Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Desy menyeka air mata setiap kali menyebut nama suaminya, Deni Setia Maharwan alias Rapi Muhammad Majid. Mulutnya bergetar ketika bercerita tentang kasus yang membelit pria yang sudah memberinya satu anak itu. Dengan suara tercekat, perempuan 35 tahun ini tiba-tiba mengerem pembicaraannya. ”Maaf, saya tak bisa bercerita banyak. Hati saya sudah sembuh. Jangan ingatkan lagi pada derita yang sudah pupus itu,” kata Desy ketika ditemui Tempo di rumahnya di Cianjur, Jawa Barat, Kamis pekan lalu.
Desy, perempuan yang sehari-hari menjadi guru sekolah menengah pertama di Cianjur, adalah istri salah satu terpidana narkoba yang mendapat grasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dihukum mati sampai tingkat peninjauan kembali, lewat grasi, hukuman Deni dikorting menjadi seumur hidup. Bekas praja terbaik Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri itu kini mendekam di sebuah lembaga pemasyarakatan di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Jarak ratusan kilometer dari suami yang divonis hukuman mati tak lantas membuat Desy berkecil hati. Setiap tahun ia dan anak laki-lakinya menyempatkan waktu membesuk Deni di Nusakambangan. Untuk sekali kunjungan, paling tidak dibutuhkan Rp 3 juta. ”Saya pasrah saja, toh hidup harus terus berjalan,” katanya berlinang air mata.
Desy hakulyakin suaminya hanya korban sindikat besar, bukan bandar narkoba seperti yang dituduhkan. Dikabulkannya permohonan grasi Deni membuat Desy sedikit lega. Kendati, kata dia, santernya pemberitaan grasi membuat ia kembali mengalami trauma karena kerap dicap miring sebagai istri bandar narkoba. ”Fokus utama saya sekarang membesarkan anak. Saya juga tak mau ambil pusing oleh hal-hal yang membuat trauma masa lalu terulang,” ujar Desy masygul.
Ketika Tempo melongok rumah Deni yang terletak di tengah perkampungan padat di Jalan Siliwangi, Kelurahan Sawahgede, kesannya jauh dari rumah gembong narkoba. Status itulah yang disandang Deni setelah ia dibekuk di Bandara Soekarno-Hatta ketika hendak terbang ke London, Januari 2000. Saat itu ia kedapatan membawa 3,5 kilogram heroin dan 3 kilogram kokain. Di dalam rumah bekas pamong di Sukabumi itu, yang luasnya tak sampai 30 meter persegi, tak terlihat barang mewah. Hanya ada satu televisi 17 inci di ruang tamu yang berukuran sekitar lima meter persegi.
Setelah Deni ditangkap, rumah yang terletak persis di pinggir parit itu hanya dihuni istri dan anak tunggalnya yang kini duduk di bangku sekolah menengah atas. Desy mengaku tak punya sanak famili di sekitar Cianjur ataupun Sukabumi. Dengan gajinya sebagai pegawai negeri, ia membesarkan putranya yang ketika ditinggal Deni masih berusia tiga tahun.
Faktor sosial dan ekonomi keluarga inilah yang menjadi salah satu poin pertimbangan Presiden mengabulkan grasi Deni. Dalam surat permohonan grasinya, kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin, Deni menjelaskan dirinya seorang pegawai negeri sipil di Sukabumi yang memiliki istri seorang guru dan satu anak. Deni juga, kata Amir, bersedia membawa narkoba karena tergiur upah untuk membayar utang cicilan mobil. ”Ia bertindak sebagai kurir, jadi bukan gembong,” kata Amir.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Grasi, presiden ketika mengabulkan atau menolak grasi menerima masukan Mahkamah Agung. Nah, dalam kasus Deni, menurut Ketua Muda Pidana Khusus MA Djoko Sarwoko, pihaknya sudah menyarankan Presiden menolak grasi itu. Menurut Djoko, Deni mengajukan grasi pada akhir April 2011, delapan tahun setelah upaya peninjauan kembalinya ditolak. Ketua MA saat itu, Harifin Tumpa, mengirim surat pertimbangan ke Presiden. ”Surat itu isinya tidak cukup alasan untuk mengabulkan grasi,” kata Djoko.
Kendati MA mengusulkan untuk menolaknya, Presiden tetap mengabulkan grasi Deni. Menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, ketika menentukan keputusan grasi, Presiden tak hanya meminta pertimbangan MA, tapi juga meminta pertimbangan dari para pembantunya. Misalnya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Narkotika Nasional, Markas Besar Kepolisian, dan Kejaksaan Agung. ”Pertimbangan MA itu bukan pertimbangan tunggal,” kata Djoko Suyanto.
Akhirnya, setelah mendapat masukan dari para pembantunya dan melakukan perenungan, Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 7/G/2012. Keputusan Presiden yang diteken pada 25 Januari 2012 itu mengabulkan grasi Deni, dari vonis mati menjadi seumur hidup.
Tiga bulan sebelumnya, Presiden juga mengabulkan grasi untuk terpidana mati Meirika Pranola alias Ola dan Rani Adriani. Dua perempuan ini tertangkap bersama Deni di Bandara Soekarno-Hatta. Alasan grasinya mirip dengan Deni: bukan karena hanya kurir, tapi karena alasan kemanusiaan dan hak asasi.
Untuk dua terpidana mati perempuan ini, Mahkamah Agung juga sudah memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden agar menolaknya. Dalam catatan Tempo, Deni dan kedua perempuan ini pernah mengajukan grasi pada era Presiden Megawati Soekarnoputri. Pada Maret 2003, grasi ketiga terpidana itu ditolak, karena MA saat itu memang memberikan pertimbangan agar Presiden menolaknya.
Informasi mengenai grasi ini awalnya bertiup dari kantor MA. Dua pekan lalu, MA mendapat kritik tajam karena majelis hakim PK membatalkan hukuman mati untuk pemilik pabrik ekstasi di Surabaya, Hanky Gunawan. Belakangan tersiar kabar, MA juga membatalkan vonis mati bagi Deni dan Ola. Mendapat kritik yang salah alamat, Djoko Sarwoko segera meluruskan informasi pembatalan hukuman mati Deni dan Ola. ”Itu putusan grasi, bukan putusan hakim MA,” kata Djoko.
Putusan grasi itu kemudian menyulut polemik. Bagi para pegiat hak asasi manusia dan Komnas HAM, grasi Presiden untuk terpidana mati narkoba itu langkah maju. Menurut Ketua Komnas HAM Ifhdal Kasim, pihaknya mendukung grasi itu karena setiap terpidana mati punya hak untuk hidup. ”Kita harus fair. Masih ada sistem peradilan sesat yang kerap salah menghukum orang,” katanya.
Namun pihak yang berseberangan jauh lebih banyak. Menurut Asrorun Niam Sholeh, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, grasi itu justru mengorbankan perlindungan anak karena selama ini anak-anak menjadi target penyalahgunaan narkoba. Sejumlah anggota Komisi Hukum DPR bahkan tengah merancang hak interpelasi kebijakan grasi terpidana mati ini. Menurut Ketua Umum Gerakan Nasional Antinarkotika (Granat), Henry Yosodiningrat, kebijakan grasi ini juga bisa menyuburkan peredaran dan penyalahgunaan narkoba. ”Presiden mungkin tidak tahu bahwa 50 warganya mati per hari karena narkoba,” kata Henry.
Mendapat kritik tajam, Presiden langsung bereaksi. Senin pekan lalu, ia mengundang para menteri dan wakil menteri di lingkungan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan ke kantornya. Presiden meminta para pembantunya itu menjelaskan kebijakan grasi terpidana mati tersebut. Presiden juga mewanti-wanti para pembantunya agar menjelaskan ke publik bahwa grasi terpidana mati itu mengikuti tren dunia. ”Kalau ada keinginan warga negara Indonesia tidak dihukum mati di luar, pemerintah juga harus menunjukkan komitmen yang sama,” kata Wakil Menteri Hukum dan HAM Deny Indrayana.
Kegaduhan pihak yang menentang dan mendukung keputusan terhadap kasus Deni dan dua temannya itu justru membuat perasaan Desy semakin teriris. Toh, grasi itu bagi Desy tak bisa mengembalikan suaminya berkumpul dengan keluarga. Maklum, seumur hidup berpisah.
Anton Aprianto, Tri Artining Putri
Mengiris Hati
GRASI Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk terpidana mati perkara narkoba mengundang kritik tajam sejumlah kalangan. Selain dinilai mencederai rasa keadilan, langkah itu dianggap tak sejalan dengan upaya memerangi peredaran barang laknat tersebut.
Payung Hukum
Merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif berupa pengurangan hukuman, pengampunan, bahkan pembebasan hukuman.
Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
”Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.”
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
”Presiden berhak mengabulkan atau menolak grasi yang diajukan terpidana setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.”
Prakteknya, Presiden juga meminta masukan para pembantunya di kabinet. Dalam beberapa kasus, Presiden memberi grasi walau MA menyarankannya menolak permohonan grasi itu.
Menanti Eksekusi
Sedikitnya ada 60 terpidana mati narkotik yang menanti eksekusi karena upaya hukumnya mentok dan grasinya ditolak Presiden. Sebagian besar warga negara asing. Inilah beberapa di antaranya.
1.Adam Wilson
2. Namaona Denis
3. Raheem Abeje
4. Muhammad Abdul Hafez
Berkah Grasi
Selain Deni Setia Maharwan dan Meirika Pranola, ada dua terpidana mati yang mendapat grasi sehingga hukumannya dikorting menjadi seumur hidup.
1.Rani Adriani
2. Indra Bahadur Tamal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo