah semua tuduhan tersebut.
Suu Kyi juga dihukum empat tahun penjara pada awal Desember 2021 dengan pasal hasutan dan pelanggaran aturan Covid-19. Win Myint, mantan presiden dan pemimpin NLD, juga dihukum empat tahun penjara karena pelanggaran serupa.
Junta militer pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing menyatakan akan mengadili Suu Kyi dan para pemimpin NLD karena kecurangan dalam pemilu pada November 2020. Kecurangan ini juga menjadi dalih Min Aung untuk melakukan kudeta. Padahal NLD unggul telak dengan meraup lebih dari 80 persen suara dalam pemilihan itu.
Aung San Suu Kyi ditahan hampir 15 tahun pada masa kekuasaan militer selama 1989-2010. Dia kemudian meraih penghargaan Nobel Perdamaian atas usahanya memperjuangkan demokrasi di negerinya. Ketika NLD menang dalam pemilihan umum pertama sejak militer berkuasa pada 2011, Suu Kyi tak dapat menjadi presiden karena aturan konstitusi. Dia kemudian diangkat sebagai Konselor Negara Myanmar, jabatan baru yang membuat dia secara de facto memimpin negeri itu.
Namun reputasi Suu Kyi anjlok ketika ia menangani krisis pengungsi Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Pada 2019, Gambia mengajukan tuntutan hukum kepada Myanmar ke Mahkamah Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (ICJ) atas dugaan genosida terhadap kaum muslim Rohingya. Suu Kyi muncul dalam sidang ICJ dan membela Tatmadaw, militer Myanmar. Dia menyatakan tak ada genosida di Rakhine dan Tatmadaw hanya berupaya memadamkan pemberontakan di sana.
Suu Kyi selama ini dipandang sebagai simbol oposisi terhadap militer. Junta tampaknya memenjarakan dia untuk menghancurkan NLD dan kelompok antimiliter. Namun, setelah Suu Kyi divonis bersalah dalam sidang pada Desember 2021, unjuk rasa pecah di jalanan Yangon dan kota-kota lain. Para demonstran, yang kebanyakan anak muda, mengacungkan tiga jari—simbol gerakan prodemokrasi—meskipun poster Suu Kyi kadang masih tampak dibawa demonstran. Ini menunjukkan terjadinya pergeseran simbol perlawanan sipil.
Kepada France 24, Direktur Burma Campaign Inggris Mark Farmaner menilai, meskipun Suu Kyi masih dihormati, “Dia bukan ikon demokrasi yang sama seperti generasi sebelumnya dan orang-orang muda tidak akan mengikuti saja apa yang ia katakan. Mereka mengorganisasi diri mereka sendiri.”
Anggota NLD yang lolos dari penangkapan kemudian mendirikan “pemerintah bayangan”, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG). Meski tetap menuntut pembebasan Suu Kyi dan tahanan politik lain, NUG menjaga jarak dari kebijakan Suu Kyi yang “otoriter” dan memihak militer. Misalnya mereka mengakui Rohingya sebagai kelompok etnis yang sah di Myanmar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo